Selasa, 31 Desember 2013

Mengejar Fajar

" Eh Doel, kapan - kapan kita naik gunung yuk, bosen nih maen ke taman terus ", kata Maria di tengah - tengah obrolan kami di Taman Suropati, Menteng. Pada awalnya saya sangsi, mengingat cuma saya dan dia yang pernah naik gunung. Belum lagi melihat ukuran badan Dewi yang bongsor ( jangan pernah bilang dia gemuk, kalau tidak mau muntah darah kena santet ), sisanya Ratih dan Ryan, yang juga belum pernah merasakan sensasi magis di tengah hutan. Setelah mereka meyakinkan saya, akhirnya mendaki masuk agenda kami.

Karena kesibukan kami masing - masing ( kecuali saya ), rencana mendakipun berdebu, 'tak tersentuh dalam beberapa purnama.Sampai pada akhirnya UAS pun selesai. Di sela - sela libur semester, kami yang memang biasa berkumpul untuk melangsungkan hidup " English Club " di kalangan kami sendiri, yang biasanya diakhiri dengan menonton DVD bajakan sambil makan gorengan akhirnya kembali merangkul rencana mendaki yang terlupakan, gelisah di sudut - sudut penantian. Setelah sempat beradu argumen hingga ribut - ribut kecil, hari keberangkatanpun berhasil ditentukan dengan damai, tanpa harus ada yg di bawa mobil ambulans. Puncak Gede, tunggu kami. :)

Pada awalnya tim kami berjumlah 5 orang, yaitu saya sebagai Ketua kelompok, sedangkan Maria, Dewi, Ratih dan Ryan sebagai anggota. Seiring berjalannya waktu, jumlah anggota bertambah, dimulai dengan Rosie ( teman Maria ), Winardi ( teman Dewi ), Arie dan Yofan ( teman saya ). Dan rencana ini dimulai dengan pendaftaran secara online di situs resmi Taman Nasional Gunung Gege Pangrango.

Berkat kerja keras Dewi, urusan pendaftaranpun selesai 1 minggu sebelum hari keberangkatan. Diluar duga'an, Ryan yang mendapat panggilan kerja terpaksa tidak dapat ikut dengan kami. Disusul dengan Winardi, Rosie, Ratih dan Maria dengan alasan masing - masing. Semoga penyesalan tidak mengganggu tidur mereka, karena telah menyia nyiakan kerja keras Dewi dalam mengurusi pendaftaran yang " njelimet " itu. Dengan batalnya mereka, sayapun akhirnya mengajak Adi yang sakit kakinya belum sembuh total untuk bergabung bersama saya.

Hari keberangkatanpun tiba, dan belanja kebutuhan logistik untuk kebutuhan selama pendakianpun selesai setelah saya menerima uang kembalian dari Mbak kasir berjilbab yang berwajah manis pilihan Adi. Iya pilihan Adi, soalnya dia ngotot antri di kasir tersebut, meski di tempat yang lain antriannya tidak lebih panjang. Dasar cowok...!!! Akan tetapi ada satu hal yang membuat saya kagum dengan kasir yang satu ini, yaitu keberanianya mengeluarkan barang yang kami beli meski tanpa kanban, Pak Mustari harus bisa menjelaskan ini. :)

Ketika menunggu kedatangan Yofan, kami berdua mengobrol sambil mengecek barang belanja'an kami di area parkir pasar swalayan yang letaknya tidak jauh dari rumah Adi. Kurang lebih 30 menit kemudian, Yofanpun datang dengan carrier yang melekat manja di pundaknya. Bergegas kami menuju Meeting Point yang telah kami sepakati sebelumnya, yaitu di "kantor" kapitalis limbung, Arie. Saya yang masih harus menjemput Dewi, dengan berat hati mesti merelakan Adi dibonceng dengan pria lain, yaitu Yofan, yang notabene adalah teman saya sendiri. Semoga kamu bahagia bersamanya, Adi. Oops...

Sesampainya di "kantor" Arie, Yofan dan Adi bergegas mengemas barang - barang kebutuhan yang akan kami bawa. Diselingi canda, tawa dan cela hingga membuat waktu keberangkatan molor setengah jam. Sekitar pukul 20 : 30, kamipun berangkat menggunakan sepeda motor yang sudah siap menaklukan terjal jalan dan mengiris gelapnya malam. Dewi, satu - satunya makhluk keturunan Hawa yang ikut dalam rombongan ini, sudah siap di jok belakang sepeda motor yang akan saya kendarai, Adi kembali bersama Yofan, dan terakhir adalah Arie,yang ditemani 2 carrier berisi barang - barang perlengkapan selama pendakian, semoga tidak terjadi affair antara Arie dan 2 carrier yang dibawanya, dikarenakan rasa sepi yang mendera di ruang hatinya, sebab jomblo menahun bisa mendorong orang bertindak melebihi batas kewajaran, kasian sekali.

Roda - roda kendaraan kami terus berputar, mengiringi malam yang bergeser pelan. Sesampainya di Babakan Madang, kami berhenti sejenak dan berniat untuk mengisi perut yang kelaparan, "lapar maksimal" kalau kata Wepe. Terutama saya dan Adi yang belum makan sejak siang hari. Akan tetapi, rencana untuk membungkam cacing - cacing yang mulai membuat kerusuhan dalam perut kami mesti dibatalkan, lantaran Arie ingin tetap melanjutkan perjalanan. Memaksa saya dan Adi membohongi perut sendiri dengan air mineral.

Tidak lama setelah kami meninggalkan jejak di depan warung nasi di Babakan Madang, kamipun mulai memasuki daerah bukit pelangi. Tempat di mana hawa dingin mulai terasa menjilati tulang dan bintang terlihat lebih banyak dan dekat. Di tempat ini saya mulai tertinggal jauh di belakang, mungkin karena kondisi jalan yang mulai naik turun dan satu lagi, saya membawa Dewi, yang berat badannya berbanding lurus dengan 2 karung beras dikali 2, dibagi dengan bilangan prima yang kelima, setelah itu dikuadratkan baru kemudian disubtitusikan dengan luas penampang wajan tempat membuat dodol lebaran. Rumit, wanita memang sangat rumit, apalagi jika sudah menyinggung berat badan. Dan gawatnya mereka selalu ingin dimengerti, salah sedikit saja akan membuat mereka bilang "dasar enggak peka", kepada pria. Ini kenapa jadi curhat?!
Demi menghindari caci maki dari Dewi perihal pembahasan yang tadi, baiknya saya lanjutkan cerita perjalanan kami yang sudah memasuki daerah puncak. Di mana tulisan "villa disewakan" berderet menghiasi sisi jalan.

Kira - kira pada pukul 00 : 30, akhirnya kami sampai di Green Ranger, tempat kami menginap sebelum melakukan pendakian di pagi harinya. Saya dan Adi yang sudah kelaparan sejak dalam perjalanan, ingin menuntaskan masalah kami yang satu ini dengan segera di warung nasi yang jaraknya dekat dari tempat kami menginap. Yofan yang tidak mau jauh dengan Adi pun ikut dengan kami, berbeda dengan Arie dan Dewi, mereka lebih memilih beristirahat dan tidur lebih dulu.

Sepiring nasi, 2 bala -bala, 4 sendok orek tempe dan segelas teh manis hangat membuat sistem metabolisme saya kembali bekerja sebagaimana mestinya. Setelah rasa lapar telah enyah dari kehidupan kami, meskipun sementara, tubuh kami juga merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Sebenarnya, selain lelah di perjalanan, saya juga lelah melihat Adi dan Yofan berselisih memperebutkan remote TV di warung nasi. Untuk mencegah hal - hal yang tidak diinginkan, saya mengajak mereka pergi meninggalkan warung nasi dan remote perusak hubungan orang itu.

Sesampainya di tempat menginap, ternyata Dewi sudah terlelap, terlebih Arie, yang suara dengkurnya terdengar hampir 1 ruangan. Yofan dan Adi bergegas menyiapkan sleeping bag mereka masing - masing guna melindungi diri dari hawa dingin yang ganas menyeringai di setiap penjuru ruangan. Dan saya adalah orang satu - satunya yang tidak menggunakan sleeping bag, meringkuk kedinginan diantara tubuh Yofan dan Dewi. Sedangkan Adi, memisahkan diri dengan kami dan tidur jauh di sudut ruangan, berseberangan. Saya yang tidak ingin tidak bisa tidur sendirian, berusaha mengganggu Yofan dan berharap dia mau berbagi sleeping bag dengan saya. Meski sedikit terusik, Yofan tetap bergeming dan membiarkan saya tidur dipagut dingin.

Sekitar pukul 07 : 30 pagi, kamipun berkemas, bersiap menuju Balai Besar TNGP untuk mengurus data - data anggota sebelum melakukan pendakian. Saya, Adi dan Yofan berangkat bersama, sedangkan Arie dan Dewi menyusul, karena mereka ingin sarapan pagi terlebih dahulu. Sampai akhirnya mereka berdua tiba dan bergabung bersama kami yang sudah bosan menunggu di depan kantor Balai Besar TNGP di buka, sambil menggambil beberapa gambar menggunakan kamera yang Adi bawa. Pukul 09 lebih, kantor Balai Besar baru dibuka, Yofan menginstruksikan kami untuk bersiap dan merapikan carrier yang berantakan selama kami menunggu, sedangkan dia sendiri akan melaporkan data - data kami untuk registrasi ulang. Lebih dari 30 menit Yofan belum juga kelihatan keluar dari gedung tersebut, akhirnya Adi dan Arie menyusulnya, sedangkan saya tetap menunggunya di depan gerbang bersama Dewi. Saya mulai gelisah, karena mereka bertiga belum juga datang. Karena penasaran, saya akhirnya menyusul mereka. Sesampainya di dalam, mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Tanpa buang waktu, saya bertanya kepada Yofan tentang masalah apa yang menahan dia di dalam gedung ini. Ternyata, kami terancam tidak bisa melakukan pendakian, karena nama anggota yang telah di daftarkan oleh Dewi sebelumnya tidak sesuai dengan yang ikut di hari pendakian. Dan parahnya, sebenarnya ini yang paling krusial, saya tidak membawa fotokopi KTP. Berkat kesigapan Yofan dan Adi, surat izin pendakianpun akhirnya didapat setelah menanda tangani surat perjanjian bermatrai.





Lega memang, setelah kami berhasil mengantongi surat izin pendakian. Tapi perjuangan belum usai, justru baru dimulai. Demi lancarnya pendakian, sejenak kami tundukan kepala, meminta kepada Yang Maha Kuasa, memohonnya di dalam do'a. Di atas kami, mendung tipis memayung, mengiringi langkah - langkah yang kami ayun. Canda adalah obat mujarab kami untuk mengalihkan perhatian terhadap rasa lelah, hingga pada suatu tempat kami terpisah. Adi dan Arie berada di posisi depan, meninggalkan saya dan Yofan yang mencoba mengimbangi Dewi yang setiap melihat batu besar seperti melihat sofa serba guna buatan bangsa asing yang sering dijual di acara - acara home shopping. Dan duduk adalah harga mutlak baginya.

" Ayo Dew jalan lagi, sebentar lagi track nya enak kok, bukan cuma karena datar, tapi view nya juga". Ucap saya ke Dewi, yang masih sedang beristirahat. Yofan pun mempersilakan kami jalan lebih dulu sambil berucap, "udeh jalan duluan sana, nanti juga gue salip ". Agak songong memang, tapi setelah saya sadar akan keberadaan Dewi, saya mengerti. Saya dan Dewi pun beranjak, meninggalkan Yofan yang sedang berlagak. Karen jalur yang kami tempuh masih sama dengan jalur yang menuju Curug Cibodas, jadi banyak wisatawan yang juga berjalan bersama kami, pria dan wanita, orang dewasa juga anak - anak, hal yang bisa dijadikan Dewi sebagai suntikan semangat.

" Welcome to Rawa Gayonggong Dew ", seru saya, di ikuti suara hembusan nafas Dewi yang ternyata sedang tersenyum lebar, karena jalan yang ada dihadapannya tidak lagi menanjak, tetapi datar. " Lambat lo", teriak Adi kepada kami, rupanya dia dan Arie sudah menunggu kami cukup lama. Sambil menunggu Yofan yang gagal menyalip saya dan Dewi, kami berempat mengambil beberapa foto di tempat ini. Tidak lama berselang, Yofan datang bergabung bersama kami, menjadi model dan fotografer secara bergantian. Setelah merasa cukup, kamipun melanjutkan perjalanan. Sampai suatu ketika, Dewi menampakan wajah kecewa, karena sudah berada di ujung jembatan dan jalurnya kembali bebatuan juga mulai menanjak, lagi. Setelah berjalan beberapa meter dari ujung jembatan Rawa Gayonggong, kami tiba di Pos Panyancangan. Mulai dari tempat ini, kami mengambil jalur yang di khususkan untuk para pendaki dan terpisah dengan para wisatawan yang menuju Curug Cibodas. Selain itu, kami juga terpisah dengan wisatawan wanita bercelana pendek warna hitam yang jadi perbincangan kami ( kecuali Dewi ) selama perjalanan menuju tempat ini.





Fokus kami sebelum mencapai Kandang Badak, yang rencananya akan menjadi tempat berkemah kami nanti adalah Tempat Wisata Air Panas. Di sana kami akan membuka bekal, sekedar untuk tambahan energi. Setelah berjalan cukup lama, Dewi mulai gusar karena belum juga sampai di tempat yang telah di tentukan. Hal ini terbaca, karena dia kerap bertanya, " masih jauh enggak sih? ", atau " kira - kira berapa lama lagi? ", dan pertanyaan - pertanyaan sejenis lainnya. Jarak antar Panyancangan ke Tempat Wisata Air Panas memang jauh, track nya pun cukup berat, apalagi untuk Dewi yang baru pertama kali. Selain lelah, lapar juga menjadi ujian tersendiri, karena memang sudah lewat tengah hari. Salah satu pemompa semangatnya adalah bekal roti tawar yang akan diolesi dengan selai strawberry, hal ini yang membuat kami tidak beristirahat lama, dan jalan lagi.

Suara gemuruh air pun terdengar semakin dekat, membuat derap langkah kami semakin cepat. Dan akhirnya kami sampai di Tempat Wisata Air Panas. Cepat kami mengeluarkan bekal yang kami bawa dan memakannya sambil melepaskan lelah yang telah lama menggelayuti tubuh kami masing - masing. Kami tidak begitu lama di tempat ini, setelah dirasa cukup, kamipun melanjutkan perjalanan. Kali ini Yofan dan adi jalan lebih dulu, karena takut kami tidak dapat space  yang cukup untuk mendirikan tenda di Kandang Badak, mengingat banyaknya pendaki yang juga berangkat di hari yang sama bersama kami.

Setelah melewati Kandang Batu, rupanya tenaga Arie mulai habis terkuras. Tidak jarang dia duduk dan beristirahat, sangat berbeda ketika di awal pendakian, bahkan tidak jarang Dewi mengajaknya untuk jalan lagi. Saya cuma berharap, semoga masih ada testoteron yang bersemayam di tubuh Arie, cukupan untuk membahagiakan istrinya nanti, lebih bagus lagi jika dia masih bisa melanjutkan dinastinya kelak.

Ketika track yang kami lewati sudah agak datar, saya memberi tahu Dewi kalo tempat kami berkemah sudah sangat dekat, dan Dewi pun meresponnya dengan meninggkatkan kecepatan langkahnya dan mengurangi istirahat, begitupun Arie. Benar saja, tidak lama kemudian akhirnya kami melihat tenda - tenda yang telah berdiri. Adi dan Yofan yang sudah menunggu kami, memanggil kami untuk cepat bergabung karena hari sudah mulai sore, dan tenda harus segera dipasang. Kamipun membagi tugas, saya , Adi dan Yofan bertugas untuk mendirikan tenda, sedangkan Arie dan Dewi mengambil air.

Tenda telah berdiri, barang - barang pun sudah masuk ke dalamnya. Sambil menunggu air yang kami masak matang, kami menyiapkan bahan - bahan makanan yang akan kami masak setelahnya. Dan ternyata tidak ada beras di dalam ransel kami, bahan yang seharusnya dibawa Arie, entah ada yg sabotase atau di curi alien, yang pasti kami kebingungan dengan tidak adanya beras. Beruntung ada pendaki yang akan turun dan masih mempunyai beras sisa, jadi kami terselamatkan olehnya, perkara beras akhirnya beres sa'at itu juga.

Kelamnya malam telah menelan sisa - sisa senja yang lebih cepat hilang meninggalkan kami di tengah hutan. Di dalam tenda, kami membicarakan rencana untuk esok pagi guna mengejar pijar fajar di puncak Gede. Setelah sepakat, kamipun bersiap untuk tidur. Dan seperti biasanya, Adi tidak langsung tidur, tetapi curhat tentang mantan - mantan pacarnya yang banyak itu, seperti ritual yang haram dilewatkannya ketika berkemah. Dewi yang sudah menyetel alarm pada pukul 02 : 30, tertidur lebih dulu, hal yang sama dilakukan oleh Yofan.




Bunyi alarm menggugurkan bunga - bunga tidur yang belum sempat mekar di malam saya yang dingin. Yofan yang telah terbangun langsung memasak air untuk membuat teh hangat, di susul oleh Adi. Saya dan Dewi menyiapkan bahan makanan yang akan kami bawa untuk kami masak di puncak nanti, sedangkan Arie, tetap tidur lelap, tidak tertarik untuk melanjutkan pendakian. Setelah semuanya selesai, kami pun keluar dari tenda dan siap untuk berangkat. Do'a telah terpanjat, dari bibir - bibir kami yang bergetar karena dingin yang hebat. Dan langakahpun kami mulai, di hari yang masih dini. Tidak jauh dari Kandang Badak, Dewi ternyata sudah kelelahan, terlihat dari wajahnya yang pucat dan langkahnya yang terlihat sangat berat. Lantas, dia memutuskan untuk turun lagi, kembali ke tenda. Setelah berunding dengan Adi dan Yofan, saya meminta mereka untuk menunggu saya, karena sehabis mengantarkan Dewi ke tenda, saya akan kembali lagi melanjutkan perjalanan bersama mereka.

Sekitar pukul 03 : 30 pagi, saya bergabung bersama mereka kembali. Tanpa buang waktu lagi, kami bertiga tancap gas untuk mendaki. "Kami sama pejalan larut. Menembus kabut", demikian tulis Chairil Anwar dalam KAWANKU DAN AKU, situasi yang sedikit mirip dengan apa yang sedang kami alami di tempat ini, di Nusantara yang katanya kaya ini.

Oksigen yang mulai menipis, ditambah nikotin yang sering saya injeksikan ke tubuh saya melalui pernafasan membuat tenaga saya cepat habis. Akan tetapi, dua cecunguk yang mendaki bersama saya ini membuat semaunya tidak begitu terasa. Sampai akhirnya tibalah kami di tempat yang sangat ingin saya jumpai, yup Tanjakan Setan. Track yang tingkat kemiringannya hampir 90 derajat ( atau memang 90 derajat ) dan untuk melewatinya harus bergelantungan menggunakan seutas tambang, membuat adrenaline saya terpacu untuk menaklukannya. Dan sensasinya memang luar biasa, melebihi Joged Oplosannya Soimah, plus diapit oleh Nabilah. :)


Kami berhasil menginjakan kaki kami di puncak ketika jam digital di hand phone Adi menunjukan angka 05 : 07. Kami terus berjalan, menyusuri puncak Gede yang memang panjang. Tanpa menunggu lama, fajar yang kami kejar mulai bepijar menebar sinar yang masih malu - malu untuk keluar. Awan yang ada di hadapan kami letaknya lebih rendah dari tempat kami berdiri, sehingga terlihat seperti gulungan ombak yang berkejaran, Yofan menyebutnya samudra di atas awan. Seketika pandang kami tercuri, sebelum matahari muncul menyinari hari, semburat jingga menebar pesona, di ikuti oleh warna oranye berselendang kuning keemasan, berlari menembus putihnya awan. Terkadang kabut yang dihasilkan belerang menutupinya, cari perhatian. Tidak mau ketinggalan, jingga kembali datang, memeluk sinaran warna yang memanjakan pandang di muka langit biru yang tenang.

Adi mulai sibuk dengan kameranya, begitupun Yofan yang keranjingan merekam setiap pergerakan awan menggunakan handy cam seperti kesurupan, entah setan apa yang merasukinya sampai - sampai dia juga merekam orang yang sedang buang air kecil di balik pohon, atau mungkin karena orang itu adalah seorang playboy idolanya?! entahlah. Yang pasti, apa yang kami saksikan, membuat kami selalu ingin menikmatinya lagi dan lagi, terlebih, kami masih punya hutang janji dengan Mandalawangi. :)







...
Camerado, I give you my hand!
I give you my love more precious than money,
I give you myself before preaching or law;
Will you give me yourself? Will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live?

                       ( Song of The Open Road, Walt Whitman )


@doel_12

Rabu, 23 Oktober 2013

Kamu

Kamu adalah rembulan
Disa'at hari sembunyi dalam jubah malam
Kau selimutiku dengan teduh sinarmu yang menawan

Kamu adalah kejora
Ketika ku tersesat di tengah labirin resah
cahayamu menuntun langkahku menembus onak gelisah

Kamu adalah bunga
Yang mekar menyambut fajar dengan berjuta wangi
mengakar tumbuh di tengah kegamangan hati

Kamu adalah pelangi
Menyeka sisa hujan yang enggan pergi
anggunkan sinar mentari dengan warna selendang bidadari

Kamu adalah puisi
terangkai manis di wajah prasasti hati
terukir abadi di atas lempengan waktu tanpa tepi



@doel_12



Jumat, 16 Agustus 2013

Shadow

Sore ini, tanggal 16 Agustus 2013, beberapa tahun yang lalu pada tanggal yang sama, dari tempatku sekarang berdiri terlihat deretan bendera Merah Putih menyambut hari jadi negeri ini. Tapi sekarang tidak lagi, sepertinya penyakit apatis sudah cukup akut menjangkiti orang - orang di sekitar sini atau bahkan mungkin terjadi di banyak pelosok Bumi Pertiwi?. Semoga saja tidak, karena bila memang demikian akan sangat ironis dengan apa yang digambarkan oleh C. Anwar dalam puisi sadurannnya yang berjudul Karawang - Bekasi. Terlepas dari kata nasionalisme yang belakangan ini maknanya sudah mulai pudar, tanggal 17 Agustus tetap sakral, setidaknya untuk diriku sendiri.

Matahari yang dijemput petang, bergerak perlahan menuju peraduan. Di hadapan senja yang mulai meremang, aku duduk termenung di tepian sungai yang membelah ladang. Di permuka'annya yang tenang, aku lihat sebuah bayang yang menatapku dengan teliti. Tatapannya seperti menyimpan banyak kisah dari apa yang telah dilewati, marah yang berapi - api serta harap dari dalamnya misteri.

"Apa kabar kawan seperjalanan?"

Tanyanya mengejutkanku ketika kucoba menghindari benturan pandang dengan tatapannya yang tajam.

"'tak usah kau jawab pertanya'anku yang baru saja terlontar, karena aku hanya ingin kau mendengar semua yang akan aku sampaikan untuk kemudian kita renungkan...semuanya...bersama..."

Lanjutnya tanpa jeda.

' Kawan, ingatkah kamu dengan suatu sore ketika kau lari bertelanjang kaki dengan senyum di wajah dan lesung pipit yang menghiasi kedua sisi pipi?. Aku sudah bersamamu waktu itu, bersama teman - teman sepermainanmu yang kesulitan merebut bola plastik dari kakimu. Atau ketika kau dengan yang lain membuat kegaduhan shalat jama'ah di shaf paling belakang sebelum belajar membaca Al-Qur'an dengan Ustadz Ridwan. Apakah kau rindu masa - masa itu?. Jujur, akupun rindu, rindu ketika kita masih menatap dunia dengan pembatas yang jelas antara kesenangan dan kesedihan. Senang ketika bermain dengan teman atau sekedar diberi uang jajan, dan sedih ketika Ibu enggan membelikan mobil mainan. Sesederhana itu dan sejelas itu garis yang membatasinya. Tidak sekompleks sekarang, dimana kita harus lebih dalam berfikir dan memahami untuk dapat mengerti kenapa kita bisa senang atau sedih. Tapi ini adalah anak tangga yang harus kau titi dan lewati untuk mengenali siapa dirimu sendiri sebelum ajal membebaskan jiwa dari sangkar materi. Aku setuju jika masa kecil adalah masa - masa yang paling menyenangkan. Tapi waktu terus melaju kedepan kawan, dan kenangan adalah guratan pelajaran diatas lempeng kehidupan. Dan lengan waktu pula yang menuntunmu ke ruang yang sekarang sedang kau jelang. Ruang yang kata mereka adalah ruang kedewasa'an. Tapi kau sempat membuatku kecewa ketika kau mulai memasukinya. Kau sempat lupa dengan ritual kultus Yang Maha Kuasa yang selalu kau laksanakan sebelum kau berada di fase ini. Kau terbuai dengan kemilau dan terlelap di dasar gelap, hingga alpa dengan ajal yang menguntit mengenap - endap. Sepertinya kau masih butuh banyak belajar akan hal ini dengan mawar yang kau jumpai di tengah perjalanan menuju masa sekarang. Tahukah kamu? kalau mawar itu selalu berdo'a dan kemudian bertanya kepada dirinya sendiri, tentang apa yang telah ia berikan dan apa yang akan ia lakukan selama berada di dunia ini. Dan itu selalu ia lakukan ketika ia tengah menatap angkasa, mengagumi kehebatan pencipta-Nya. Aku ragu kau menyadari hal yang sama, karena kau terlalu sibuk dengan buku - buku Kahlil Gibran, El Jalaluddin Rumi dan Soe Hok Gie yang kau kagumi. Sedangkan kitab suci tersimpan rapi dalam lemari. Apakah Ramadhan kemarin bisa memanggil sisi jiwamu yang sempat hilang datang kembali?."

 Aku hanya terdiam sambil memeluk lutut, tanpa sepatah katapun yang terletup. Tapi getaran di dada bertingkah sebaliknya dan seolah berkata," lanjutkan kawan, bongkar semua kejadian dalam kotak ingatan yang mulai terkubur residu waktu."

Dan bayang itu pun menjawab...

" Percuma saja kuteriakan padamu tantang semua kebaikan dan keburukan dari apa yang telah kau lakukan, jika kau hanya mendengarnya dengan telinga yang fana, 'tak akan ada saripati yang  bisa kau ambil darinya"

Lantas ia pun melanjutkan ucapannya...

" Beberapa jam lagi dari sekarang adalah tanggal 17 Agustus, bersama'an dengan hari kemerdeka'an Republik yang kau bilang sangat kau cintai ini adalah monumen untuk dirimu sendiri, sebagai peringatan bahwa usia yang dibekali-Nya telah tercuri 365 hari. Jangan pernah berpikir tentang gelaran pesta, karena hidupmu yang dipagari usia semakin dekat dengan pembaringan yang kekal. Jadi, untuk apa dipestakan?!. Sebait lagi kawan, sebelum wujudku hilang dicadari gelap malam. Setiap cerita yang tergurat di atas usia dalah telaga jiwa, dimana kau bisa berkaca. Melihat kembali kelalaian yang bisa membuatmu jatuh tersungkur, hingga nikmat Tuhan yang sering terlupakan tanpa ucapan syukur. Dewasa bukanlah banyaknya bilangan umur, tetapi tentang pekanya jiwa mengukur seperti bentangan tali yang terikat pada busur. Semoga kau semakin pandai memaknai hidup, di sisa nafas yang akan terhembus dan terhirup. Dan semoga kita bisa berinteraksi setiap hari, tidak hanya sekali dalam satu revolusi bumi terhadap matahari. Karena aku akan tetap bersamamu, semenjak kau bersentuhan dengan memori hingga akhir nanti, karena aku adalah kamu andai kau sadari itu.'

Seketika bayang wajah itu pudar setelah seekor capung hinggap sebentar diatas tenangnya aliran sungai tepat dihadapanku yang tengah mnyendiri. Aku yang berharap bayang wajah itu kembali, hanya mendapati bayanganku sendiri. Akupun beringsut pergi sambil menerka - nerka strategi apa yang akan diterapkan oleh David Moyes untuk menghadapi Swansea City esok hari, dan apa yang akan dialakukan oleh Anonio Conte terhadap Juventus guna memenangan Super Copa Italy melawan Lazio nanti. Meski senyum ini belum hilang, mengingat kemenangan Timnas kemarin harinya, meskipun yang dikalahkan hanya Tim sekelas Brunei Darussalam. Paling tidak itu bisa menjadi kado yang cukup berkesan untuk Indonesia

" Dasar bebal...!!! masih saja berfikir tentang sepak bola, sementara adzan maghrib sudah terdengar menggema di telinga"

Makiku kepada diriku sendiri dalam hati, dan bergegas membersihkan diri.

@doel_12


Rabu, 31 Juli 2013

MAWAR

'tak perlu kau menjadi Edelweis yang tangguh
meski rapuh, aku memujamu sebagai pribadi yang utuh

jangan terbata dihadapan pujangga yang berpedang kata - kata 
karena anggunnya mahkotamu mampu membungkam mereka

aku mengerti, tangkaimu yang berduri bukan untuk menyakiti
tapi melindungi diri

aku tau, lambat laun kau akan layu dan lunglai ketika dipetik dan dirangkai
tapi percayalah, segala pesonamu akan tetap cantik terbingkai

kemegahan mahkota dan kelopakmu mungkin sudah sirna
tapi nuansa indah dan wanginya akan tetap terasa
bisakah rupa mengalahkan abadinya kharisma?

ada senyum yang mengembang dibawah hujan ketika kau tergenggam
dan ada haru yang tiba -  tiba mengisi hati ketika kau tersisih dari ruang pribadi di satu pagi

mungkinkah kau terganti?
secara wujud yang dibelenggu waktu bisa saja terjadi
akan tetapi, getar yang terasa jelas berbeda
apalagi untuk yang pertama

@doel_12



Kamis, 13 Juni 2013

Embun

Berharap aku seperti tetesan embun
Yang jatuh ke dalam belaian sungai dari pucuk daun
Dan 'tak pernah merasa takut mengalir

walaupun pekat dan liatnya lumpur mengkat
Akan tetap bergerak, meski merayap

Kerasnya karang membendung
Bukan halangan untuk tetap sabar mengarum
Meski harus tersandung - sandung

Biarpun bukit melempar garang
Ke curamnya vertikal jeram
Tapi tetap berusaha berenang dengan tenang

Karena memang,
Tidak akan selalu membelai
Dan mencium wangi kelopak mawar yang menjuntai
Di sepanjang tepian sungai
Untuk dapat tiba
Dipelukan dada samudra

@doel_12



Minggu, 09 Juni 2013

Renungan yang tergurat

Menarik diri dari ruang yang terinfeksi sunyi

Merebahkan jiwa di bawah kubah malam
Bercengkrama dengan sinar sepotong rembulan
Berbincang dengan bintang yang bercahaya terang

Menghimpun aksara yang berterbangan di udara
Merangkul kata untuk sebuah guratan cerita dari ujung pena
Meraba makna yang mengendap di dasar jelaga

Jumawa tertunduk malu di megahnya angkasa raya

Dan aku masih merenung 
bersama dinginnya embun yang mulai turun

@doel_12



Rabu, 29 Mei 2013

Catatan kecil di satu pagi

Bukan hanya basah, hujan yang turun di pucuk malam ini juga menyisakan dingin yang meruncing. menodong daun - daun hingga gemetar memeluk ranting. Angin bersahut - sahutan membisikan mantra, memanggil kabut yang membekukan hangatnya dekapan selimut. Purnama yang renta, nampak pucat melingkar, bercadar mega di muka altar fajar. Rasi bintang bersembunyi enggan menampakan diri. Bunga - bunga menggigil digagahi bulir embun yang mendambakan harum. Udara yang bergaun sunyi, meliuk menari di atas telaga hati. Seketika, sukma meringkuk dalam basahnya hujan yang menyisakan dingin yang runcing, kemudian tenggelam dibenam liukan udara yang bergaun sunyi ke dasar telaga hati.


@doel_12



Sabtu, 25 Mei 2013

SMP NEGERI 2 SUKATANI

Sebenarnya hampir setiap hari gue lewatin bangunan ini, bangunan yang hampir sepuluh tahun enggak pernah lagi gue masuk ke dalam salah satu ruangannya. Bangunan yang sudah tentu sangat berbeda ketika gue masih berrotasi di dalamnya. Dan bangunan dimana gue dan teman - teman gue yang lainnya menghabiskan separuh dari hari - hari yang dilewati untuk menangkap ilmu yang diberikan oleh para "pahlawan tanpa tanda jasa" nya.

Akan tetapi, enggak tau kenapa hari ini gue merasa ada yang beda ketika gue melewati pagar - pagar ang membatasinya. ada desiran rasa aneh yang merayapi dada, rasa aneh yang biasa dirasakan oleh orang yang sedang didekap oleh sayap - sayap dewi asmara. Tanpa sadar, pikiran gue terhisap ke masa - masa itu, masa - masa dimana harus bangun lebih pagi dan membawa topi di hari senin kalau tidak mau berbaris di barisan khusus, terpisah dengan yang lain sepanjang jalannya upacara bendera dan diinterogasi setelahnya. Atau riuhnya ruang kelas di pagi hari karena berebut hingga tarik - tarikan buku yang direlakan pemiliknya untuk dijadikan bahan contekan bagi mereka yang belum selesai mengerjakan PR. Ya,,,rasa yang aneh itu adalah rasa kangen gue dengan kalian teman, dengan meriahnya ruang kelas ketika bel istirahat atau pulang berbunyi, kangen duduk - duduk di atas meja sambil ketawa - ketawa enggak jelas, kangen sama es jeruk perasnya Bibi, yang kantinnya dijadikan tempat nongkrong sampai ketemuan dengan gebetan atau selingkuhan ( yang ngerasa kalem aja ya :D ) dan kangen sama nasi uduk plus gorengannya Uwak Gatong.

Kalau bicara masalah warung Uwak Gatong, tidak bisa lepas dari sekelompok anak - anak yang terdiri dari Kalim Rendi Antoni, Komara, Pendi Pradana, Solihin, Sabrih, Arman, Ateng, Haryono Gunawan dan Saptaningrat. Yup...karena disana adalah base camp mereka, para jagoan pada masanya, yang sering dapat "perhatian" lebih dari dewan pengajar. Meskipun gue enggak pernah sekelas dengan Kalim, menurut kabar yang tersiar sebenarnya dia ukup pintar, hanya saja kelakuannya sering dianggap kurang baik oleh para guru. Sedangkan Komara, gue kenal dia semenjak kelas 6 SD, ketika ada kompetisi sepakbola di kampungnya. Dan dia adalah orang yang menggagalkan satu goal gue ke gawang lawan. Yang membuat gue jengkel, dia itu bukan pemain melainkan salah satu panitia yang menonton pertandingan dari belakang gawang dari tim yang berasal dari kampungnya. Dan bola yang seharusnya menjadi goal pun dianggap tidak sah oleh wasit,buah dari halauan kaki sialan si Komara ini. Oke gue skip bagian yang ini, kembali ke cerita si Komara yang lebih akrab disapa Komeng ini adalah pemuja sejati SLANK, dan gue yakin,dimata Komeng, Bimo Setiawan dan Akhadi Wira Satriaji ( Bim - Bim dan Kaka Slank ) lebih mulia derajatnya dibandingkan dengan Presiden  negeri ini. Serupa dengan Kalim, otak diapun terkenal cukup encer, berbeda dengan Pendi yang setiap hari kelihatan ngantuk terus, Haryono yang sepertinya lebih sering mengurus kumisnya ketimbang tugas,sedangkan Saptani,gue eggak tau lebih banyak selain badannya yang kurus dan celananya yang melebihi lutut. Dan wajah - wajah teman - teman yang lainpun bergantian memenuhi isi kepala gue. Salah satunya adalah Tri Utami, korban gue. Korban dari kecerobohan gue waktu acara rally sepeda di sekolah. Tulang tangannya patah ketika sepeda yang gue bawa jatuh dan dia adalah penumpangnya. Hal ini yang membuat gue merasa takut dan enggak enak hati ketika gue bertemu dia pasca kejadian itu.

Selain alat tulis, cermin adalah perlengkapan yang enggak bisa ditinggal oleh para pelajar perempuan. Dan diantara mereka ada satu nama yang selalu membawanya,dia adalah Detti Aisyah Alfiansyah, seorang siswi yang jadi idola dari hampir semua siswa disekolah. Kalau sampai ada yang bilang enggak tertarik dengan siswi yang satu ini,gue cuma berharap semoga dia bukan homo. Dan Firnal Hadi Surya adalah sosok Detti dengan bentuk lain, meski dia tidak membawa cermin layaknya seorang Detti, tapi dia adalah siswa yang diidolai hampir setiap pelajar perempuan. Dia adalah ketua OSIS yang aktif di Paskibra, kalau sampai ada yang enggak kenal sama siswa yang satu ini apalagi wanita, mungkin sekolahnya cuma sampe kebun belakang Kantor Desa. Dan orang yang paling menderita atas kebintangan Firnal adalah gue,teman sebangkunya. Sebabnya jelas, karena gue teman sebangkunya, secara tidak langsung, gue sedikit banyak tau tentang makhluk yang satu ini.. Jadi,gue enggak jarang dijadikan sebagai narasumber, iya,,,sebatas narasumber,oleh para siswi yang mengidolainya, termasuk Irma, adik kelas yang kelak menggantikannya sebagai Ketua OSIS. Berbeda dengan Detti dan Firnal, Neneng Aulia Erfina adalah idola para pengajar. Dia dalah perwakilan dari sekolah kami dalam lomba Pemilihan Siswa Teladan se-kabupaten,bersama 1 orang siswa lainnya ( enggak penting bahas siswa yang satu ini ). Semenjak kelas 1, namanya juga kerap dipanggil oleh MC acara pengambilan raport untuk maju ke depan karena nilainya tertinggi di kelas. Puncaknya, dia adalah peraih nilai Bahasa Inggris di sekolah ketika UAS, disusul oleh seorang siswa yang menurut gue "kebetulan" saja mendapat nilai lebih tinggi diantara siswa - siswa yang lain. Atas prestasinya itu, mereka berduan mendapat "bingkisan" yang berupa kamus yd disusun oleh John M. Echols dan Hassan Shadily dari guru bahasa inggris kesayangan kami semua, Mr. Yunus Sanusi. Salut buat Neneng Aulia Erfina. :)

Sepertinya memang kurang lengkap ya kalau belum bahas musuh - musuhan sama cinta - cintaan waktu sekolah. Seperti Ermawati yang jadi musuh bebuyutan  Alek Gunawan dengan Aris Ruswanta alias Ivank contohnya. Gue enggak ngerti kenapa mereka bisa musuhan yang dibawa mulai dari kelas 1 sampai kelas 3, sangat konsisten. Mungkin karena Alek dan Ivank enggak rela kalau si Erma mengaku bahwa dirinya lebih menarik dibanding Umsinah dan Eliza...mungkin.

Cinta memang mampu menembus segala dimensi, dan cinta mampu merayap dimana air tidak bisa mengalir. Engak peduli tempat, usia dan siapa dia. Termasuk seorang Aris yang setengah mati ngejar - ngejar cintanya Imah yang galaknya enggak ketulungan, tapi si Aris bener - bener suka sama dia, beneran,gue enggak bohong. Sama halnya dengan Aris, Kalim juga mati - matian mengejar cintanya Mamah Maryamah, salah satu siswi yang menjadi saingan Neneng Aulia di bidang pelajaran. Meskipun telah mencoba dengan berbagai cara, pada akhirnya kalim tidak mampu meraih simpatik Mamah Maryamah, entah karena dia masih menyayangi Karnata Wijaya atau ada hal yang lain, entahlah, cumaMamah dan Tuhan yang tau akan hal itu. Ada juga Nurfitri Oktaviani yang dari kelas 1 sampai kelas 3 mengharapkan cinta seorang siswa yang enggak tau diri, karena siswa yang diharapkan malah mengharapkan orang lain. Alhasil keduanya enggak dapetin apa yang mereka mau. Lain lagi cerita Opik Anwar bin Ma'ruf , yang susah dapetin gebetan gara - gara kisahnya sama Sahati, siswi yang dipacarinya sejak masih SD hingga SMP sudah terburu mempengaruhi pola pikir setiap siswi satu sekolah. Pasalnya, Sahati adalah murid yang pintar dan cukup disegani dikalangan kaumnya. Oia...kira - kira Ina apa kabarnya ya Pik?!hehehe. Dan pasangan yang paling fenomal adalah adalah Firnal Hadi Surya Sang Ketua OSIS dan Neneng Aulia Erfina Si Bintang Sekolah. Bagaimana tidk fenomenal kalau seisi sekolah termasuk dewan guru dan petugas TU tau akan hal itu. Beruntung, Engkong Dalih, tukang kebun sekolah, tidak peka akan hal ini. Dan kalau saja di sekolah ada "award" yang dipersembahkan kepada mereka yang enggak tau diri dalam hal gebet - menggebet. Gue yakin,Si Alek bandar judi bola adalah pemenangnya,yang dengan PD nya mau jadi'in Neneng sebagai kekasih hatinya. Iya...Neneng Aulia Erfina Bintang Sekolah itu,yang pake jilbab,cantik dan pinter itu. Sedangkan si Alek?! yang pasti enggak lebih ganteng dari gue :) . Kalau kisah cinta gue di sekolah sih menyesakkan, dengan tampang yang ngepas, gebetan selalu lepas dan cintapun kandas. Menyedihkan.. :( . Walaupun masih cinta monyet dan sekarang kalian hidup dengan pasangan masing - masing, gue yakin kisah kalian tetap meninggalkan kesan dan tetap menyedihkan buat gue. 

Sebenernya masih banyak yang mau gue ceritain disini, misalnya tentang Iis yang enggak gede - gede, Aryanih yang menggilai Vincenzo Montella ( pemain As. Roma, sekarang sudah menjadi pelatih Fiorentina ), Nurrohman yang lengannya sempat patah ketika pelajaran olah raga' Rajib yang bawelnya naujubillah, Wulan dengan rambut keritingnya, Rudi Irawan dengan gagapnya, Nengsih yang mungilnya bikin puyeng kepala, Ronah, Samrotul, Mimin, Maulana pokonya banyak deh. Temasuk guru - gurunya seperti Pak Hasan yang kalem, Mr. Yunus yang katanya "killer", Ibu Iyay yang cubitannya enggak nahan sakitnya, Ibu Puji yang sedikit bicara banyak enggak masuknya, Ibu Ning, Pak Nurito, Ibu Laras, Ibu Hidayati, Ibu Diana dan yang lainnya. Masih tergambar jelas dalam ingatan, dan kalau gue ceritain juga, ceritanya jadi kepanjangan dan gue capek ngetiknya :) 

10 tahun, enggak terasa terlewat begitu saja. Apa kabar kalian yang 10 tahun lalu masih bertemu di setiap pagi? Ingin rasanya berangkulan kembali, sekedar bercerita tentang apa saja di hari yang dulu bersama kita lewati. Atau tentang buah hati kalian yang sudah pandai minta jajan. Akhir kata gue mau mengucapkan, terimakasih atas semua yang pernah kita bagi dan sa'at ini...GUE KANGEN KALIAN.... 

@doel_12

Sabtu, 04 Mei 2013

Dia...


Kali ini aku ingin bercerita tentang apa yang pernah terjadi padaku ketika kanvas senja hari ini mulai terbentang. Bukan,,,bukan cerita tentang Manchester United yang sudah memastikan juara BPL sebelum musim ini berakhir, dan sebentar lagi Juventus menyusulnya di liga yang berbeda. Bukan pula tentang pesan singkat dari nomor yang tidak dikenal dan tiba - tiba menawarkan pinjaman dengan bunga ringan. Tapi aku mau bercerita tentang "dia",yang seharusnya sudah tertinggal di belakang,namun masih saja kerap datang menyergap dalam heningnya lamunan, tanpa mengucapkan salam.


Dia yang masih suka tersenyum penuh arti ketika kita melintasi setiap sudut kota yang pernah kita kunjungi. Dia yang menjadi nyawa disetiap benda yang merupakan pemberian dari orang yang pernah dicinta. Hingga mampu menghipnotis seseorang untuk memeluk erat sebuah boneka, berbicara dengan selembar foto, bahkan tersedu dihadapan halaman - halaman buku. Tidak hanya itu, terkadang cuaca dan suasana berkomplot untuk mengundangnya tanpa diminta. Hujan dan rasa sepi adalah tandu yang biasa mengusungnya menuju jiwa yang mulai gamang dalam buai dinginnya. Dia adalah masalalu yang mengenakan jubah kenangan.

Tanpa disadari, dia sudah duduk di sampingku. Seperti biasanya, selalu ada kisah yang terpampang ketika dia menjelang. Cukup lama kami bercengkrama, dan sebelum pergi dia berkata,"di masa yang telah lalu, banyak dari mereka dan mungkin termasuk kamu, bersenggama dengan waktu demi melahirkan wujudku. Akan tetapi, tidak semua yang mampu merawat dan memperlakukanku sebagaimana mestinya. Baik dan buruknya rupaku, tergantung bagaimana hati dan pikiran berkreasi, karena ditempat itulah aku bereksistensi. Aku bisa lebih kejam dan menakutkan dari seorang algojo yang tega memenggal kepala tanpa belas kasihan. Tapi, aku juga bisa lebih bijaksana dari seorang Socrates yang pernah hidup di Yunani sana. Karena kata mereka yang bijaksana, aku adalah guru yang paling berharga. jangan pernah jadikan aku sebagai onggokan penyesalan yang enggan kamu pandang, tapi jadikan aku pembimbing jalan setelah ajaran kultus yang membentuk iman."

Setelah mengutarakan pesannya, diapun hilang bersama jingga senja yang mulai padam. meninggalkanku sendirian yang masih mencoba menyusun kepingan - kepingan makna yang diucapkannya, diredupnya rona senja yang sama.

@doel_12



Jumat, 26 April 2013

UNTUK

untuk kali ini renangi saja apa adanya
biarkan  semuanya mengalir
mengikuti merdu irama air

untuk sa'at ini,sampan kita masih terlalu rapuh
aku 'tak ingin pelayaran ini karam sebelum kita melempar sauh
kita masih terlalu lemah melawan arus
aku takut kepal kita 'tak mampu mendayung terus

untuk kali ini,sikapi saja sewajarnya
biarkan semuanya melayang dengan tenang
mengikuti buaian angin yang terbang

untuk sa'at ini,sayap kita belum begitu rapat
aku 'tak ingin perjalanan kita akan terhambat
kita masih harus menghimpun tenaga
untuk dapat mencakar angkasa raya

kokohkan sampan,
kuatkan kepal,
rapatkan sayap kita,
agar tergenggam semua asa


@doel_12

Rabu, 03 April 2013

Rindu

Rinduku ini...
cahaya panas yang membakar segala garis batas dan alasan 'tuk bisa bersabar

akar yang melilit akal
'tuk terus menusuk menuju dalam dan gelapnya perut bumi
yang membekuk dan mengikat tenangnya langkah pikiran

kalimat 'tak berkata
dan kata tanpa aksara
hingga membuat teriak gugup tanpa suara
membumbung lenyap dibungkam udara

dan ku harap
rinduku ini mengajakmu serta
menuju tempat dimana anganku terpaku dalam kekosongan
tanpa dirimu duduk berdampingan

@doel_12

Minggu, 31 Maret 2013

MENGENDAP BERSAMA MALAM

Meluruhkan segala penat di tebing malam, 
Entah kenapa, di balik cadarnya aku selalu nyaman 
dan enggan putar haluan,menepi dari lansekap hitam. 
Mungkin karena sunyinya yg berjinjit pelan hingga menenangkan? 
Atau kecupan embun di kening daun yg menyejukan? 
Hingga 'tak selalu berharap sergapan hujan yg berderap menginjak - injak angkuhnya gersang 

Ketika selendang malam anggun terbentang 
Segalanya terasa merayap tenang 
Bisik detik yang kerap terabaikan 
Menyalak, mengerang menyita perhatian dan mengingatkan 
Pendar bintang dan remangnya rembulan 
hanya berenang di tengah kelamnya kanal malam 

Mendengar yang terabaikan di bisingnya siang, 
Melihat yang tersembunyi di silaunya surya terang, 
Mungkin ini yang selalu membuatku nyaman 
mengendap bersama malam... 

@doel_12




MASIH UNTUKNYA

Sa'at ini,tengah malam terus bergeser pelan 
Seperti biasa,aku masih terjaga dalam kamar tanpa penerangan 
Menunggu kantuk yang belum juga datang 
Meski beda dari hari sebelumnya, karena kali ini tanpa bincang 

Ada segumpal hati meringkuk kedinginan di sudut ruang 
Mengeja sajak yang tertuang,berulang - ulang 
Diluruhkannya untuk seseorang yang sekarang sedang terlelap tenang 

Ya,,,kata - kata itu masih untuknya, 
Masih untuk orang yg sama, 
Yang esok pagi akan tersenyum seusai mengembara dari mimpi malamnya 
Dan senyum itu akan tetap ada setiap harinya

@doel_12




AKU MASIH ADA


Air mata kalian tidak membuatku senang, malah menambahkan beban
Aku tahu ikhlas itu susah, tapi aku yakin,kalian bisa buat itu lebih mudah

Tangis kalian, merontokan sayap - sayap yang membuatku terbang lebih ringan

lambungkan do'a untukku, bukan di jejaring pertemanan,
Tapi di hamparan sajadah, di hadapan Tuhan

Pernah Aku dan kalian, menghabiskan hari dan saling berbagi, luka dan canda, duka dan bahagia

Simpanlah kenangan itu sebagai pemberianku yang berharga,
bukan debu yang sekejap memedihkan mata kemudian hilang entah kemana
Mungkin raga yang fana ini memang tidak sempat mengucapkan "selamat tinggal"
Tapi dalam wujud yang abadi, Aku berucap "sampai jumpa lagi"
Bukan di sini, di alam materi ini,
Tapi di sana, di tempat yang telah dijanjikan oleh-Nya

Karena Aku masih ada, meski dalam sekat dimensi yang beda



@doel_12