Sabtu, 17 September 2016

Roman Picisan (dongeng Edelweiss di Surya Kencana)


Pada suatu sore, di balik bukit Akasha. Mereka masih duduk bersama menatapi senja yang mulai memudar, hanya mereka berdua dan rahasia yang mereka genggam erat, seerat rangkulan perasaan yang merapatkan hati mereka berdua. Di balik bukit Akasha inilah tempat mereka, Putri Champa Gandhali dan Wagma Waradhana, bertemu menghabiskan waktu, membahasakan senja yang perlahan berlalu, meredakan rindu yang menggebu, tanpa ada orang lain yang tahu.

Sambil menengadah, Putri Champa Gandhali berucap, “Saat ini aku sedang duduk di antara dua lingkar cahaya, yang satu ronanya meredup dan satunya lagi sinarnya teduh memeluk. Jingga senja menarik diri di balik punggung dan teduh rembulan berkerudung malam bermanik bintang di depan pandang. Akan tetapi, segalanya tak akan berarti tanpa kamu ada di sisi.”

Wagma Waradhana menatap wajah kekasihnya tercinta, ketika tatap mereka bersua lantas Ia berkata, “Dinda, bersama kita sambut malam, menaut rasa yang tersulam dengan tangan yang bergandengan dan mata saling pandang.” Seulas senyum menghiasi wajah Wagma Waradhana guna menutupi kegusaran yang ada di hatinya. Ia sadar, betapapun mereka saling mencintai, betapapun besar rasa sayang itu, keraguan tidak pernah enyah menyelimuti hatinya. Kasta adalah jurang luas dan dalam yang harus Ia lompati dan adat adalah jutaan lapis tembok tebal yang harus Ia robohkan sedangkan cinta adalah zirah yang ia kenakan untuk melewati semuanya.

Ingatannya kembali terlempar ke kejadian beberapa bulan yang lalu, Ketika itu Wagma Waradhana sedang membantu ayahnya yang bekerja sebagai seorang tukang kebun kerajaan dan melihat Putri Champa Gandhali terpontang-panting di atas kuda yang ia naiki di halaman belakang istana. Seperti roman-roman picisan lainnya, Ia lah yang menolong Putri Champa Gandhali yang kemudian jatuh cinta pada kecantikan wajahnya, manis senyumnya dan lembut tatap matanya. Begitupun sebaliknya, wajah tampan meski kulit agak gelap, dada bidang dan tubuh kekar Wagma Waradhana mampu menggetarkan dawai-dawai rasa yang kemudian mengalunkan nada-nada cinta di dalam dada Putri Champa Gandhali. Semenjak kejadian itu, mereka semakin sering bertemu, seiring berjalannya waktu mereka sadar, bahwa cinta telah tumbuh dan mengakar.

“Kanda..Kanda…” panggil Putri Champa Gandhali menyadarkan Wagma Waradhana dari lamunannya.  “Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanyanya.

“Kita, cinta kita” jawab Wagma waradhana. “Hari sudah mulai gelap Dinda, mari kita pulang, sebelum seisi istana mencarimu dan menemukan kita berdua.” Ajak Wagma Waradhana. Dalam hatinya Ia berkata, “malam yang datangnya lebih awal, atahu senja yang pergi terlalu tergesa, hingga aku tak sempat mengatakan semuanya, Dinda?!”

“Aku sudah minta izin ke ayah untuk mencari kupu-kupu di balik bukit Akasha.” Balas Putri Champa Gandhali. “Apakah kanda menyesal akan rasa ini?” sambungnya.

“Penyesalan hanya diucapkan oleh seorang pecundang, Dinda, dan aku bukan salah satunya.” Jawabnya dengan tegas.

“Iya, akulah pecundang itu, pecundang yang begitu takut kehilanganmu, sampai-sampai harus merahasiakan semua perjumpaan kita. Kanda, aku cinta kamu bukan karena sumpah seperti yang diucapkan Dayang Sumbi ketika alat pintalnya jatuh, aku cinta kamu bukan karena netra belaka.” Ucap Putri Champa Gandhali sambil berdiri dan bersiap untuk pergi.

Wagma Waradhana ikut berdiri dan memeluk Putri Champa Gandhali sambil berbisik, “Aku tahu, Dinda, kita berdua menyadarinya, untuk saat ini kita arungi sebisa yang kita mampu, akupun tak ingin bahtera cinta kita kandas berlabuh sebelum kita melempar sauh di pantai indah nan teduh yang kita tuju.” Ciuman lembut mendarat di bibir Putri Champa Gandhali.

“Bahasamu tidak sesuai dengan ukuran anak seorang tukang kebun.”

Wagma Waradhana hanya tersenyum mendengar ucapan Putri Champa Gandhali dan kembalilah mereka berdua ke istana.

Tanpa mereka sadari, sepasang mata prajurit suruhan Raja mengamati mereka berdua selama berada di balik bukit Akasha.

Raja Dineschara Rayadinata begitu geram ketika mendengar laporan dari prajurit suruhannya. Malam itu juga, Putri Champa Gandhali dan Wagma Waradhana dipanggil untuk menghadapnya.

“Aku membesarkanmu dengan segenap cinta yang kumiliki, kuturuti semua keinginanmu, Putriku. Tapi beginikah caramu membalas semuanya? Aku sudah memilihkan lelaki untukmu, Adista Dhira, pangeran dari kerajaan Alindra, bukan dengan anak tukang kebun seperti dia.” Hardik Raja Dineschara Rayadinata. “Dan kamu, Wagma Waradhana, aku sudah berbaik hati memperkerjakan ayahmu di istana, tugasmu membantunya membersihkan seluruh halaman kerajaan, bukan malah menjalin kasih dengan putriku. Kamu harusnya tahu siapa kamu dan di mana drajatmu berada.”

Mendengar amukan Raja, sepasang kekasih itu tertunduk. Sambil tersedu, Putri Champa Gandhali berkata kepada Raja. “Ayahanda, bukan inginku menafikan semua kebaikan yang telah ayahanda curahkan kepadaku, tidak pernah sedikitpun terbersit untuk mengecewakan harapanmu, maafkan aku yang tidak mampu melawan perasaan yang aku kultuskan. Maafkan aku yang akan menolak laki-laki yang kamu pilihkan. Aku harap kamu mengerti, cintaku ini tidak akan aku beri kepada lelaki yang tidak aku cintai.”

“Jadi kamu lebih memilih laki-laki tukang kebun ini?” Raja Dineschara Rayadinata murka.

Wagma Waradhana angkat bicara, ”Yang Mulia, maafkan atas kelancanganku, ini semua salahku, jangan pernah salahkan putrimu sedikit pun, biar aku saja yang menanggung semuanya.”

“Iya, semuanya memang salahmu. Aku tidak akan pernah menghukum putriku. Prajurit, panggil ayah pemuda tidak tahu diuntung ini, sekarang juga.” Perintah Raja.

“Tidak, Ayahanda, ini salah kami berdua, maka hukumlah kami berdua, dan tolong jangan bawa-bawa ayahnya ke dalam masalah ini, beliau tidak tahu apa-apa.” Bujuk Putri kepada Raja.

“Yang Mulia, hukumlah aku seberat-seberatnya, tapi jangan libatkan ayahku, hamba mohon, Yang Mulia.” Pinta Wagma Waradhana.

Sesaat setelah ayah dari Wagma Waradhana datang menghadap, Raja Dineschara Rayadinata mengucapkan titahnya, “Prajurit, buang dan asingkan mereka ke atas gunung di perbatasan barat kerajaan. Biarkan labirin pohon-pohon yang rapat memagari tempat pengasingan mereka.”

Diseretlah mereka berdua menuju pengasingan, dan Putri Champa Gandhali hanya tersedu melihat pemandangan yang tak mengenakkan itu.

Seminggu berlalu, di tengah malam yang pekat dan dingin yang begitu hebat, Putri Champa Gandhali menyelinap keluar dari istana dengan mengenakan gaun putih dan dibalut rapat jubah hitam menuju tempat pengasingan Wagma Waradhana dan Ayahnya. Setelah berhari-hari berjalan, menembus hutan dan menanjaki gunung, tibalah Putri Champa Gandhali di sebuah tanah lapang berselimut kabut tebal di kaki gunung, dan di hadapannya terhampar deretan rapat pohon-pohon memagari, setiap kali Ia mecoba untuk melewatinya, Ia akan kembali ke tempat yang sama, seperti berjalan menyusuri labirin yang menyesatkan.

Nasib lebih buruk menimpa Wagma Waradhana, 3 hari di masa pengasingan, ayahnya meninggal karena kelelahan dan dingin meremuk tulang. Ratusan kali ia mencoba menembus deretan pohon yang rapat memagarinya, ratusan kali pula Ia gagal melewatinya. Rasa sedih karena ayahnya telah tiada dan kerinduan yang mendalam kepada Putri Champa Gandhali menghancurkan hatinya.

Hari berganti dan minggu berlalu, utusan Raja yang ditugaskan mencari Putri Champa Gandhali tidak berhasil menemukannya karena kabut putih yang tebal kerap menutupi pandangan mereka.

Setiap kali senja tiba, kedua anak manusia ini selalu duduk memandanginya, meski di tempat yang berbeda, mereka serasa sedang bersama, memandang satu senja yang sama. Sesuatu yang sering mereka lakukan ketika pedang takdir belum membelah jarak antara mereka berdua.

“Di beranda jingga senja, aku termangu di atas kursi cinta. Ditopang rasa percaya dan rindu di setiap sisinya.” Gumam Wagma Waradhana di tempatnya bersandar pada batu besar.

Angin serta desau daun seperti berbisik di telinga Putri Champa Gandhali, menyampaikan ucapan Wagma Waradhana yang tengah merindunya.

“Di hadapan wajah senja yang meremang, rindu termenung didekap gamang, berharap resah mengepakkan sayapnya tuk menjauh terbang.” Balas Putri Champa Gandhali.

Entah bagaimana caranya, Wagma Waradhana seperti menyadari keberadaan Putri Champa Gandhali di dekatnya. Dan ia pun kembali berkata, “Ketika jingga senja bersandar manja di dada cakrawala, ada rindu terselip di sana, menatap iba kepada pendamba jumpa, seperti kita, Dinda.”

Putri Champa Gandhali yang menggigil kedinginan dan kini terbaring lemas mengucapkan kata-kata terakhirnya, “Senjanya sendu, seperti gebu rindu yang terbelenggu. Menanti temu tanpa kepastian waktu dan hanya sisakan sedu menderu.” Dan Putri Champa Gandhali menghembuskan nafas terakhirnya, terbaring dengan gaun putihnya di tanah lapang yang berkabut dingin dan tebal. Di tempat Ia terbaring, tumbuhlah bunga-bunga putih yang tak akan pernah layu, edelweiss, bunga abadi, untuk mengenang keteguhan cintanya.

Malam mulai menjelang, Wagma Waradhana tiba-tiba merasa hatinya sangat sepi dan gamang. Di tengah-tengah kesendiriannya, seorang Dewi yang tersentuh karena kemurnian dan keteguhan cinta Wagma Waradhana, datang menemuinya dan menceritakan apa yang terjadi kepada Putri Champa Gandhali. Wagma Waradhana begitu terpukul mendengarnya dan menangis sejadi-jadinya.

“Karena kemurnian hatimu dan keteguhan cintamu, akan kukabulkan satu permintaanmu, tapi aku tak bisa menghidupkan kembali kekasihmu.” Ucap Dewi tersebut.

Sambil tersedu, Wagma Waradhana membisikan keinginannya kepada Dewi itu. Sang Dewi pun mengangguk dan terbang ke angkasa. Cahaya yang keluar dari tangannya mengangkat tubuh Wagma Waradhana, bersatu dengan sinar tersebut lantas membuncah menjadi butir-butir embun jatuh memeluk bunga-bunga abadi jelmaan Putri Champa Gandhali.

Bagi para pendaki yang ingin ke puncak Gunung Gede Pangrango dan melalu jalur Gunung Putri, mereka biasanya mendirikan tenda di alun-alun Surya Kencana, ladang edelweiss, di bawah pucak gunung Gede.
image by: google



NB: Tulisan ini gue bikin buat isi sesi dongeng di Komunitas Supernova yang isinya manusia-manusia super semua. Super jempolnya, kalo lagi ghibahin orang :p. Big Thanks buat Yoga yang udah kasih masukan.


@doel_12

Jumat, 01 Juli 2016

Tetap #BanggaJakmania

  Selang beberapa menit setelah seorang pitch invader yang memasuki lapangan pertandingan diamankan petugas, belasan The Jak dari tribun vip timur mulai merangsek melewati pagar dan menyerang petugas keamanan yang berjaga di sisi lapangan, bentrokpun tak bisa lagi dihindarkan dan kita semua tau kelanjutannya, karena beberapa hari setelah kejadianpun berita kerusuhan supporter di GBK masih menghiasi headline berita-berita online maupun elektronik. Yang sayangnya, beberapa media massa yang memberitakan seperti tidak melakukan kroscek kebenarannya terlebih dahulu. Mulai dari berita kalau Jakmania bentrok dengan supporter Sriwijaya FC ( yang kemudian dibantah oleh pihak supporter SFC itu sendiri melalui akun twitter mereka), juga ada yang menuliskan di headline nya kalau salah satu Petugas Polisi terluka karena siraman air keras (mungkin es batu kali ya yang dimaksud air keras itu).

“You know the best part? It isn’t knowing that your friends have your back, it’s knowing that you have your friend’s back” kata Matt Buckner setelah mereka berhasil mengalahkan supporter MU di Film Green Street Hooligans yang tersohor itu. Seenggaknya ini yang gue, atau kita alami seminggu lalu, ketika salah satu kelompok supporter kreatif di Indonesia akhirnya lepas kendali. Gue yang waktu itu nonton bareng sepupu gue yang masih kecil dan beberapa temen gue beserta dua orang wanita di dalamnya, udah ngerasa ada yang enggak beres ketika bunyi petasan beberapa kali terdengar dan gas air mata mulai tercium dari lorong pintu sector 19. Sampai akhirnya pertandingan dihentikan karena kerusuhan, gue dan yang lainnya masih berdiam diri di tribun pegangin tangan sepupu gue dan mengajaknya menjauh dari keributan yang mulai enggak ketahan, saling menjaga, saling mengingatkan satu sama lain. Setelah beberapa lama ketahan di tribun, gue dan yang lainnya coba keluar dari stadion yang sayangnya suasana di luar lebih chaos dari yang kami kira dan tidak memungkinkan untuk kami bisa keluar dari stadion dengan membawa anak kecil dan 2 orang wanita, akhirnya kamipun kembali ke tribun. Karena efek gas air mata yang masuk ke tribun semakin terasa tidak tertahan kami akhirnya turun sampai ke tengah lapangan di mana supporter SFC dan puluhan jakmania yang masih tertahan berkumpul di dalam stadion untuk menghindari jangkauan gas air mata.

Setelah sekian lama menunggu di tengah lapangan dan  merasa kondisi di luar sudah kondusif, kamipun keluar untuk pulang. Sesampainya di pintu pagar ring 2 kawasan GBK, satu kompi petugas menginstruksikan kami untuk diam ditempat dan tidak keluar pagar akan tetapi tidak beberapa lama kemudian satu kompi yang ada di belakang kami memerintahkan kami untuk keluar secepatnya sampai-sampai ada seorang petugas menghitung mundur. Langsung aja gue tarik sepupu gue, berteriak ke yang lain agar tidak terpisah dan bergegas keluar pagar sambil menunggu bus rombongan kami datang.

Sesampainya di rumah, lebih tepatnya rumah temen gue, seperti yang lainnya gue coba ngecek timeline twitter, yang sayangnya banyak berita-berita kayak yang udah gue bilang di atas, di tambah hakim-hakim dadakan dunia maya yang ga ada di lokasi kejadian tapi berasa paling tau kronologisnya. Sampe-sampe yang enggak ngerti kultur supporter dalam negripun ikut angkat bicara, dan anehnya kebanyakan dari mereka punya standard ganda perihal kerusuhan supporter. Karena ketika ada Hooligans atau Ultras yang ada di Eropa sonoh bentrok, mereka bilang keren dan teriak kampungan kalau kejadian itu ada di negrinya sendiri, padahal sama-sama ribut. Eh ganteng, gue bilangin nih ya, gue yang waktu itu nonton dan liat kejadiannya dengan mata kepala gue sendiri aja enggak berani berasumsi ini itu karena gue yakin enggak sesederhana itu masalahnya dan pasti ada alasannya. Lagian kalo soal ribut, gue rasa masyarakat kita emang doyan ribut kok apalagi setelah maraknya media sosial, jangankan masalah bola, soal makan bubur ayam diaduk dulu apa kaga juga bisa bikin debat panjang sampe perang antar gang :p.


Bagi masyarakat awam, termasuk tetangga gue, kerusuhan kemaren itu diakibatkan karena kekalahan Persija atas Sriwijaya FC. Yang luput dari pengamatan mereka adalah ketika kerusuhan yang diakibatkan kekalahan sebuah tim, biasanya yang menjadi sasaran amukan supporter adalah wasit atau pemain, bukan Polisi. Untuk hal ini mau tidak mau kita harus melihat ke belakang, bukan buat liat kenangan bareng mantan, tapi coba menelusuri akar permasalahan. Ketika peraturan di dalam stadion semakin banyak sampai untuk masukpun harus melewati pemeriksaan berkali-kali, sementara kasus #usuttuntas pelaku yang mengakibatkan hilangnya nyawa alm. Fahreza belum ada kejelasan. Seperti air yang mempunyai titik didih, kesabaran juga ternyata punya garis batas, rasa kecewa itu akhirnya meledakan sebagian dari kami yang lelah dijejali janji-janji, dipicu gas air mata yang diduga terlalu dini ditembakkan, dan kericuhanpun tak bisa dielakkan. Apapun alasannya, pengerusakan tidak bisa dibenarkan, termasuk pengerusakan outlet Jakmania, itu juga sama, tidak bisa dibenarkan. Kalau terus-terusan saling balas, gue yakin enggak akan ada habisnya, “jika sebuah mata harus dibalas dengan sebuah mata, hanya akan membuat seluruh dunia ini buta”, kata Gandhi. Bukan mau menggurui, siapalah gue ini segala berani menggurui, gue cuma mau kita saling intropeksi diri, enggak lebih.

Kita harus akui kalau kita masih terlalu mudah terprovokasi sampe enggak sempat berpikir implikasinya buat Persija, terlebih lagi buat kita sendiri, Jakmania. Jangan salah sangka dulu, mungkin gue emang enggak se-fanatik kalian, frekwensi away gue juga masih keitung jari dan KTA gue juga belom sempet gue perpanjang semenjak digunting pas beli tiket di Lebak Bulus, tapi  kecintaan gue sama Persija enggak bakal sirna, pun kebanggaan gue menjadi Jakmania cuma karena selalu dipojokkan, bukankah hal itu sudah biasa?! Yang gue sayangkan adalah, kejadian kemarin seolah menenggelamkan usaha kerasnya anak-anak bidang acara yang membuat koreo begitu indah. Jadi, mengutip dari omongan si Matt Buckner tadi, ”kalian tau bagian terbaiknya? Bukan mengetahui bahwa temanmu melindungimu, tapi mengetahui bahwa kamu melindungi temanmu.” Semoga kalian enggak mengartikan kata “melindungi” di sini dengan arti yang sempit. Akhir sekali, mari kita kembali rapatkan barisan, untuk mendukung tim kesayangan. #GuePersija dan tetap #BanggaJakmania




@doel_12 

Image by : @GuePersija 


Selasa, 15 Maret 2016

Pencarian


Aku masih terbaring di atas kubur empukku ketika bibir subuh mulai membiru dikecupi deru nafsu serdadu-serdadu hujan menyerbu tanpa ragu. Batang rokok terakhir terhempas,remuk diremas kotak asbak bersama onggokan debu, ampas, hilang nafas. Sukmaku berkelana ditating kepulan asap dari hembusan berat, menyelinapi celah-celah jendela kusam, menyapu punggung-punggung buku yang berderet di rak, menatapi penghuni  yang hidup di dalamnya. Terus mencari, mencari hidup yang terus mencari. Sepertinya hidup memang bukan hanya sebuah perjuangan,tapi juga sebuah pencarian. Seperti,  Leo Tolstoy yang nyaris bunuh diri dalam pencarian jawaban untuk sebuah pertanyaan dalam hidupnya. Hitler yang terus mencari darah segar para Yahudi. Juga pemuda bernama Soe Hok Gie, yang mencari kedamaian di puncak-puncak gunung, sampai pada akhirya,di puncak para dewa, Ia menemukan kedamaian abadi.

 Dan salah satu pencarian terbesar adalah pencarian sebuah rasa yang senantiasa dikultuskan dan ‘tak jarang menjadi berhala bagi para pemujanya. Ada seorang bernama Kahlil yang mengunjungi kuil  Ishtar untuk menemui Salma Karami, obat dari sayap-sayap patahnya. Juliet, perawan dari Capulet,  mencari cintanya dari sebatang pisau guna menyusul kekasihnya yang telah terlebih dahulu dicekik oleh racun, Romeo, musuh besar keluarganya, cinta terbesar dan sejatinya. Ada juga Chairil yang mau menjelajah nusantara, katanya, mencari Ida. Dimulai dari memasuki bilik Marsiti, berjalan di tegalan sawah Hapsah, menginap di rumah Gadis Mirat dan akhirnya berhenti di sebuah pantai tak bernama, meski Ida lantas lenyap tak terdekap.

Sebelum bilah-bilah pedang waktu berkhianat, bak Judas yang melapangkan jalan untuk Jesus menuju penyaliban, menggoreskanku luka penyesalan tak tertangguhkan. Sudah lama kuputuskan untuk berhenti melakukan pencarian rasa, ‘tak usahlah mencari lagi permata bercahya, untuk apa lagi mengejar putri jelita jika ada seorang Dewi yang berdiri di sampingku dengan setia.

Kepulan asap dari batang rokok terakhir yang terhembus perlahan lenyap, diiringi seruan muadzin melafalkan iqomat. Aku yang bodoh ini akhirnya tersadar, dari Dia-lah segalanya berasal dan di Dia pula segala yang ada di semesta raya bermuara.

@doel_12

Suara


Ia adalah perantara dari rangkaian aksara tak kasat mata
Ia merambati helai udara hingga membelai gendang telinga
Ia yang menjadi tiket masuk dalam singkatnya tidur
Menaut cerita dan tawa berganti menjadi hembus nafas atau degkur
Ia adalah suara
Yang tak terdekap dan tak terlihat
Tapi Ia, ada

@doel_12


Senin, 14 Maret 2016

Sebuah Tanya


Bukan tatapyang membuat rasa ini tertambat
Bukan pula parasmu yang menebar benih rindu di setiap waktu
Entahlah, akupun 'tak mengerti
Berawal dari ujung jaemari dan hari-hari yang kita lalui
Perlahan rasa itu mengaliri bilik-bilik hati
Lengan waktu terus menuntun tanpa terbendung
Hingga mimpi enggan memayung tanpa mendengar senandung
Dan tanya tiba-tiba lahir tanpa diduga
Apakah ini cinta?
terlalu tergesa untuk memberinya nama
mungkinkah ini sayang?
Terlalu naif untuk menampiknya
Bisakah kamu bantu menjawabnya, Dinda?
Ini tentang kita
Atau, hanya pertanyaanku seorang saja?

@doel_12



Ingatkah Kamu?


Ingatkah kamu?
Ketika kita menelusuri keindahan kota yang terus tergerus masa
Berjalan di sisi kanalnya
Coba mencium sisa – sisa kejayaan pada masanya
Menyentuh kemegahan dinding dan pilar – pilarnya
Dan kau terlelap diiringi lantunan kereta setelahnya

Atau ketika kita berkelana jauh ke angkasa raya
Mengaitkan jemari di bawah konstelasi Andromeda
Saling menggenggam tangan di hadapan Venus yang cemerlang bercahaya
Kerling jutaan bintang serasa ikut menggoda kita

Aku ingat semuanya
Aku simpan semuanya
Di dalam sana, dalam samudera kenang yang terdalam
Di dasar palung yang tidak akan ada orang mampu menyentuhnya
Kamu ada di sana.

@doel_12