Kirana mentari pagi tampak seperti tombak-tombak tajam yang membelesak dari celah daun kelapa di belakang rumah. Bulir embun yang masih menggantung di pucuk rumput liar, menanti siramananya agar terlihat berkilauan bak mutiara, meskipun itu membuat mereka harus hangus terpanggang cahaya, lenyap di pelukan udara. Awal hari yang beda, gumamku, sambil merasakan godaman keras di kepala akibat waktu tidur yang tidak wajar belakangan ini, karena kecongkakanku sendiri.
Malam-malam sepi yang kulewati, 'tak jua membuat aku sadar akan keangkuhanku kepadamu. Aku merasa, aku telah mengerti dan memahamimu, ternyata hanya seujung kuku yang aku tau, itupun masih sangat berlebih dan tak pantas buatku. Jumawa yang bersemayam di dalam dada membuat kau lenyap, hilang dan pergi tanpa tanda, dan aku hanya bisa menantimu datang dengan sapa. Aku yang begitu sombong, mencoba melahirkan wujudmu ketika membahasakan jingga senja, mengawinkan kata-kata ditengah malam dalam jaga, membuat aku merasa memang diciptakan untuk menjadikan kau ada, dalam baris-baris kata, dari cumbuan bermacam aksara. Aku begitu jumawa.
Segelas kopi pagi, menebarkan aroma yang menjalar cepat menuju sel-sel otak. Menggelitik memori yang terjadi ketika aku menantimu di malam hari. Menatap kosong selembar kertas kesepian, menggenggam kaku sebatang pena yang membisu, tidak mampu aku mengundangmu menuju pelukku. Jam dinding terkekeh mengejekku yang termangu di bibir subuh, kamu masih 'tak terrengkuh.
Sebatang rokok mulai kubakar guna menemani kopi pagi. Kepulan asapnya terus membumbung tinggi hingga lenyap 'tak terlihat lagi. Mengacuhkan harumnya aroma segelas kopi pagi. Dan akhirnya aku tersadar, kerendahan hati adalah kunci pembuka gembok jeruji inspirasi. Mengutus fetus puisi tanpa putus, tanpa henti.
Kusadari ini, dari sebatang rokok dan segelas kopi pagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar