Senin, 13 Agustus 2012

Fajar pertama dipuncak Pangrango chapter II

senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfa’at dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberada’anmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala cintamu
dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampa’an semua

“hidup adalah so’al keberanian menghadapi yang tanda tanya
“tanpa kita mengerti,tanpa kita bisa menawar
“terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu,melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

(Jakarta 19-7-1966)

Demikian tulis Soe Hok Gie dalam salah satu puisinya tentang gunung yang akan kami daki hari ini. Gunung yang tingginya 3.019 m dpl dan sudah tidak aktif ini, memang kerap kali muncul didalam puisi-puisinya. Sepertinya sosok Soe Hok Gie sangat lekat dengan gunung ini, begitupun sebaliknya. Meskipun Beliau wafat karena tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru pada bulan Desember  1969. Akan tetapi, namanya sangat erat dengan Pangrango dan lembah yg begitu legendaris tempat ia merenung,,,ya lembah Mandalawangi. Baiklah,kita sudahi dulu mengenang "Seorang Demonstran" yang sangat kritis dan berani pada masanya itu.


Kembali ke perjalanan kami…

Setelah selesai berdo’a, saya memantapkan tekad saya dan melecutkan semangat saya lebih dari biasanya. Karena saya yakin, kalau ini bukan hanya perjalanan untuk daging yang membungkus raga saya. Dan langkah-langkah kamipun dimulai,dibarengi dengan gurauan tanpa makna dan diselingi oleh canda tawa. Tidak terlalu jauh dari tempat awal kami memulai,tibalah kami di pos pemeriksa’an. Disini setiap pendaki wajib menunjukan surat izin yang sudah diurus sebelumnya. Selain itu petugas juga menerangkan apa saja yg tidak boleh dibawa dan dilakukan selama pendakian. Setelah Yofan menunjukan surat izin pendakian kami dan menjawab beberapa pertanya’an dari seorang pria paruh baya tapi badanya masih terlihat bugar ini,kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Langkah demi langkah kami lewati jalan berbatu yang mulai terasa mendaki, namun  kata Yofan ini masih belum seberapa dengan jalur yang akan kami tempuh didepan nanti. Sejenak saya cukup “down” mendengarnya. Sebab menurut saya,ini sudah cukup menguras tenaga dan membuat dada saya yang telah terkontaminasi nikotin menjadi agak sulit untuk mengolah udara. Saya berusaha agar tetap tenang,meskipun pertanya’an akan mampu atau tidak saya mencapai puncak tetap terngiang-ngiang. Dan hal yang paling saya takuti adalah,kalau nanti saya akan merepotkan dan menghambat perjalanan mereka. Semoga saja tidak.

Disuatu tempat,kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Ditempat ini Yofan mulai merasakan kembali rasa sakit pada salah satu bagian kakinya yang memang belum sembuh total. Menurut cerita yang beredar dikalangan kami,rasa sakit yang sulit sembuh itu diakibatkan karena makhluk halus yang tempatnya dikencingi (ma’af) oleh Yofan tidak terima sampai akhirnya terus mengikutinya sebelum ia meminta ma’af,hal ini juga yang kami jadikan sebagai bahan ledekan untuknya…hehehe

Buah apel yang tersimpan di carriel yang kami bawapun sudah kami santap sebagai tambahan energi dalam perjalanan ini dan hanya menyisakan beberapa saja untuk nanti. Setelah mengambil beberapa gambar dari kamera saku yang dibawa Juni, kembali kami berdiri, beranjak dari tempat yang kami singgahi. Berawal dari tempat ini,kami yang pada awalnya berjalan secara bersama’an mulai terpisah. Saya dan Adinoyo berada di depan, disusul dengan Yofan dan Zaeni,sedangkan Juni dan Ambon berada diposisi paling belakang. Saya yang tidak mampu mengimbangi kecepatan langkah-langkah Adi akhirnya tertinggal olehnya,dan berharap dia akan menunggu saya dijembatan yang sempat dikatakan oleh Yofan.

Carriel yang ada dipunggung saya terasa semakin berat, pakaian yang melekat ditubuh sayapun semakin basah oleh keringat. Adi yang sudah tidak terlihat,membuat semangat saya kembali mencuat untuk mencoba mengejarnya. Saya memang tidak berjalan dengan cepat,tidak juga dibilang terlalu lambat. Akan tetapi langkah-langkah saya yang konstan membuat saya mampu melewati beberapa orang yang sebagian besarnya adalah wisatawan.

Berjalan dan terus berjalan berharap Adi terlihat didepan saya. Tanpa saya sadari di depan saya terbentang jembatan yang ujungnya tak kelihatan,  membelah rawa yang dari keteranganya terbentuk dari bekas kawah mati,Rawa Gayonggong namanya. Banyak wisatawan yang berfoto disini dengan latar belakang jembatan dari rawa itu sendiri dan gunung yang tinggi tegak berdiri. Saya yang berharap Adi menunggu saya ditempat ini,harus kecewa karena dia tidak terlihat hingga jalan yang saya lalui kembali berbentuk bebatuan.



Saya yang sudah menyerah mengejar Adi,akhirnya memutuskan menunggu yang lainya disalah satu tempat yang saya lupa namanya. Yang jelas banyak para pendaki yang beristirahat disini sekedar untuk menghimpun nafas,minum dan ada juga yang merokok,salah satunya turis asing wanita yang berdiri tidak jauh dari hadapan saya. Cukup lama saya menunggu,sampai akhirnya Yofan dan Zaeni terlihat dan menghampiri tempat saya beristirahat. Yofan yang duduk sambil memegangi kakinya yang terasa sakit,dihujani pertanya’an oleh Zaeni tentang “blewah” yang sedari tadi mereka ikuti. Saya yang masih belum mengerti “blewah” apa yang mereka maksud,mencoba terus mencerna apa yang sedang mereka perbincangkan. Hingga kemudian saya fahami kalau wanita yang melintas didepan saya tadi itulah yang mereka maksud. Saya tidak habis pikir,kenapa Zaeni bisa menganalogikannya dengan kata "blewah"?namun enggan saya tanyakan. Tidak lama Ambon dan Juni datang dan bergabung dengan kami, Ambon pun langsung meminta air yang belum saya keluarkan dari carriel,meskipun saya juga haus, tapi tidak enak rasanya kalau saya minum sendiri tanpa ada yang lain.

Perajalanan kembali dilanjutkan setelah kami merasa cukup beristirahat. Medan yang kami tempuh semakin berat, hal ini membuat Ambon semakin jauh tertinggal dibelakang bersama Juni yang setia menemaninya. Saya bersama Yofan dan Zaeni pun sudah tidak terhitung lagi berapa kali kami mengambil jeda dan beristirahat. Disalah satu perhentian kami, Yofan menggantikan saya membawa carriel yang saya bawa.

Fokus kami sementara ini adalah tidak terlalu sore ketika  tiba di Kandang Batu, karena kami masih harus mendaki lagi menuju Kandang Badak,tempat dimana kami berencana untuk mendirikan tenda dan bermalam. Kami berharap kalau Adi menunggu kami di Kandang Batu, karena kami juga ingin memasak bekal yang kami bawa disana. Sampai pada akhirnya kami tiba di tempat Wisata Air Panas, yang artinya jarak Kandang Batu sudah sangat dekat. Tidak jauh dari tempat Wisata Air Panas, kami mengisi botol air mineral yang isinya sudah kami habiskan diperjalanan tadi. Kadar belerang yang cukup pekat, membuat kami agak kesulitan untuk menentukan sumber air yang akan kami ambil dari aliran sungai ini. Merujuk dari keterangan dan rekomendasi beberapa pendaki, kami mengisi boto-botol kosong kami ditepian sungai di dekat pohon tumbang. Tenggorokan yang mulai keringpun kembali basah merangkul kembali tenaga yang mulai menguap. Hingga tidak terasa, tibalah kami di Kandang Batu, tanpa banyak kata kami turunkan beban yang sejak tadi bercokol di tubuh kami.

Beberapa keping biskuit bertabur abon pedas menemani kami menunggu Ambon dan Juni yang belum juga datang. Sedangkan Adi yang kami harapkan menunggu kami ditempat ini juga tidak kelihatan batang hidungnya. Cukup lama kami ditempat ini, sampai pada akhirnya pandangan kami menangkap sepasang pemuda yang dari cara jalanya sudah cukup kami kenali,ya,,,itu mereka…

Rencana memasak bekalpun batal, karena tidak adanya Adi. Bukan karena dia yang membawa bahan makananya,melainkan kami khawatir kalau-kalau dia kelaparan nanti sedangkan kami sudah makan disini (bukankah kami baik wahai Adi ?). Jam digital yang tertera dilayar handphone Yofan menunjukan angka 14 dan 2 angka dibelakangnya saya lupa,,,hehe… Karena merasa sudah cukup lama beristirahat, kamipun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak.

Lagi-lagi Juni dan Ambon tercecer dibelakang saya, Yofan dan Zaeni. Karena tidak ingin lebih banyak membuang waktu kami terus saja berjalan, meski kadang berhenti sejenak mengambil nafas dan mengistirahatkan kaki Yofan yang memang sakit. Sepanjang perjalanan tidak jarang kami membicarakan Adi yang belum juga bertemu dengan kami, dan kali ini kami berharap dia menunggu kami di Kandang Badak. Yofan yang sudah beberapa kali kesini, cukup hafal dengan tempat ini dan berkata kalau Kandang Badak sudah tidak jauh dari tempat kami beristirahat yang kesekian kalinya. Hari sudah semakin sore, dan beberapa pendaki sudah ada yang mulai turun dan melintas didepan kami yang sedang duduk disebuah batu yang cukup besar. Tiba-tiba dibelakang rombongan pendaki yang mulai turun, Adi berlari sambil berteriak “wooy,,,kemane aje lo,lama bener?!,gue udeh abis dari puncak Gede…” dan ceritanya berlanjut tentang Kandang Badak yang berubah jadi pasar karena banyak dan ramainya pendaki yang beristirahat bahkan mendirikan tenda disana. Tidak mau membuang-buang waktu kamipun bergegas. Dalam perjalanan menuju Kandang Badak saya membatin,,,”emang saklek nih si Adi,gue yang baru nyampe sini aje udeh kerasa capek bener,lah dia malah udah nyampe Puncak Gede,terus pake acara turun lagi jemput 1 orang pemula dan 1 orang pendaki sakit yang nekat” hehehe…

Sesampainya di Kandang Badak, kami keluarkan peralatan memasak dan bahan makanan yang kami bawa dari dalam ransel dan carriel sambil menunggu Juni dan Ambon yang belum kunjung tiba. Saya dan Adi mengambil air untuk dimasak, sedangkan Yofan dan Zaeni menyiapkan bahan-bahan sebagai menu makanan kami sore ini. Ditempat kami mengambil air, ternyata sudah ada beberapa pendaki wanita yang mengantri dengan keperluan yang tidak sama,ada yang sedang sekedar cuci muka,ada juga yang mengantri untuk berwudhu.

Empat botol air mineral ukuran besar sudah kami isi penuh, setelah Adi selesai berwudhu, kami kembali ketempat kami berkumpul. Tidak lama berselang Juni dan Ambon datang, dan langsung membantu yang lainnya. Ternyata kompor yang kami bawa tidak berfungsi, sehingga Yofan memasak air menggunakan kaleng yang di isi oleh cairan spirtus mirip tukang tambal ban pinggir jalan. Saya yang penasaran mencoba membetulkan kompor yang tidak mau menyala ini dibantu oleh Juni dan Adi yang baru saja selesai melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslim. Setelah bongkar kiri, kanan, atas, bawah bagian kompor tersebut. Ternyata jarum yang fungsinya mendistribusikan gas tersumbat. Dengan bantuan sebuah jarum Jahit yang dibawa Yofan, Juni menusuk dan mencongkel-congkel bagian lubang yang tersumbat. Setelah dianggap cukup komporpun kembali dicoba untuk dinyalakan kembali, meskipun pada percoba’an pertama gagal, tapi tidak untuk percoba’an yang kedua. Alhasil kompor yang tadi tidak mau menyalapun akhirnya mengeluarkan api, dan berkumandanglah lagu “we are the champions” nya “Queen” dari mulut kami,sampai-sampai para pendaki yang berada disekitar kamipun mengalihkan pandanganya kepada kami…hehehe… Oia,,, saya, Juni, Adi dan Zaeni berasal dari satu almamater tapi beda angkatan, jadi…3 teknisi tadi berasal dari satu sekolah… SMK NEGERI 1 CIKARANG BARAT (STM NEGERI SATOE BEKASI), jadi buat kalian atau sanak saudara kalian yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke program kejuruan, STM NEGERI SATOE BEKASI adalah pilihan yang sangat tepat…hehehe tapi jangan salah, diterima disekolah kami tidak mudah, harus melewati seleksi yang ketat dan mental yang mantap,,,camkan itu hehehe

Teh manis hangat, mie instan rasa berantakan dan nasi yang bagian bawahnya gosong tapi tetap terasa nikmat hingga habis kami santap. Cukuplah untuk asupan energi perjalanan kami sore ini, karena rencana kami untuk berkemah disini harus dibatalkan dengan alasan tidak adanya lahan yang cukup untuk kami mendirikan tenda. Sekitar pukul setengah lima sore kami mulai bersiap mendaki, lingkaran kecil kembali terformasi,do’a kembali terpanjat dari bibir-bibir kami yang mulai pucat.

Selangkah demi selangkah kami menembus hutan,menerjang dingin petang, menyelinap diantara pohon-pohon dan ranting yang saling bersilangan. Jingga senja mulai tertutup jubah malam, sinar redup rembulan menembus dedaunan, dibawahnya kami masih terus berjalan menuju mahakarya Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara Ambon dari belakang meminta berhenti sejenak untuk beristirahat. Melihat kondisinya yang terlihat begitu lelah kami memutuskan untuk tidak langsung menuju puncak malam  ini, melainkan mencari tempat yang cukup untuk sekedar mendirikan tenda agar kami bisa bermalam dan melanjutkan perjalanan esok pagi. Malam semakin pekat, sedangkan senter yang kami bawa sangat terbatas bahkan bisa dikatakan kurang. Karena dari 3 senter yang kami bawa, satu diantaranya tidak berfungsi, sampai-sampai Juni menggunakan senter handphone miliknya.
Semakin malam udara semakin dingin, dan medan yang kami tempuhpun semakin berat. Adi yang berada didepan, selalu mengingatkan kami ketika kami sedang berjalan disisi jurang agar lebih hati-hati. Kami terus mengikuti jejak-jejak dan tanda-tanda yang sangat sulit terlihat karena gelap, sejenak terlintas ketakutan pada diri saya akan tersesat. Cuma satu pegangan saya waktu itu,yaitu do’a, hampir disetiap sa’at,bibir saya meluncurkan do’a pelan-pelan,dan disa’at itu pula dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan hidup tergambar jelas di depan mata. Inilah yang saya maksud kalau perjalanan ini bukan hanya sekedar perjalanan yang ditempuh oleh unsur-unsur yang menyusun tubuh saya,tapi ada yg lebih mutual dari yang material tersebut,yaitu hal yang bersifat spiritual. Karena ketika saya berada dalam rengkuhan rimba,meresapi dinginya,terbenam dalam suramnya,saya bisa lebih mengenal dan menyentuh tentang hidup,syukur,keindahan dan Tuhan.

Break!!!teriak Juni dari belakang,melihat posisi Ambon yang sudah selonjoran meluruskan kakinya,kamipun menghentikan perjalanan kami beberapa sa’at. Kembali kami bertanya kepada Ambon tentang kondisinya,selang beberapa sa’at diapun mengisyaratkan untuk kembali melanjutkan perjalanan,kamipun bergerak tanpa buang-buang waktu lagi. Tidak terlalu jauh dari tempat kami beristirahat,akhirnya kami temukan tempat meski tidak begitu lapang,tapi cukuplah kalau hanya untuk sekedar mendirikan tenda. Dan kami putuskan untuk bermalam disini.

Tenda sudah berdiri,Adi,Yofan dan Zaeni sedang siap-siap menyalakan api untuk memasak. Saya,Juni dan Ambon membereskan barang-barang yang ada di dalam tenda. Ditengah-tengah aktifitas kami masing-masing,selalu ada tawa yang terselip menyelingi obrolan-obrolan kami. Saya yang sudah sangat merasa keleahan,mencoba membaringkan badan saya yang sudah dibalut dua jaket tebal. Semakin lama suara obrolan mereka semakin jauh terdengar,dan sayapun tertidur tanpa merasakan teh hangat yang sudah sejak tadi saya bayang-bayangkan.

Malas sekali saya buka kelopak mata saya ketika Yofan menggoyang-goyangkan badan saya,dengan tidak kalah malasnya saya bertanya,”emang udeh jam berape sih?” dan mata saya kembali terpejam. “eh Nyuk,bangun lo!mao berangkat kaga?udah jam empat neh…”.teriak Yofan membangunkan saya. Masih dengan perasa’an malas sayapun duduk,terlihat Adi di depan saya sedang melakukan tayamum,rupanya dia mau shalat subuh. Dari semua makhluk yang dibilang manusia yang ada di dalam tenda ini,Cuma Adi yang tidak pernah meninggaklkan kewajibannya sebagai makhluk yang beradab dan beragama. Sedangkan saya?masih pantaskah predikat manusia tersemat didiri saya?!saya membathin.

Sekitar pukul 04:30,setelah kami berkemas dan memakan beberapa bekal yang kami bawa,kamipun sudah bersiap-siap di depan tenda. Barang-barang yang sekiranya tidak kami butuhkan dipuncak nanti kami tinggalkan di dalam tenda. Perjalananpun dimulai dengan berdoa’a. satu hal yang tidak kalah penting dan patut untuk diketahui,kalau mulai dari tempat ini saya menggunakan kaos kaki warna oren yang melekat anggun dikaki saya,,,hehe sangat informatif bukan ?!

Angin pagi menyanyikan lagu ranting-ranting yang mendesau di pepohonan,cahaya senter kami coba menembus gulungan kabut pekat yang membebat. Selangkah demi selangkah terus kami memanjat,hingga tidak jarang tangan kami saling berjabat,mengangkat tubuh satu sama lain ditengah alam yang sangat khidmat. Semakin tinggi tempat kami berdiri semakin keras pula angin yang menerpa wajah kami,dan bayangan tentang puncak yang ditujupun semakin gencar menari-nari.

Diatas kami yang sedang beristirahat untuk yang kesekian kalinya,dewi malam terus meniti garis orbitnya.  Sedangkan fajar,tengah menyiapkan kanvas untuk ditorehkanya berbagai warna yang akan memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Kami yang tidak mau melewatkan lukisan agungnya,bergegas meninggalkan tempat kami melepas lelah.

Adi yang berada diposisi paling depan,terlihat sangat bersemangat ketika melihat tanah datar yang berada tepat dihadapan kami. Ia yang berjalan setengah berlari kemudian berteriak kalau kami sudah sangat dekat dengan titik puncak. Kami yang berada dibelakangnya semakin semangat mengimbangi langkah-langkahnya. Benar saja,tidak jauh dari tempat kami berdiri terlihat monumen yang tidak terlalu tinggi,Tugu Triangulasi. Tugu yang menandakan puncak dari Gunung Pangrango,tugu yang pernah diduduki oleh Soe Hok Gie disalah satu fotonya dan tugu yang sangat ingin saya jumpai sejak awal perjalanan ini. Satu hal yang membuat saya miris adalah,sebagian besar permuka'anya telah dikotori oleh tangan-tangan penganut budaya vandalisme, dan dilakukan oleh orang-orang yang katanya pecinta alam.

Soe Hok Gie diatas Tugu Triangulasi pada tahun 1967

Kami dengan latar belakang Tugu Triangulasi


Disa’at yang lain berteriak meluapkan kegembira’annya,saya lebih memilih diam. Meresapi dinginya angin yang berhembus,menghirup harumnya udara yang membawa wangi bunga abadi. Saya biarkan semuanya menyusup dalam melalui pori-pori,meresap turun kerongga dada hingga ke inti hati. Dan syukur terus terucap tanpa saya sadari.

Tidak lama berselang,langit mulai terlihat terang. Kabut dan awan berangkulan membentuk permadani sutera yang membentang menutupi puncak-puncak gunung yang terlihat dihadapan kami. Perlahan semburat jingga merayap mewarnai cakrawala yang tidak lagi begitu gelap,diikuti rentetan warna lain yang terus mengisi,melengkapi dan memenuhi bentangan kanvas agung yang berada dihadapan kami. Tanpa kami sadari,sinar hangat mentari sudah menyirami tempat kami bereksistensi,dan niat mengunjungi Lembah Mandalawangi pun urung terlaksana,karena bekal makanan yang harusnya kami bawa malah tertinggal di tenda. Bukan Cuma bekal yang tertinggal,kondisi Ambon yang sudah sangat letih pun menjadi pertimbangan kami. Dan kamipun memutuskan untuk kembali turun. Mandalawangi,tunggu kami dilain hari….



Penampakan permadani sutera yang saya maksud

Membelah rimba dibawah sinar bulan
Meniti dan menyelinapi bebatuan
Terhunus tajamnya dingin hingga belulang
Tetap melangkah mengejar mahakarya Tuhan

Do’a,zirah terkuat yang melekat
Jabat teman,jubah hangat penepis kabut yang menyergap
Semangat,cemeti pamungkas ketika tekad mulai meratap
Karena kami yakin,segala peluh akan lenyap di puncak

Dalam dekapan halimun yang menggulung
Surya terus mengendap dibalik punggung
Awan gemawan siap berkonfigurasi menjadi sutera mengapung
Mengiringi fajar yang akan melukis warna agung

Disini,diketinggian 3.019 meter diatas permuka’an laut
Jiwa kami dan alam berpagut
Didepan bentangan horison merona jingga
Dan bayu yang keras menerpa muka
Segumpal darah di dada,merapal nama Yang Maha Pencipta


Perjalanan yang berkesan,pengalaman yang akan tetap saya kenang,,,terimakasih Tuhan,telah mengijinkan alam Mu menerima kami menyaksikan salah satu mahakarya Mu,,,terimakasih kawan seperjalanan,yang mengajarkan saya lebih mengenal alam,,,terimakasih Soe Hok Gie yang telah memberi saya inspirasi,,,terimakasih juga untuk  Red Jumpsuit Apparatus,yang menemani saya menuangkan cerita bersama tim yang luar biasa…terimakasih…

selesai

@doel_12





Tidak ada komentar:

Posting Komentar