Selasa, 14 Agustus 2012

Rumah ( kedua ) yang selalu ramah


Malam sekali,teman saya dengan akun @One_NurRifai mention ke akun tweeter milik saya,inti dari pesannya adalah jangan terlalu siang datang kerumahnya karena memang pada esok harinya kami harus datang lebih awal dari jam keberangkatan kereta api yang tiketnya sudah di reservasi olehnya jauh-jauh hari. Saya yang memang belum bisa tidur karena ada masalah pribadi yg belum bisa beranjak dari pikiran saya. Saya tidak membalas mention nya. Karna merasa tidak nyaman,takut-takut kalau saya malah bangun kesiangan,akhirnya saya putuskan untuk mengirimi pesan saja ke daftar kontak saya yang memang ada nama dia disana.

Esoknya saya bangun lebih awal dari biasanya,tapi saya tetap merasa kalau saya sudah bangun telat. Bergegas saya membersihkan badan,menyiapkan barang-barang yang mesti dibawa. Sebelum berangkat saya mengirim pesan singkat ke teman saya yg lain,yang sudah saya anggap sebagai kakak perempuan saya sendiri,Puji Astuti namanya,yg kebetulan sedang berada dikampungnya,desa Sragen. Rencananya saya dan teman saya akan berkunjung kerumahnya terlebih dahulu sebelum bergerak ke tujuan utama kami,Stadion Manahan.

Sesampainya  dirumah teman saya,ternyata dia belum siap-siap,jangankan packing barang-barangnya,bahkan mandipun belum. Karena sudah terbiasa dengan tingkah laku dan kebiasa’an dia,jadi saya sudah terbiasa,sambil menunggu dia rapi saya memilih untuk istirahat sejenak,sambil mengisi daya ponsel saya yg katanya pintar,tapi sangat tidak pintar untuk menyimpan daya.

Selesai shalat Ashar kami berangkat menuju stasiun Tenabang. Apa yg kami perkirakan ternyata benar,bahwa jalan sudah mulai macet. Menjelang Maghrib akhirnya kami sampai di stasiun kereta tujuan kami. Masih ada waktu beberapa jam untuk kami beristirahat dan melakukan kegiatan lainya,seperti menjalani kewajiban kami sebagai makhluk yang beradab dan mengisi perut tentunya. Perihal yang satu ini,teman saya memang sudah tidak diragukan lagi kapabilitasnya,dia sering membawa bekal tanpa diminta,menunyapun sudah sangat saya dan teman-teman lain hafal,yup…mie instan,tapi selalu terasa nikmat dan bermanfa’at untuk menunda lapar. Setelah selesai,kami menunggu jam keberangkatan di pinggir peron sambil bersenda gurau.

Dan pengumuman dari pengeras suara stasiunpun terdengar,bahwa kereta yang akan kami tumpangi sudah siap di jalur 3,bergegas kami mencari gerbong dan nomor kursi yg tertera di tiket kami masing-masing,bersama dengan beberapa rombongan yg dari atribut dan pakaian mereka sudah sangat kami kenali. "Persija,yakinlah kau ‘tak akan pernah sendiri",ucap saya dalam hati.

Tepat pukul 19:40 kereta mulai melaju,saya dan teman saya duduk bersebelahan meskipun dari nomor bangku,harusnya kami berada di kursi yg terpisah. Di sepanjang perjalanan kami membahas apa saja untuk menghilangkan rasa penat selama di perjalanan sebelum akhirnya kami sibuk dengan kegiatan masing-masing,dia yang mulai sibuk dengan ponsel pintarnya,sedangkan saya lebih memilih membaca buku yg saya bawa. Karena saya memang sengaja me non aktifkan ponsel saya untuk menghemat daya.

Ditengah-tengah perjalanan,entah sudah berapa kali kereta yang kami tumpangi berhenti,mempersilahkan kereta yang  kelasnya lebih dari sekedar kereta api kelas ekonomi untuk lewat lebih dulu. Dan entah sudah berapa kali saya terlelap,karena pada malam sebelumya saya memang tidur terlalu larut.
Sesampainya di stasiun Cirebon,kereta berhenti untuk kembali mengangkut penumpang,mulai dari stasiun ini kami duduk terpisah,karena kursi yg tadi kami gunakan sudah ada penumpangnya. Di stasiun ini kereta berhenti cukup lama,dan dimanfa’atkan oleh penumpang lain untuk keluar membeli makanan.
Selang beberapa sa’at keretapun mulai melanjutkan perjalanan,dan saya kembali melanjutkan baca’an saya yg sempat tertunda gara-gara tertidur. Dan tidak lama kemudian ternyata saya tertidur kembali.hehe...

Tanpa terasa malam ternyata sudah digeser dengan pagi,lebih tepatnya dini hari. Saya yang melihat teman saya berdiri diantara sambungan gerbong mengisyaratkan saya untuk bergabung denganya. Dan kamipun berdiri di depan pintu kereta api sambil menikmati udara pagi ditemani sebatang rokok yg dijepit dijemari.

Kami tidak banyak mengobrol meskipun berdiri bersebelahan,karena dia mulai sibuk dengan kameranya untuk mengabadikan beberapa view yg menurutnya menarik,dan saya hanyut dibuai dinginya kabut pagi dan menikmati secuil dari keindahan yang dimiliki negeri ini. Tanpa terasa,ternyata kami sudah memasuki daerah Jogjakarta,beberapa penumpang turun di stasiun Tugu dan Lempuyangan. Saya cukup "excited" dengan stasiun yang terakhir saya sebutkan,karena ingin merasakan sendiri bagaimana rasanya menikmati sendiri suasana disana. Ternyata apa yang diceritakan dalam buku yang pernah saya baca memang begitu adanya.


Perlahan tapi pasti kereta mulai meninggalkan Lempuyangan,karena kereta sudah mulai kosong,saya dan teman bejalan-jalan menelusuri isi kereta,mulai dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Sampai akhirnya kami menemukan tempat masing-masing yang cukup nyaman untuk kembali menikmati perjalanan,meski gerbong yang kami tempati berbeda,tetapi kami masih bisa berkomunikasi dengan baik,karena kami memang kembali duduk dipintu gerbong yang berdekatan. Syalpun saya keluarkan dari tas yang saya bawa,dan melilitkanya dileher.

Kereta bergerak cukup lambat,sehingga saya bisa mengamati apa saja yg saya lihat sepanjang perjalanan. Beberapa sa’at sebelum memasuki stasiun Balapan,ada sekumpulan anak kecil yang bermain tidak jauh dari sisi rel,tiba-tiba mereka mengacungkan jari jempol dan telunjuknya secara bramai-ramai,saya yg melihat pemandangan tersebut,sontak membalas salam mereka dengan tersenyum bangga dan bahagia.

Tidak lama kereta yang kami tumpangi berhenti di stasiun Balapan,dan pemandangan yang mencuri perhatian saya adalah banyaknya tentara yang membawa senapan laras panjang di stasiun ini,karena pada kemarin harinya memang terjadi bentrok warga di kota ini. Perjalananpun kami lanjutkan menuju stasiun tujuan kami yang terakhir. Stasiun Jebres.




Sesampainya di Jebres,tidak jauh berbeda dengan Balapan,disini juga banyak tentara yang brjaga-jaga sambil membawa senjata yang lekat digenggamanya. Kamipun turun dengan perasa’an lega,setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Hal yang pertama kami lakukan sesampainya di Jebres adalah mencari toilet untuk membersihkan badan yg terasa sudah sangat lengket karena keringat.
Selesai mandi,saya mengirim kabar ke teman saya yang berada di Desa Sragen,bahwa kami sudah sampai di Jebres,sambil menunggu pesan balasan dari teman saya tersebut untuk memberi arahan rute selanjutnya yang akan kami tempuh agar bisa sampai ke rumahnya,kami mencoba untuk memesan tiket kereta untuk perjalanan pulang. Disini kami kecewa,karena ternyata tiket kereta api ekonomi untuk Solo-Jakarta sudah habis semua. Kami mencoba untuk memesan tiket kereta api kelas Bisnis,ternyata masih ada,akan tetapi harganya tidak sesuai dengan kemampuan kami. Dan kamipun meninggalkan loket dengan tangan kosong.
Ponsel saya berbunyi,ternyata teman saya yg mengirim pesan singkat. Dari pesan yang saya terima ternyata kami harus ke terminal Tirtonadi lebih dulu,dan kemudian naik Bus jurusan Gemolong dan turun di Perempatan Kali Jambe,nanti dia akan menunggu disana. Kami dianjurkan naik becak dari Jebres ke Terminal,tetapi kami lebih memilih jalan kaki,dengan alasan agar lebih hemat.

Sudah cukup jauh kami berjalan kaki sambil bertanya-tanya dengan orang yg kebetulan kami temui dipinggir jalan,untuk memastikan bahwa arah yang kami tempuh adalah arah yg benar. Ada satu hal yang menurut saya menarik ketika saya bertanya dengan seorang Bapak yg sudah cukup tua,dimana letak terminal yang kami maksud. Kemudian beliau menerangkan dengan bahasa Jawa yang kental,saya yg sedikit mengerti bahasa Jawa secara keseluruhan mengerti apa yg beliau katakan. Akan tetapi,saya sedikit "melongo" setelah mendengar kata bangjo,sambil berfikir dan meraba-raba artinya,kamipun melanjutkan perjalanan.

Sudah cukup jauh kami berjalan,akan tetapi terminal tujuan kami belum juga nampak. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dulu disebuah angkringan dipinggir jalan.  Setelah memesan dua porsi nasi pecel dan dua gelas teh manis kamipun kembali bertanya kemana arah yg harus kami tempuh untuk menuju terminal yg kami maksud. Bapak pemilik angkringan yg kalau berbicara selalu diawali dengan kalimat "minta seribu"  alias "nyuwun sewu" hehe…menjelaskan bahwa terminal tersebut tepat dibelakang bangunan yg dia tunjuk. Lantas dia balik bertanya tujuan kami nanti mau kemana,dan sayapun menyebutkan tempat dimana teman saya akan menjemput. Setelah tau bahwa kami akan ke Kali Jambe diapun menyarankan untuk tidak naik angkutan dari terminal,melainkan menunnggunya saja dipinnggir jalan di dekat Bangjo yang jaraknya tidak jauh dari tempat ini,kami berdua kembali "melongo",tapi sungkan untuk bertanya apa itu Bangjo?

Hidangan dihadapan kami yg tadi dipesanpun telah kami babat habis,setelah membayar apa saja yg telah kami makan dan perutpun sudah terasa kenyang,akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari tempat kami makan,kembali kami bertanya,kali ini Polisi yg sedang bertugas yg jadi peta kami,hehehe…dari petunjuk yg diberikan,ternyata angkutan yg kami maksud tepat berada di depan kami,tanpa membuang waktu kamipun bergegas menuju angkutan tersebut,setelah mengucapkan terimakasih tentunya.

30 menit di dalam bus akhirnya kamipun sampai di perempatan Kali Jambe,belum sempat saya mencari nama teman saya diponsel untuk saya hubungi,teman yg akan menjemput kami memanggil-manggil saya sambil melambaikan tangan diseberang jalan. Dari ceritanya,ternyata dia sudah menunggu selama kurang lebih 30 menit. Setelah saling berbalas salam dan bergurau sebentar,dia memanggil seorang tukang ojek untuk mengantarkn dia dan anaknya yg sedang asyik makan ayam goreng untuk pulang kerumahnya,sedangkan kami menggunakan sepeda motor Astrea Grand milik ayahnya yg digunakan olehnya ketika berangkat dari rumah.

Ternyata jalur yg kami lewati cukup menarik perhatian saya,meski tidak ekstrim,tapi kami harus naik turun karena letak desanya memang di daerah perbukitan. Akhirnya kamipun tiba dirumahnya,setelah memberi salam dan bersalaman dengan ibunya,kamipun langsung duduk dan menyandarkan tubuh kami dikursi tamu karena kelelahan. Tidak lama berselang kamipun disuguhi bermacam makanan yg diletakkan di atas meja dihadapan kami. Bertanya tentang kabar kami masing-masing,bercerita tentang perjalanan kami menuju Solo,tidak lupa,sayapun menanyakan apa itu Bangjo?dan ternyata kata itu adalah sebuah akronim yg berartiabang (merah) dan ijo (hijau) yg artinya lampu merah,sayapun protes,kenapa tidak disebut bangjoning?karena warna lampu merah bukan hanya merah dan hijau melainkan ada juga kuningnya,biar sekalian lengkap tidak hanya disebut sebagian warna saja,mendengar itu kami semuapun tertawa tanpa memperdulikan jawaban dari pertanya’an konyol saya tadi hehehe...ternyata merangkum kenangan ketika masih dalam satu lingkungan kerja,berkisah tentang apa saja membuat waktu terasa berputar terlalu cepat,hingga kami tidak menyadari kalau hari sudah siang.

Setelah Dzuhur saya dan teman seperjalanan saya akhirnya memutuskan untuk berangkat menuju tujuan utama kami,Stadion Manahan. Kamipun pamit,dengan bobot tas yg bertambah berat,bukan karena kelelahan,melainkan oleh-oleh yg tidak sampai hati untuk saya tolak. Dengan sepeda motor milik Ayah teman saya yg saya kendarai dengan 2 penumpang yaitu rekan saya,dan adik laki-laki teman saya yg mengantar kami menuju tempat dimana kami turun untuk kembali naik angkutan menuju terminal Tirtonadi dan kemudian dilanjutkan menuju Stadion Manahan.

Puji Astuti dan anaknya, Hafidz

Sesampainya di Manahan,suasana sudah sangat ramai,padahal pertandingan baru akan dimulai lebih dari 2 jam lagi. Seperti yg kami duga,supporter yg datang di dominasi oleh Aremania,karena dari letak geografisnya mereka memang lebih dekat. Tidak ingin membuang waktu,kamipun langsung mencari tiket masuk. Setelah mendapatkan tiket pertandingan barulah kami mencari tempat teduh untuk beristirahat,sambil sesekali mengambil gambar dengan latar belakang stadion dan suasananya.

1 jam sebelum kick off,kamipun mulai memasuki stadion. Dan suasananya sudah sangat ramai. Nampak sekali dominasi warna biru di dalam sana,akan tetapi kalah jumlah tidak menciutkan nyali kami untuk beradu kreasi dalam mendukung tim kebangga’an kami…Persija Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari chants-chants yg kami teriakan,giant flag yg kami kibarkan,red flare yang kami nyalakan dan bomb smoke yg kerap menghalangi pandangan kami. 



Selang beberapa sa’at,pertandinganpun dimulai. Kendati sering terjadi “jual beli serangan” akan tetapi babak pertama ditutup dengan skor 0-0. Memasuki babak kedua,tensi pertandingan tetap tinggi. Hingga pada menit 62 akhirnya Pedro Javier  mampu memecah kebuntuan. Tendangan kerasnya mampu merobek gawang Arema yg dikawal oleh Kurnia Meiga setelah menggantikan kakaknya,Ahmad Kurniawan karena cidera di babak pertama. Sontak saja,kami berteriak lantang menyambut goal tersebut. Kembali red flare dan bomb smoke menghiasi tribun yg kami tempati,kali ini jauh lebih massive dari sebelumnya. Mendekati akhir pertandingan,Arema semakin gencar melancarkan serangan,berkat kokohnya barisan pertahanan Persija yg dikomandoi oleh Fabiano Beltrame,skor 1-0 tetap tidak berubah hingga peluit panjang berbunyi mengakhiri pertandingan sore itu.




Seusai pertandingan kamipun menyanyikan chants kepada Pasoepati yg telah menerima kami dengan sangat baik. Setelah mengambil beberapa gambar menggunakan kamera digital yg dibawa,kami berduapun keluar dari stadion sambil membahas dan merundingkan alat transportasi apa yg akan kami gunakan untuk pulang nanti.

Untuk menggali informasi akan hal ini,kami bertanya kepada Bapak penarik becak,dari keterangan yg kami dapat dari beliau,akhirnya kami memutuskan untuk naik bus saja. Kamipun menggunakan jasanya untuk mengantar kami ke terminal.

Karena tidaki mau membuang waktu,kamipun segera mencari tiket bus. Sesampainya diloket,sebelum membeli tiket,kami bertanya-tanya dulu so’al harga,ternyata harga yg ditawarkan cukup tinggi. Di tengah-tengah perbincangan kami dengan petugas,datang seorang The Jak yg kemudian kami ketahui kalau dia datang dengan seorang anak dan isrtinya untuk menawarkan tiket yg telah beli untuk dijual kembali kepada kami karena mereka akan pulang dengan rombongan. Dari harga yg dia dan petugas itu tawarkan ternyata masih cukup mengganjal. Kamipun beringsut pergi meninggalkan loket tanpa hasil. Tidak jauh dari loket yg kami tinggalkan,kamipun dipanggil oleh orang yg sama,kali ini dia menawarkan dengan harga yg berbeda. Setelah berdiskusi,akhirnya kamipun membeli tiket yg ditawarkan. Jika dibandingkan dengan harga yg ditawarkan oleh petugas tadi,memang sangat jauh bedanya.

Kamipun pulang menggunakan bus yg nyaman. Dalam perjalanan pulang,tidak banyak yg kami perbincangkan. Hanya membahas sedikit tentang pertandingan yg baru saja kami saksikan. Sisanya kami istirahat dan tertidur,meskipun saya sering terbangun,efek dari pendingin yg memfasilitasi bus tersebut. Rasa dingin saya tertolong dengan kain sarung yg saya bawa dan pinjam dari rumah teman saya. Dan sayapun tertidur pulas.

Sekitar pukul 8 pagi ,bus pun memasuki daerah Jatiwangi,Bekasi. Kami berdua menuruni bus yg kami tumpngi di iringi oleh gerimis tipis yg cukup membasahi tanah kota ini.
Perjalanan yg sangat sarat makna,buat saya. Menempuh bentangan jarak  hanya untuk 90 menit pertandingan,hanya untuk Persija,hanya untuk sebuah kebangga’an,tidak akan pernah dapat di ukur oleh uang.

Akhir sekali,saya mengucapkan terimakasih untuk Persija,yg mendorong saya untuk menyentuh secubit dari sisi lain negeri ini. Kota Solo yg bersedia menjadi rumah kedua kami. Puji Astuti,yg menyediakan tempat istirahat untuk kami (oleh-olehnya juga). Pasoepati dan Aremania  yg menyambut kami dengan sangat baik. TERIMA KASIH

PERSIJA SELAMANYA……!!!!!


@doel_12

Senin, 13 Agustus 2012

Fajar pertama dipuncak Pangrango chapter II

senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfa’at dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberada’anmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala cintamu
dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampa’an semua

“hidup adalah so’al keberanian menghadapi yang tanda tanya
“tanpa kita mengerti,tanpa kita bisa menawar
“terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu,melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

(Jakarta 19-7-1966)

Demikian tulis Soe Hok Gie dalam salah satu puisinya tentang gunung yang akan kami daki hari ini. Gunung yang tingginya 3.019 m dpl dan sudah tidak aktif ini, memang kerap kali muncul didalam puisi-puisinya. Sepertinya sosok Soe Hok Gie sangat lekat dengan gunung ini, begitupun sebaliknya. Meskipun Beliau wafat karena tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru pada bulan Desember  1969. Akan tetapi, namanya sangat erat dengan Pangrango dan lembah yg begitu legendaris tempat ia merenung,,,ya lembah Mandalawangi. Baiklah,kita sudahi dulu mengenang "Seorang Demonstran" yang sangat kritis dan berani pada masanya itu.


Kembali ke perjalanan kami…

Setelah selesai berdo’a, saya memantapkan tekad saya dan melecutkan semangat saya lebih dari biasanya. Karena saya yakin, kalau ini bukan hanya perjalanan untuk daging yang membungkus raga saya. Dan langkah-langkah kamipun dimulai,dibarengi dengan gurauan tanpa makna dan diselingi oleh canda tawa. Tidak terlalu jauh dari tempat awal kami memulai,tibalah kami di pos pemeriksa’an. Disini setiap pendaki wajib menunjukan surat izin yang sudah diurus sebelumnya. Selain itu petugas juga menerangkan apa saja yg tidak boleh dibawa dan dilakukan selama pendakian. Setelah Yofan menunjukan surat izin pendakian kami dan menjawab beberapa pertanya’an dari seorang pria paruh baya tapi badanya masih terlihat bugar ini,kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Langkah demi langkah kami lewati jalan berbatu yang mulai terasa mendaki, namun  kata Yofan ini masih belum seberapa dengan jalur yang akan kami tempuh didepan nanti. Sejenak saya cukup “down” mendengarnya. Sebab menurut saya,ini sudah cukup menguras tenaga dan membuat dada saya yang telah terkontaminasi nikotin menjadi agak sulit untuk mengolah udara. Saya berusaha agar tetap tenang,meskipun pertanya’an akan mampu atau tidak saya mencapai puncak tetap terngiang-ngiang. Dan hal yang paling saya takuti adalah,kalau nanti saya akan merepotkan dan menghambat perjalanan mereka. Semoga saja tidak.

Disuatu tempat,kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Ditempat ini Yofan mulai merasakan kembali rasa sakit pada salah satu bagian kakinya yang memang belum sembuh total. Menurut cerita yang beredar dikalangan kami,rasa sakit yang sulit sembuh itu diakibatkan karena makhluk halus yang tempatnya dikencingi (ma’af) oleh Yofan tidak terima sampai akhirnya terus mengikutinya sebelum ia meminta ma’af,hal ini juga yang kami jadikan sebagai bahan ledekan untuknya…hehehe

Buah apel yang tersimpan di carriel yang kami bawapun sudah kami santap sebagai tambahan energi dalam perjalanan ini dan hanya menyisakan beberapa saja untuk nanti. Setelah mengambil beberapa gambar dari kamera saku yang dibawa Juni, kembali kami berdiri, beranjak dari tempat yang kami singgahi. Berawal dari tempat ini,kami yang pada awalnya berjalan secara bersama’an mulai terpisah. Saya dan Adinoyo berada di depan, disusul dengan Yofan dan Zaeni,sedangkan Juni dan Ambon berada diposisi paling belakang. Saya yang tidak mampu mengimbangi kecepatan langkah-langkah Adi akhirnya tertinggal olehnya,dan berharap dia akan menunggu saya dijembatan yang sempat dikatakan oleh Yofan.

Carriel yang ada dipunggung saya terasa semakin berat, pakaian yang melekat ditubuh sayapun semakin basah oleh keringat. Adi yang sudah tidak terlihat,membuat semangat saya kembali mencuat untuk mencoba mengejarnya. Saya memang tidak berjalan dengan cepat,tidak juga dibilang terlalu lambat. Akan tetapi langkah-langkah saya yang konstan membuat saya mampu melewati beberapa orang yang sebagian besarnya adalah wisatawan.

Berjalan dan terus berjalan berharap Adi terlihat didepan saya. Tanpa saya sadari di depan saya terbentang jembatan yang ujungnya tak kelihatan,  membelah rawa yang dari keteranganya terbentuk dari bekas kawah mati,Rawa Gayonggong namanya. Banyak wisatawan yang berfoto disini dengan latar belakang jembatan dari rawa itu sendiri dan gunung yang tinggi tegak berdiri. Saya yang berharap Adi menunggu saya ditempat ini,harus kecewa karena dia tidak terlihat hingga jalan yang saya lalui kembali berbentuk bebatuan.



Saya yang sudah menyerah mengejar Adi,akhirnya memutuskan menunggu yang lainya disalah satu tempat yang saya lupa namanya. Yang jelas banyak para pendaki yang beristirahat disini sekedar untuk menghimpun nafas,minum dan ada juga yang merokok,salah satunya turis asing wanita yang berdiri tidak jauh dari hadapan saya. Cukup lama saya menunggu,sampai akhirnya Yofan dan Zaeni terlihat dan menghampiri tempat saya beristirahat. Yofan yang duduk sambil memegangi kakinya yang terasa sakit,dihujani pertanya’an oleh Zaeni tentang “blewah” yang sedari tadi mereka ikuti. Saya yang masih belum mengerti “blewah” apa yang mereka maksud,mencoba terus mencerna apa yang sedang mereka perbincangkan. Hingga kemudian saya fahami kalau wanita yang melintas didepan saya tadi itulah yang mereka maksud. Saya tidak habis pikir,kenapa Zaeni bisa menganalogikannya dengan kata "blewah"?namun enggan saya tanyakan. Tidak lama Ambon dan Juni datang dan bergabung dengan kami, Ambon pun langsung meminta air yang belum saya keluarkan dari carriel,meskipun saya juga haus, tapi tidak enak rasanya kalau saya minum sendiri tanpa ada yang lain.

Perajalanan kembali dilanjutkan setelah kami merasa cukup beristirahat. Medan yang kami tempuh semakin berat, hal ini membuat Ambon semakin jauh tertinggal dibelakang bersama Juni yang setia menemaninya. Saya bersama Yofan dan Zaeni pun sudah tidak terhitung lagi berapa kali kami mengambil jeda dan beristirahat. Disalah satu perhentian kami, Yofan menggantikan saya membawa carriel yang saya bawa.

Fokus kami sementara ini adalah tidak terlalu sore ketika  tiba di Kandang Batu, karena kami masih harus mendaki lagi menuju Kandang Badak,tempat dimana kami berencana untuk mendirikan tenda dan bermalam. Kami berharap kalau Adi menunggu kami di Kandang Batu, karena kami juga ingin memasak bekal yang kami bawa disana. Sampai pada akhirnya kami tiba di tempat Wisata Air Panas, yang artinya jarak Kandang Batu sudah sangat dekat. Tidak jauh dari tempat Wisata Air Panas, kami mengisi botol air mineral yang isinya sudah kami habiskan diperjalanan tadi. Kadar belerang yang cukup pekat, membuat kami agak kesulitan untuk menentukan sumber air yang akan kami ambil dari aliran sungai ini. Merujuk dari keterangan dan rekomendasi beberapa pendaki, kami mengisi boto-botol kosong kami ditepian sungai di dekat pohon tumbang. Tenggorokan yang mulai keringpun kembali basah merangkul kembali tenaga yang mulai menguap. Hingga tidak terasa, tibalah kami di Kandang Batu, tanpa banyak kata kami turunkan beban yang sejak tadi bercokol di tubuh kami.

Beberapa keping biskuit bertabur abon pedas menemani kami menunggu Ambon dan Juni yang belum juga datang. Sedangkan Adi yang kami harapkan menunggu kami ditempat ini juga tidak kelihatan batang hidungnya. Cukup lama kami ditempat ini, sampai pada akhirnya pandangan kami menangkap sepasang pemuda yang dari cara jalanya sudah cukup kami kenali,ya,,,itu mereka…

Rencana memasak bekalpun batal, karena tidak adanya Adi. Bukan karena dia yang membawa bahan makananya,melainkan kami khawatir kalau-kalau dia kelaparan nanti sedangkan kami sudah makan disini (bukankah kami baik wahai Adi ?). Jam digital yang tertera dilayar handphone Yofan menunjukan angka 14 dan 2 angka dibelakangnya saya lupa,,,hehe… Karena merasa sudah cukup lama beristirahat, kamipun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak.

Lagi-lagi Juni dan Ambon tercecer dibelakang saya, Yofan dan Zaeni. Karena tidak ingin lebih banyak membuang waktu kami terus saja berjalan, meski kadang berhenti sejenak mengambil nafas dan mengistirahatkan kaki Yofan yang memang sakit. Sepanjang perjalanan tidak jarang kami membicarakan Adi yang belum juga bertemu dengan kami, dan kali ini kami berharap dia menunggu kami di Kandang Badak. Yofan yang sudah beberapa kali kesini, cukup hafal dengan tempat ini dan berkata kalau Kandang Badak sudah tidak jauh dari tempat kami beristirahat yang kesekian kalinya. Hari sudah semakin sore, dan beberapa pendaki sudah ada yang mulai turun dan melintas didepan kami yang sedang duduk disebuah batu yang cukup besar. Tiba-tiba dibelakang rombongan pendaki yang mulai turun, Adi berlari sambil berteriak “wooy,,,kemane aje lo,lama bener?!,gue udeh abis dari puncak Gede…” dan ceritanya berlanjut tentang Kandang Badak yang berubah jadi pasar karena banyak dan ramainya pendaki yang beristirahat bahkan mendirikan tenda disana. Tidak mau membuang-buang waktu kamipun bergegas. Dalam perjalanan menuju Kandang Badak saya membatin,,,”emang saklek nih si Adi,gue yang baru nyampe sini aje udeh kerasa capek bener,lah dia malah udah nyampe Puncak Gede,terus pake acara turun lagi jemput 1 orang pemula dan 1 orang pendaki sakit yang nekat” hehehe…

Sesampainya di Kandang Badak, kami keluarkan peralatan memasak dan bahan makanan yang kami bawa dari dalam ransel dan carriel sambil menunggu Juni dan Ambon yang belum kunjung tiba. Saya dan Adi mengambil air untuk dimasak, sedangkan Yofan dan Zaeni menyiapkan bahan-bahan sebagai menu makanan kami sore ini. Ditempat kami mengambil air, ternyata sudah ada beberapa pendaki wanita yang mengantri dengan keperluan yang tidak sama,ada yang sedang sekedar cuci muka,ada juga yang mengantri untuk berwudhu.

Empat botol air mineral ukuran besar sudah kami isi penuh, setelah Adi selesai berwudhu, kami kembali ketempat kami berkumpul. Tidak lama berselang Juni dan Ambon datang, dan langsung membantu yang lainnya. Ternyata kompor yang kami bawa tidak berfungsi, sehingga Yofan memasak air menggunakan kaleng yang di isi oleh cairan spirtus mirip tukang tambal ban pinggir jalan. Saya yang penasaran mencoba membetulkan kompor yang tidak mau menyala ini dibantu oleh Juni dan Adi yang baru saja selesai melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslim. Setelah bongkar kiri, kanan, atas, bawah bagian kompor tersebut. Ternyata jarum yang fungsinya mendistribusikan gas tersumbat. Dengan bantuan sebuah jarum Jahit yang dibawa Yofan, Juni menusuk dan mencongkel-congkel bagian lubang yang tersumbat. Setelah dianggap cukup komporpun kembali dicoba untuk dinyalakan kembali, meskipun pada percoba’an pertama gagal, tapi tidak untuk percoba’an yang kedua. Alhasil kompor yang tadi tidak mau menyalapun akhirnya mengeluarkan api, dan berkumandanglah lagu “we are the champions” nya “Queen” dari mulut kami,sampai-sampai para pendaki yang berada disekitar kamipun mengalihkan pandanganya kepada kami…hehehe… Oia,,, saya, Juni, Adi dan Zaeni berasal dari satu almamater tapi beda angkatan, jadi…3 teknisi tadi berasal dari satu sekolah… SMK NEGERI 1 CIKARANG BARAT (STM NEGERI SATOE BEKASI), jadi buat kalian atau sanak saudara kalian yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke program kejuruan, STM NEGERI SATOE BEKASI adalah pilihan yang sangat tepat…hehehe tapi jangan salah, diterima disekolah kami tidak mudah, harus melewati seleksi yang ketat dan mental yang mantap,,,camkan itu hehehe

Teh manis hangat, mie instan rasa berantakan dan nasi yang bagian bawahnya gosong tapi tetap terasa nikmat hingga habis kami santap. Cukuplah untuk asupan energi perjalanan kami sore ini, karena rencana kami untuk berkemah disini harus dibatalkan dengan alasan tidak adanya lahan yang cukup untuk kami mendirikan tenda. Sekitar pukul setengah lima sore kami mulai bersiap mendaki, lingkaran kecil kembali terformasi,do’a kembali terpanjat dari bibir-bibir kami yang mulai pucat.

Selangkah demi selangkah kami menembus hutan,menerjang dingin petang, menyelinap diantara pohon-pohon dan ranting yang saling bersilangan. Jingga senja mulai tertutup jubah malam, sinar redup rembulan menembus dedaunan, dibawahnya kami masih terus berjalan menuju mahakarya Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara Ambon dari belakang meminta berhenti sejenak untuk beristirahat. Melihat kondisinya yang terlihat begitu lelah kami memutuskan untuk tidak langsung menuju puncak malam  ini, melainkan mencari tempat yang cukup untuk sekedar mendirikan tenda agar kami bisa bermalam dan melanjutkan perjalanan esok pagi. Malam semakin pekat, sedangkan senter yang kami bawa sangat terbatas bahkan bisa dikatakan kurang. Karena dari 3 senter yang kami bawa, satu diantaranya tidak berfungsi, sampai-sampai Juni menggunakan senter handphone miliknya.
Semakin malam udara semakin dingin, dan medan yang kami tempuhpun semakin berat. Adi yang berada didepan, selalu mengingatkan kami ketika kami sedang berjalan disisi jurang agar lebih hati-hati. Kami terus mengikuti jejak-jejak dan tanda-tanda yang sangat sulit terlihat karena gelap, sejenak terlintas ketakutan pada diri saya akan tersesat. Cuma satu pegangan saya waktu itu,yaitu do’a, hampir disetiap sa’at,bibir saya meluncurkan do’a pelan-pelan,dan disa’at itu pula dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan hidup tergambar jelas di depan mata. Inilah yang saya maksud kalau perjalanan ini bukan hanya sekedar perjalanan yang ditempuh oleh unsur-unsur yang menyusun tubuh saya,tapi ada yg lebih mutual dari yang material tersebut,yaitu hal yang bersifat spiritual. Karena ketika saya berada dalam rengkuhan rimba,meresapi dinginya,terbenam dalam suramnya,saya bisa lebih mengenal dan menyentuh tentang hidup,syukur,keindahan dan Tuhan.

Break!!!teriak Juni dari belakang,melihat posisi Ambon yang sudah selonjoran meluruskan kakinya,kamipun menghentikan perjalanan kami beberapa sa’at. Kembali kami bertanya kepada Ambon tentang kondisinya,selang beberapa sa’at diapun mengisyaratkan untuk kembali melanjutkan perjalanan,kamipun bergerak tanpa buang-buang waktu lagi. Tidak terlalu jauh dari tempat kami beristirahat,akhirnya kami temukan tempat meski tidak begitu lapang,tapi cukuplah kalau hanya untuk sekedar mendirikan tenda. Dan kami putuskan untuk bermalam disini.

Tenda sudah berdiri,Adi,Yofan dan Zaeni sedang siap-siap menyalakan api untuk memasak. Saya,Juni dan Ambon membereskan barang-barang yang ada di dalam tenda. Ditengah-tengah aktifitas kami masing-masing,selalu ada tawa yang terselip menyelingi obrolan-obrolan kami. Saya yang sudah sangat merasa keleahan,mencoba membaringkan badan saya yang sudah dibalut dua jaket tebal. Semakin lama suara obrolan mereka semakin jauh terdengar,dan sayapun tertidur tanpa merasakan teh hangat yang sudah sejak tadi saya bayang-bayangkan.

Malas sekali saya buka kelopak mata saya ketika Yofan menggoyang-goyangkan badan saya,dengan tidak kalah malasnya saya bertanya,”emang udeh jam berape sih?” dan mata saya kembali terpejam. “eh Nyuk,bangun lo!mao berangkat kaga?udah jam empat neh…”.teriak Yofan membangunkan saya. Masih dengan perasa’an malas sayapun duduk,terlihat Adi di depan saya sedang melakukan tayamum,rupanya dia mau shalat subuh. Dari semua makhluk yang dibilang manusia yang ada di dalam tenda ini,Cuma Adi yang tidak pernah meninggaklkan kewajibannya sebagai makhluk yang beradab dan beragama. Sedangkan saya?masih pantaskah predikat manusia tersemat didiri saya?!saya membathin.

Sekitar pukul 04:30,setelah kami berkemas dan memakan beberapa bekal yang kami bawa,kamipun sudah bersiap-siap di depan tenda. Barang-barang yang sekiranya tidak kami butuhkan dipuncak nanti kami tinggalkan di dalam tenda. Perjalananpun dimulai dengan berdoa’a. satu hal yang tidak kalah penting dan patut untuk diketahui,kalau mulai dari tempat ini saya menggunakan kaos kaki warna oren yang melekat anggun dikaki saya,,,hehe sangat informatif bukan ?!

Angin pagi menyanyikan lagu ranting-ranting yang mendesau di pepohonan,cahaya senter kami coba menembus gulungan kabut pekat yang membebat. Selangkah demi selangkah terus kami memanjat,hingga tidak jarang tangan kami saling berjabat,mengangkat tubuh satu sama lain ditengah alam yang sangat khidmat. Semakin tinggi tempat kami berdiri semakin keras pula angin yang menerpa wajah kami,dan bayangan tentang puncak yang ditujupun semakin gencar menari-nari.

Diatas kami yang sedang beristirahat untuk yang kesekian kalinya,dewi malam terus meniti garis orbitnya.  Sedangkan fajar,tengah menyiapkan kanvas untuk ditorehkanya berbagai warna yang akan memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Kami yang tidak mau melewatkan lukisan agungnya,bergegas meninggalkan tempat kami melepas lelah.

Adi yang berada diposisi paling depan,terlihat sangat bersemangat ketika melihat tanah datar yang berada tepat dihadapan kami. Ia yang berjalan setengah berlari kemudian berteriak kalau kami sudah sangat dekat dengan titik puncak. Kami yang berada dibelakangnya semakin semangat mengimbangi langkah-langkahnya. Benar saja,tidak jauh dari tempat kami berdiri terlihat monumen yang tidak terlalu tinggi,Tugu Triangulasi. Tugu yang menandakan puncak dari Gunung Pangrango,tugu yang pernah diduduki oleh Soe Hok Gie disalah satu fotonya dan tugu yang sangat ingin saya jumpai sejak awal perjalanan ini. Satu hal yang membuat saya miris adalah,sebagian besar permuka'anya telah dikotori oleh tangan-tangan penganut budaya vandalisme, dan dilakukan oleh orang-orang yang katanya pecinta alam.

Soe Hok Gie diatas Tugu Triangulasi pada tahun 1967

Kami dengan latar belakang Tugu Triangulasi


Disa’at yang lain berteriak meluapkan kegembira’annya,saya lebih memilih diam. Meresapi dinginya angin yang berhembus,menghirup harumnya udara yang membawa wangi bunga abadi. Saya biarkan semuanya menyusup dalam melalui pori-pori,meresap turun kerongga dada hingga ke inti hati. Dan syukur terus terucap tanpa saya sadari.

Tidak lama berselang,langit mulai terlihat terang. Kabut dan awan berangkulan membentuk permadani sutera yang membentang menutupi puncak-puncak gunung yang terlihat dihadapan kami. Perlahan semburat jingga merayap mewarnai cakrawala yang tidak lagi begitu gelap,diikuti rentetan warna lain yang terus mengisi,melengkapi dan memenuhi bentangan kanvas agung yang berada dihadapan kami. Tanpa kami sadari,sinar hangat mentari sudah menyirami tempat kami bereksistensi,dan niat mengunjungi Lembah Mandalawangi pun urung terlaksana,karena bekal makanan yang harusnya kami bawa malah tertinggal di tenda. Bukan Cuma bekal yang tertinggal,kondisi Ambon yang sudah sangat letih pun menjadi pertimbangan kami. Dan kamipun memutuskan untuk kembali turun. Mandalawangi,tunggu kami dilain hari….



Penampakan permadani sutera yang saya maksud

Membelah rimba dibawah sinar bulan
Meniti dan menyelinapi bebatuan
Terhunus tajamnya dingin hingga belulang
Tetap melangkah mengejar mahakarya Tuhan

Do’a,zirah terkuat yang melekat
Jabat teman,jubah hangat penepis kabut yang menyergap
Semangat,cemeti pamungkas ketika tekad mulai meratap
Karena kami yakin,segala peluh akan lenyap di puncak

Dalam dekapan halimun yang menggulung
Surya terus mengendap dibalik punggung
Awan gemawan siap berkonfigurasi menjadi sutera mengapung
Mengiringi fajar yang akan melukis warna agung

Disini,diketinggian 3.019 meter diatas permuka’an laut
Jiwa kami dan alam berpagut
Didepan bentangan horison merona jingga
Dan bayu yang keras menerpa muka
Segumpal darah di dada,merapal nama Yang Maha Pencipta


Perjalanan yang berkesan,pengalaman yang akan tetap saya kenang,,,terimakasih Tuhan,telah mengijinkan alam Mu menerima kami menyaksikan salah satu mahakarya Mu,,,terimakasih kawan seperjalanan,yang mengajarkan saya lebih mengenal alam,,,terimakasih Soe Hok Gie yang telah memberi saya inspirasi,,,terimakasih juga untuk  Red Jumpsuit Apparatus,yang menemani saya menuangkan cerita bersama tim yang luar biasa…terimakasih…

selesai

@doel_12