Jumat, 23 November 2012

Menggapai Cinta Dari Puncak Gede


Lega rasanya ketika saya membaca berita, bahwa seorang survivor yang sempat hilang di Semeru telah ditemukan. Ya,,satu hari sebelum hari keberangkatan kami ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berita itu ramai di dunia maya. Satu kejadian yang membuat saya akhirnya bilang ke Ibu saya, kalau saya akan pergi naik Gunung. Karena pada pendakian sebelumnya, saya cuma pamit untuk pergi beberapa hari, tapi tidak untuk sa’at ini. Kening sayapun mendarat di punggung tangannya yang mulai keriput, restu dan pesannya pun mengiringi keberangkatan saya.

Selama perjalanan menuju tempat berkumpul kami, yaitu rumah Adinoyo, saya coba melengkapi barang – barang bawa’an saya sebagai perlengkapan nanti. Pukul 3.45 saya telah sampai dirumah Adi, akan tetapi dia masih berada dirumah temanya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selang beberapa sa’at setelah saya menelfon nya, dia pun datang dan mempersilakan saya masuk ke kamarnya. Sambil menunggu Yofan dan satu orang teman Adi yang bernama Agung, saya membaringkan tubuh saya untuk beristirahat.

Terdengar suara Yofan membangunkan saya yang ternyata sudah terlelap tanpa saya sadari. Bergegas dia pun memilah barang yang akan dibawa dan memasukanya ke dalam carrier yang sudah tersedia. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Agung pun datang, tak ingin berlama – lama lagi kamipun langsung berpamitan dengan Ibu dan Kakak perempuan Adi. Sepeda motor yang sejak sore terparkir pun telah siap menjadi partner kami kali ini. Tepat pukul 20:58 kami memulai perjalanan, Yofan sebagai juru kemudi saya, dan Agung untuk sementara menjadi nahkoda untuk Adi, karena di salah satu SPBU posisinya digantikan oleh Adi.

Sekitar pukul sebelas malam, kami memasuki daerah Babakan Madang. Saya yang merasa sudah merasa lapar semenjak berangkat dari kediaman Adi pun menyarankan berhenti sejenak untuk mengisi perut. Saya, Yofan dan Adi langsung sibuk memesan makanan, sedangkan Agung lebih memilih tidur di depan mini market yang sudah tutup. Selain sibuk menyantap hidangan yang ada di depan nya, Adi juga sibuk menggoda pelayan warung nasi yang menurut pandangan saya tidak lebih menarik dibandingkan dengan beberapa keping jengkol yang ada dipiring saya. Saya dan Yofan telah menyelesaikan santap malam kami, berbeda dengan Adi, piringnya masih penuh dengan nasi yang belum selesai disantap karena lebih sibuk menggoda pelayan ketimbang makan. Sebatang rokok yang ada di jari sayapun hampir selesai saya hisap, yang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini menjadi " ritual " wajib saya sehabis makan, berbarengan dengan itu Adi pun menyelesaikan santap malam nya. Saya dan Yofan menitipkan beberapa lembar uang kepadanya untuk membayar apa saja yang telah kami makan. Setelah membangunkan Agung yang ternyata sudah sangat pulas tertidur, Adi pun cerita kalau uang yang digunakan untuk membayar makanan tadi sudah Ia tulisakan nomor handphone nya, dan ceritanya sukses membuat saya mual dan ingin muntah seketika.

Perjalanan pun kami lanjutkan, memasuki daerah Bukit Pelangi udara sudah mulai dingin seperti biasanya. Obrolan saya dan Yofan membuat perjalanan kami tidak terasa sudah memasuki daerah puncak. Yofan mulai menyadari kalau persedia’an bahan bakar sepeda motor yang kami tumpangi sudah sangat tipis. Dia pun mulai panik, terlihat dari caranya mengendarai sepeda motor yang beberapa kali membuat bagian depan motor yang dikendarainya hampir saja mencium bumper mobil yang ada di hadapan kami. Saya yang sudah pernah mengalami kejadian ini dengan Adi pada perjalanan sebelumnya coba menenangkan Yofan, kalau bahan bakar yang tersedia cukup, karena letak SPBU sudah tidak jauh lagi.

Sesampainya di SPBU, setelah mengisi bahan bakar saya dan Yofan beristirahat sejenak sambil menunggu Adi dan Agung yang sedang melaksanakan shalat Isya. Tidak lama berselang, Adi dan Agung menghampiri kami untuk mengobrol dan beristirahat sebentar sampai pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami menuju Green Ranger. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba dengan tampan di Green Ranger pada pukul satu pagi, karena jarak SPBU dan Green Ranger memang relatif dekat. Gonggongan anjing pun menyambut kedatangan kami, terlihat beberapa sepeda motor terparkir di bangunan yang pasti sudah sangat familiar dengan para pendaki.

Tidak mau membuang – buang waktu, Adi lansung mendaftarkan nama- nama kami kepada soerang yang akrab di sapa dengan sebutan Abah, dari keterangan beliau juga, kalau kami harus mendaki melalui Gunung Puteri karena jalur Cibodas masih ditutup efek dari proyek pembetonan jembatan Rawa Gayongong  yang belum rampung. Selesai mendaftar, Saya dan Yofan duduk – duduk di depan sambil mengobrol dan melepas lelah yang bercokol selama perjalanan tadi. Adi menyarankan kalau kami lebih baik bergegas unuk masuk dan tidur, Karena besok pagi, sekitar pukul empat kami sudah harus berangkat dari sini untuk mencari angkot yang bisa mengantarkan kami ke Gunung Puteri, masih dari keterangan Abah, kalau ongkos angkot menuju Gunung Puteri regular nya sekitar Rp. 7.000, tinggal pintar – pintarnya kami saja menego harga, jelas Abah.

Sesampainya di ruangan yang akan kami gunakan untuk beristirahat, ternyata sudah ada lima orang pendaki yang berasal dari depok. Alih – alih ingin cepat istirahat dan tidur, Saya, Yofan dan Adi malah bercengkrama dengan mereka, berbeda dengan Agung yang lebih memilih untuk langsung tidur, karena memang sedari tadi dia terlihat sangat mengantuk dan kelelahan. Selang beberapa sa’at, obrolan hangat yang meluncur dari bibir kami masing – masing pun ditutup dengan rencana untuk keberangkatan besok pagi kami akan berangkat bersama – sama agar biaya angkot bisa lebih murah. Saya pun beringsut pergi meninggalkan tempat mereka beristirahat, di ikuti oleh Yofan dan Adi. Udara dingin yang buat saya tidak wajar ini memang menyulitkan saya untuk bisa tidur dengan cepat, berbeda dengan Yofan, yang dengan damai dan sentosa menggunakan sleeping bag nya. Sepasang tanduk  tiba – tiba muncul di kepala saya, dan di dorong oleh bisikan – bisikan gaib yang terus terngiang di telinga, sayapun menarik dan mengguling – gulingkan tubuh Yofan yang terbungkus sleeping bag sambil berkata, “lo enggak bakal bisa tidur kalo pake sleeping bag sendirian”, Yofan pun menyerah tanpa perlawanan yang berarti. Dan para iblis yang yang sejak tadi berkumpul di kepala saya bersorak bergembira sambil bertepuk tangan. Akhirnya saya pun bisa memejamkan mata dengan tenteram meski di iringi oleh umpatan Yofan.

Ayam jantan memang belum berkokok, akan tetapi raungan alarm dari hand phone Agung sudah memaksa kami untuk membuyarkan mimpi yang baru saja kami rangkai. Malas memang untuk membuka mata yang baru saja tertutup kurang dari dua jam. Akan tetapi selimut harus cepat dilipat, dan semangat mesti segera mencuat. Carrier dan ransel yang tersandar di dinding pun sudah siap berpindah ke punggung kami masing – masing. Seorang yang berasal dari Depok dipanggil oleh pihak Green Ranger untuk mengambil surat ijin pendakian. Kami pun ikut menuju meja kerja Abah, dan Abah bilang kalau kuota yang bisa di daftarkan hanya 7 orang, sedangkan kami berjumlah 9 orang, empat orang dari rombongan kami dan lima orang dari rombongan yang berasal dari Depok. Akan tetapi Abah bilang, kalau pemeriksa’an di waktu pagi tidak terlalu ketat, jadi kami semua bisa ikut mendaki tanpa harus ada yang tinggal.

Pukul 04 pagi kami mulai melangkahkan kaki menuju tempat pangkalan angkot yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Pintu pun telah ditutup, beberapa langkah dari depan bangunan yang baru saja kami tinggalkan kami tersadar kalau anggota kami kurang satu orang, dan ternyata Agung tertinggal, sontak saja Adi kembali dan mengetuk pintu yang baru saja di tutup untuk menjemput Agung yang masih berada di dalam. Pintu pun terbuka dan tidak lama berselang Agung menghampiri Adi dan merekapun bergabung dengan kami.

Suara adzan subuh bersahut – sahutan dengan serangga malam yang mungkin baru pulang begadang setelah semalaman mencari makan. Seorang Pria paruh baya menghampiri kami menawarkan jasa angkutan seraya menunjukan kami mobil yang Ia gunakan. Yang pada sa’at itu memang cuma ada satu angkot yang berada di pangkalan tersebut. Adi dan Ambon ( pendaki dari Depok ) langsung bernegosiasi dengan si sopir perihal harga yang harus kami bayar nanti. Dengan memasang wajah memelas dan alasan ongkos yang pas – pasan mereka berdua mencoba menyentuh sisi empati si sopir untuk menurunkan harga awal yang ditawarkan. Ketika menghampiri kami yang menunggu negosiasi mereka, mereka tiba dengan wajah kecewa dan kami sudah faham apa hasilnya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk jalan kaki saja mencari angkot yang lain sambil memasang kuping berharap dipanggil lagi oleh si sopir untuk mengijinkan kami menumpang mobilnya dengan harga yang kami tawarkan. Dan benar saja, si sopir menhampiri kami dan menawarkan harga yang lebih murah dari sebelumnya. Kembali Adi dan Ambon bernegosiasi dengan nya, dan lagi – lagi tidak menenmui kata sepakat. Berulang kali kami melakukan hal yang serupa dan berulang kali juga sopir angkot itu menhampiri kami dan menawarkan harga yang berbeda. Sampai pada akhirnya kamipun sepakat dengan harga Rp. 8.000 per orang karena pada penawaran sebelumnya kami harus membayar Rp. 12.000 per orang. Hmmm… usaha yang tidak sia – sia meski cukup melelahkan.

Kami yang harus merelakan sebagian ruangan angkot ditempati oleh barang – barang bawa’an kami yang bisa dibilang tidak sedikit, terpaksa duduk saling berhimpit – himpitan dan terombang – ambing di dalam angkot karena jalan yang kami lalui tidak terlalu mulus, bahkan bisa dikatakan rusak parah, mungkin kalau kata adik – adik gaul bercelana pendek nan gemes yang suka nongkrong di mal – mal sih bilang “ enggak banget deh “. Sekitar pukul enam pagi kami tiba di daerah Gunung Putri, senang rasanya bisa meregangkan badan setelah beberapa sa’at sebelumnya dikocok massal di dalam angkot. Dan rombongan pun bergegas menuju pos pemeriksa’an, cuma Agung yang memisahkan diri karena Ia ingin melakukan urusan pribadi sebentar di kamar kecil. Soerang perwakilan kamipun memberikan surat ijin kepada petugas yang sedang berjaga.salah satu petugas mengingatkan kami agar tidak menuju puncak hari ini dikarenakan cuaca yang tidak memungkinkan. Cukup beralasan memang, karena sedang musim penghujan dan pagi inipun cuaca terlihat cukup mendung. Setelah mendengar penjelasan Bapak Petugas kamipun cepat – cepat pergi, guna menghindari penghitungan personel yang memang lebih dari kuota yang di ijinkan. Tidak jauh dari pos pemeriksa’an Adi dan Yofan mengisyaratkan kami untuk jelan lebih dulu, karena ternyata Agung belum juga kelihatan batang hidungnya. Dan ternyata lagi – lagi dia tertinggal, kali ini lebih parah dari sebelumya, karena dia salah ambil jalur dan terpaksa putar arah.

Setelah personel lengkap, kami melanjutkan perjalanan yang disampingnya terlihat luas kebun brokoli dan bawang daun yang beryndak – undak, cukup memanjakan mata dan udaranya sangat menyegarkan rongga dada. Nusantara betapa indahnya engkau saya berucap pelan sambil membenarkan letak ransel yang ada di punggung saya. Setelah dimanjakan pemandangan perkebunan, di hadapan kami tersaji anak tangga yang cukup curam,terbentuk dari batu – batu bukti yang dibatasi oleh batang – batang bambu. Kondisi track yang berbentuk tangga seperti ini ternyata lebih menguras stamina, Karena saya harus mengankat kaki saya lebih tinggi dan begitu terus ber ulang – ulang.

Rombongan dari Depok tertinggal cukup jauh di belakang Saya, Adi, Agung dan Yofan, karena hari sudah mulai siang dan James Hetfield pun sudah meraung – raung menyanyikan “ wherever I may roam “ di dalam perut kami. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dan menyantap bekal yang kami bawa. Di hadapan kami yang sedang sarapan, melintas tiga dari beberapa orang yang sedari tadi menyita perhatian saya. Satu orang Bapak – bapak dan dua orang yang umurnya menurut tafsiran saya jauh lebih muda dari saya. Kenapa mereka bisa menyita perhatian saya? Karena mereka memikul karung yang yang beratnya saya yakin lebih berat dari ransel yang saya bawa. kami pun menawarkan mereka untuk bergabung dan beristirahat bersama kami, dan merekapun tidak menampik tawaran kami. Sambil menyantap dua lembar roti tawar, Bapak itu pun menjawab pertanya’an kami, kalau yang dibawa oleh mereka adalah bahan bangunan untuk membangun pagar yang mengelilingi kawah di Puncak Gede nantinya. Pekerja’an yang mulia dan tidak ringan juga pastinya, dan Bapak itu pula yang menerangkan kenapa jalur Cibodas masih ditutup karena proyek pembetonan yang belum rampung. Setelah roti yang di genggamannya sudah habis di santap dan menolak tawaran kami untuk menambah, merekapun melanjutkan perjalanannya.

Belum hilang mereka dari pandangan kami, seorang pemuda berkulit putih dan berwajah oriental yang sebelumnya sempat bertemu kami ketika Ia beristirahat ikut bergabung beristirahat bersama kami, diapun menyantap roti tawar yang kami tawarkan kepadanya. Tidak lama berselang, rombongan dari Depok yang tadi sempat tertinggal dengan kami akhirnya mampu mengejar disusul oleh tiga orang perempuan muda yang ternyata teman nya Felix, pemuda yang berwajah oriental tersebut. Suasana mendadak riuh pasca kedatangan tiga perempuan ini, bagaimana tidak?! Felix yang memang sedari tadi tidak banyak bicara, diledek habis – habisan oleh tiga perempuan ini. Kontan saja rona wajah Felix berubah menjadi merah padam. Dari tiga perempuan yang sedang sibuk meledek teman nya itu, ada satu orang yang mampu membuat saya meliarkan angan saya jauh dari tempat saya yang sedang menyimak dia berbicara. Bukan karena paras nya yang memang cukup cantik, atau warna kulit nya yang putih mulus, tapi cara berbicaranya yang asal jeplak dan nyablak itu yang menyeret paksa angan saya ke bangunan megah berbentuk oval yang ada di jantung Ibukota negeri ini, bangunan yang di dalamnya terdapat deretan kursi yang sebagian besarnya terbuat dari kayu jati yang dipilih oleh founding father nusantara tercinta, bangunan tempat saya dan ribuan "loyalis" lainnya meneriakan semangat, merentangkan syal dan mengibarkan bendera klub kebangga’an. Kerinduan saya terhadap Persija dan tribun yang sudah cukup lama saya tinggalkan karena liga yang belum juga di mulai mendekap saya dengan bahasa dan cara yang tidak terpikirkan.

Berbeda dengan Yofan, dia lebih tertarik dengan perempuan berkulit sawo matang yang sesekali ikutan meledek Felix. Kata Yofan, perempuan seperti itu adalah tipe perempuan idaman untuknya. Selera yang aneh, karena Saya dan Adi sepakat, kalau wanita yang membuat saya kangen dengan Persija itu jauh lebih menarik. Dengan sudut pandang yang sudah tentu berbeda antara Saya dan Adi pastinya. Akan tetapi saya tidak mau menjustifikasi subjektifitas hasil dari letupan juta’an partikel yang berkolaborasi di dalam otak nya. Karena selera adalah salah satu hal yang tidak bisa dipakasakan. Bukan begitu Yofan?!

Karena merasa sudah cukup beristirahat, kamipun melanjutkan pendakian. Dan lagi – lagi rombongan dari Depok kembali tertinggal di belakang kami. Kondisi track di Gunung Putri ini memang sangat berbeda dengan track yang ada di Cibodas. Menurut salah satu personel dari Depok, track di sini lebih curam dibandingkan dengan track melalui Cibodas. Sisi positifnya, kita bisa lebih cepat sampai, jelasnya. Adi yang pada pendakian sebelumnya tidak terlihat lelahpun sempat berbicara kepada saya, kalau tenaganya mulai terkuras. Menurut saya, hal itu dikarenakan kurangnya istirahat sebelum keberangkatan kami. Kondisi seperti ini yang membuat kami sering beristirahat meski tidak lama disetiap perhentian.

Kabut pun mulai turun, “ black dog “ nya Led Zepelin dan terkadang diselingi oleh “ Berita Kepada Kawan “ nya Ebiet G. Ade yang diputar berulang – ulang di hand phone milik Agung, mengiringi kami menyusuri hutan, menarik akar pohon agar mampu melewati track yang curam dan melangkahi batu besar menghadang. Ketika berpapasan dengan dua orang pendaki yang mulai turun, kami bertanya jarak dan kondisi Alun – alun Surya Kencana, tempat para pendaki mendirikan tenda sebelum berangkat ke puncak Gede. Menurut keterangan pendaki tersebut, jarak alun – alun Surya Kencana sudah tidak jauh lagi, sekitar 30 menit dari tempat kami berdiri, dengan catatan, kami tidak  terlalu sering beristirahat. Mereka pun berpesan agar kami lebih hati – hati, karena kabut yang turun semakin tebal. Kamipun segera melanjutkan perjalan dengan lebih semangat. Hinnga akhirnya kami mendengar samar – samar suara dari atas yang menandakan jarak kami sudah sangat dekat.




Sekejap saya terpaku melihat apa yang ada di hadapan saya, tidak lebih dari 10 meter dari tempat saya berdiri yang terlihat hanya putih, putih dan putih. Baru kali ini saya melihat kabut setebal ini dipadu dengan angin dingin yang bertiup cukup kencang. Kamipun berjalan pelan, melewati beberapa pohon Edelweiss yang terlihat samar bersembunyi di dekapan kabut tebal. Tidak ingin kehilangan moment, Adi mengeluarkan handycam dari tas nya, seketika kami pun menjadi foto model dadakan. Pohon Edelweiss dan batu besar secara bergantian menjadi background kami, dan saya tidak lupa mengeluarkan benda yang tersimpan di dalam tas yang saya bawa yaitu…ehem...syal Persija. Setelah merasa cukup mengambil dokumentasi, garis miring meluapkan gairah narsis yang terpendam, kamipun kembali menggendong carrier kami masing – masing. Head lamp yang ada di kepala Agung tidak banyak membantu menembus tebalnya kabut. Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki yang sudah selesai berpetualang, bertegur sapa dan saling melempar senyum adalah hal yang sangat lazim ketika kita sedang mendaki meski baru pertama kali bertemu. Satu batang candu yang terdapat tiga deret angka dipangkal batangnya sudah hampir habis di lahap bara yang melaju lebih cepat dari biasanya, karena intensitas hisapan saya yang juga lebih sering dari biasanya, ditambah terpa’an angin yang tidak pelan. Akan tetapi tempat yang kami tuju masih misterius bersembunyi di balik gumpalan kabut putih.

Kurang lebih 30 menit kami berjalan menembus labirin awan, akhirnya kami tiba di tempat  di mana para pendaki mendirikan tendanya. Setelah menemukan tempat yang kami anggap cukup luas untuk mendirikan tenda, kamipun membagi tugas. Saya dan Yofan bertugas untuk mendirikan tenda, sedangkan Agung dan Adi bertugas untuk mengambil air. Tenda pun sudah berdiri, sambil menunggu Agung dan Adi, saya dan Yofan membereskan tas dan menyiapkan peralatan masak. Adi datang dengan beberapa botol air di tangan nya, dan disusul oleh Agung beberapa sa’at setelahnya. Seperti pendakian sebelumnya, lagi – lagi kompor yang kami kembali tidak berfungsi dengan baik, dan yang lebih parah, Yofan yang biasanya membawa tang dan jarum kali ini tidak membawa semua itu. Karena sudah tahu kerusakan yang biasa terjadi pada kompor sialan ini, saya pun menghisap jarum yang tidak mampu mendistribusikan gas dengan maksimal. Setelah beberapa kali percoba’an, nyala komporpun kembali normal. Gelas plastik yang berisi teh manis hangat yang ada dihadapan kami masing – masing pun sudah tandas kami minum. Dan sa’at nya untuk kami ber hibernasi, melepaskan lelah yang menggelayuti dan biarkan imajinasi berlari menjelajah setiap pelosok alam mimpi.

Pukul 4 : 30 kami kembali berada dalam alam realitas, yang beberapa jam sebelumnya kami tinggalkan sejenak dalam lelap. Suara parau terdengar dari dalam perut kami masing – masing, memberi sinyal untuk di isi. Mie instant dan lontong menjadi menu kami sore ini, kompor dinyalakan, dan air pun siap untuk dipanaskan. Setelah semuanya matang, kamipun bersiap bersantap di ketinggian 2.750 di atas permuka’an laut. Dan suara- suara aneh dari dalam perut pun reda seketika. Selesai mengisi perut, kami meninggalkan tenda untuk berjalan – jalan di sekitar area Surya Kencana.; hari sudah mulai gelap, saya, Yofan dan Agung duduk di salah satu tempat beberapa meter dari sumber air. Sedangkan Adi berjalan sendiri menyusuri padang rumput yang bertebaran pohon – pohon Edelweiss di sana – sini. Malam semakin pekat, dan Adi masih belum kembali, kami bertiga beberapa kali berteriak memanggil namanya namun tidak ada balasan. Akhirnya kami bertiga sepakat menyusulnya, dan Ia tetap tidak terlihat. Kamipun kembali ke tenda, sesampainya di tenda ternyata Adi sudah asyik dengan handy cam nya di dalam tenda, kami bertiga pun merasa lega, meski agak merasa dongkol kepadanya.

Guna meminimalisir rasa yang semakin dingin, kami membuat api unggun di depan tenda. Sambil tertawa dan bercerita tentang apa saja. Cukup lama kami mengelilingi api unggun yang api nya tidak bisa menyala dengan tempo yang lama, karena ranting yang kami bakar pun masih agak basah. Setelah merasa cukup, bukan merasa cukup hangat tetapi cukup lelah menghidupkan api yang sulit sulit menyala, kamipun masuk tenda dan bersiap untuk tidur. Di dalam tenda kami membicarakan rencana untuk esok, rencana kami yang awalnya ingin menuju Lembah Mandalawangi akhirnya harus dibatalkan karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Di dalam tenda juga Yofan menceritakan rencananya yang ingin membuat video di atas puncak Gede, untuk dijadikan sebagai kado ulang tahun seseorang yang spesial beberapa tahun lalu ( spertinya Yofan belum mengerti makna kata move on ) . Imbasnya saya kebagian tugas membuat “kata pengantar” untuk videonya nanti. Saya pun meminjam hand phone nya untuk mengetik kalimat – kalimat yang nantinya akan disertakan dalam video buatanya. Di tengah – tengah “ kesibukan “ saya, Adi dan Yofan sangat “ asyik “ entah itu ber argument, berdebat atau berbicara tentang sesuatu yang menurut saya sangat “ absurd “ untuk dituangkan hanya dalam kata – kata, tetapi sangat nyata dan ada jika dirasa, yaitu “ cinta “. Saya yang sedang fokus dengan tugas yang diberikan Yofan, tidak menghiraukan perbincangan mereka. Meski terkadang saya menguping jika Yofan sedang menceritakan tentang masa lalunya dengan wanita yang akan mendapat kado ulang tahun darinya, sebagai bahan acuan saya agar mempermudah tugas saya. Setelah saya anggap cukup, sayapun memperlhatkan hasil kerja saya kepada Yofan, dan ternyata dia merasa puas setelah membacanya. Artinya tugas saya selesai dan bisa segera menyusul Agung yang sejak tadi sudah tidur pulas disamping saya.

Di atas sana suara petir bersahut – sahutan, angin bertiup semakin kencang dan Adi masih mengoceh perihal cinta dengan Yofan. Semakin lama suaranya semakin jauh terdengar di telinga saya dan sayapun tertidur. Tiba – tiba Agung berteriak “ astaghfirullah ya Allah ra dem blas “ ( dingin banget ) dengan logat Jawa yang sangat fasih. Karena saya tidur disampingnya, sayapun terbangun. Dan kejadian itu berulang beberapa kali ditengah tidur pulas saya. Hujan yang cukup deras memang membuat udara yang sudah dingin menjadi semakn dingin. Beruntung kami sleeping bag kami gunakan sebagai selimut, sehingga dapat mengurangi rasa dingin.

Alarm berbunyi pada pukul empat pagi, karena kami hanya ingin ke puncak Gede dan cuaca juga tidak memungkinkan untuk menyaksikan sun rise, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan tidur dan berangkat pukul enam pagi. Ketika terbangun, badan saya terasa kurang fit, semoga bukan karena teriakan bahasa jawa nya Agung semalam. Awalnya saya ragu untuk ikut mendaki dengan kondisi badan yang tidak terlalu baik ini, akan tetapi keyakinan saya lebih kuat untuk mencapai puncak membuat rasa ragu berkemas dan beringsut pergi meninggalkan ruang pikiran saya.

Kamipun siap menuju ketinggian 2.958 m dpl, berbekal energi dari mie instant dan segelas kopi yang masih terasa hangat di perut kami. Kepala kami tundukan, do’a kami lambungkan kepada Yang Maha Menguasai, dan kamipun mulai melangkahkan kaki. Track yang kami lalui cukup berat, karena berbentuk bebatuan yang kemiringanya cukup curam juga licin akibat disiram hujan semalam. Bebrapa kali saya hampir jatuh terpeleset, Agung pun demikian, beruntung masih dapat memegang batang pohon. Kurang dari 40 menit saya dan Adi telah sampai di puncak disusul oleh Yofan dan Agung beberapa sa’at setelahnya. Karena jaran antara Surya Kencan dan Puncak Gede tidak terlalu jauh, jadi waktu yang kami butuhkan relative cepat.


Di dasar kawah terlihat kabut asap yang terus mengepul membawa aroma belerang yang sangat khas ke hidung kami. Di sebelah timur matahari masih tampak malu menyinari, dihari yang masih pagi bercadar awan yang sedikit mendung. Dan tepat di hadapan kami, puncak Pangrango terlihat gagah berdiri menantang untuk di daki. Yofan mulai sibuk menjalankan rencana yang telah Ia susun semalam. Pertama Ia merangkai batu – batu kecil membentuk angka yang sesuai dengan jumlah usia wanita yang akan menerima kado darinya. Kemudian Ia mulai mengambil gambar keindahan yang disuguhkan oleh alam di sekelilingnya. Berbeda dengan Yofan yang ingin menggapai cintanya kembali dari atas puncak ini, Saya merasakan rasa cinta saya semakin bertambah kuat. Bukan seperti cerita cinta picisan yang sering dinyanyikan oleh sekelompok orang yang katanya "pria", sambil menari serempak seperti sedang melakukan ritual memanggil hujan yang ada di acara musik pagi. Cinta yang saya rasakan  cinta yang 'tak bersyarat dan tanpa sekat, cinta terhadap nusantara yang semakin sering diumpat dibanding menerima ucapan terimakasih oleh manusia – manusia yang jelas – jelas hidup di atas tanah yang mereka pijak, dan meminum air yang mengalir dibawahnya. Love your country as you love your life. "Lebih baik disini, rumah kita sendiri,,,segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa,,,semuanya ada disini…Rumah kita…"tiba – tiba lagu gubahan Ian Antono itu mengalun begitu saja di dalam hati saya.




TERIMAKASIH INDONESIA…

Selasa, 14 Agustus 2012

Rumah ( kedua ) yang selalu ramah


Malam sekali,teman saya dengan akun @One_NurRifai mention ke akun tweeter milik saya,inti dari pesannya adalah jangan terlalu siang datang kerumahnya karena memang pada esok harinya kami harus datang lebih awal dari jam keberangkatan kereta api yang tiketnya sudah di reservasi olehnya jauh-jauh hari. Saya yang memang belum bisa tidur karena ada masalah pribadi yg belum bisa beranjak dari pikiran saya. Saya tidak membalas mention nya. Karna merasa tidak nyaman,takut-takut kalau saya malah bangun kesiangan,akhirnya saya putuskan untuk mengirimi pesan saja ke daftar kontak saya yang memang ada nama dia disana.

Esoknya saya bangun lebih awal dari biasanya,tapi saya tetap merasa kalau saya sudah bangun telat. Bergegas saya membersihkan badan,menyiapkan barang-barang yang mesti dibawa. Sebelum berangkat saya mengirim pesan singkat ke teman saya yg lain,yang sudah saya anggap sebagai kakak perempuan saya sendiri,Puji Astuti namanya,yg kebetulan sedang berada dikampungnya,desa Sragen. Rencananya saya dan teman saya akan berkunjung kerumahnya terlebih dahulu sebelum bergerak ke tujuan utama kami,Stadion Manahan.

Sesampainya  dirumah teman saya,ternyata dia belum siap-siap,jangankan packing barang-barangnya,bahkan mandipun belum. Karena sudah terbiasa dengan tingkah laku dan kebiasa’an dia,jadi saya sudah terbiasa,sambil menunggu dia rapi saya memilih untuk istirahat sejenak,sambil mengisi daya ponsel saya yg katanya pintar,tapi sangat tidak pintar untuk menyimpan daya.

Selesai shalat Ashar kami berangkat menuju stasiun Tenabang. Apa yg kami perkirakan ternyata benar,bahwa jalan sudah mulai macet. Menjelang Maghrib akhirnya kami sampai di stasiun kereta tujuan kami. Masih ada waktu beberapa jam untuk kami beristirahat dan melakukan kegiatan lainya,seperti menjalani kewajiban kami sebagai makhluk yang beradab dan mengisi perut tentunya. Perihal yang satu ini,teman saya memang sudah tidak diragukan lagi kapabilitasnya,dia sering membawa bekal tanpa diminta,menunyapun sudah sangat saya dan teman-teman lain hafal,yup…mie instan,tapi selalu terasa nikmat dan bermanfa’at untuk menunda lapar. Setelah selesai,kami menunggu jam keberangkatan di pinggir peron sambil bersenda gurau.

Dan pengumuman dari pengeras suara stasiunpun terdengar,bahwa kereta yang akan kami tumpangi sudah siap di jalur 3,bergegas kami mencari gerbong dan nomor kursi yg tertera di tiket kami masing-masing,bersama dengan beberapa rombongan yg dari atribut dan pakaian mereka sudah sangat kami kenali. "Persija,yakinlah kau ‘tak akan pernah sendiri",ucap saya dalam hati.

Tepat pukul 19:40 kereta mulai melaju,saya dan teman saya duduk bersebelahan meskipun dari nomor bangku,harusnya kami berada di kursi yg terpisah. Di sepanjang perjalanan kami membahas apa saja untuk menghilangkan rasa penat selama di perjalanan sebelum akhirnya kami sibuk dengan kegiatan masing-masing,dia yang mulai sibuk dengan ponsel pintarnya,sedangkan saya lebih memilih membaca buku yg saya bawa. Karena saya memang sengaja me non aktifkan ponsel saya untuk menghemat daya.

Ditengah-tengah perjalanan,entah sudah berapa kali kereta yang kami tumpangi berhenti,mempersilahkan kereta yang  kelasnya lebih dari sekedar kereta api kelas ekonomi untuk lewat lebih dulu. Dan entah sudah berapa kali saya terlelap,karena pada malam sebelumya saya memang tidur terlalu larut.
Sesampainya di stasiun Cirebon,kereta berhenti untuk kembali mengangkut penumpang,mulai dari stasiun ini kami duduk terpisah,karena kursi yg tadi kami gunakan sudah ada penumpangnya. Di stasiun ini kereta berhenti cukup lama,dan dimanfa’atkan oleh penumpang lain untuk keluar membeli makanan.
Selang beberapa sa’at keretapun mulai melanjutkan perjalanan,dan saya kembali melanjutkan baca’an saya yg sempat tertunda gara-gara tertidur. Dan tidak lama kemudian ternyata saya tertidur kembali.hehe...

Tanpa terasa malam ternyata sudah digeser dengan pagi,lebih tepatnya dini hari. Saya yang melihat teman saya berdiri diantara sambungan gerbong mengisyaratkan saya untuk bergabung denganya. Dan kamipun berdiri di depan pintu kereta api sambil menikmati udara pagi ditemani sebatang rokok yg dijepit dijemari.

Kami tidak banyak mengobrol meskipun berdiri bersebelahan,karena dia mulai sibuk dengan kameranya untuk mengabadikan beberapa view yg menurutnya menarik,dan saya hanyut dibuai dinginya kabut pagi dan menikmati secuil dari keindahan yang dimiliki negeri ini. Tanpa terasa,ternyata kami sudah memasuki daerah Jogjakarta,beberapa penumpang turun di stasiun Tugu dan Lempuyangan. Saya cukup "excited" dengan stasiun yang terakhir saya sebutkan,karena ingin merasakan sendiri bagaimana rasanya menikmati sendiri suasana disana. Ternyata apa yang diceritakan dalam buku yang pernah saya baca memang begitu adanya.


Perlahan tapi pasti kereta mulai meninggalkan Lempuyangan,karena kereta sudah mulai kosong,saya dan teman bejalan-jalan menelusuri isi kereta,mulai dari gerbong yang satu ke gerbong yang lain. Sampai akhirnya kami menemukan tempat masing-masing yang cukup nyaman untuk kembali menikmati perjalanan,meski gerbong yang kami tempati berbeda,tetapi kami masih bisa berkomunikasi dengan baik,karena kami memang kembali duduk dipintu gerbong yang berdekatan. Syalpun saya keluarkan dari tas yang saya bawa,dan melilitkanya dileher.

Kereta bergerak cukup lambat,sehingga saya bisa mengamati apa saja yg saya lihat sepanjang perjalanan. Beberapa sa’at sebelum memasuki stasiun Balapan,ada sekumpulan anak kecil yang bermain tidak jauh dari sisi rel,tiba-tiba mereka mengacungkan jari jempol dan telunjuknya secara bramai-ramai,saya yg melihat pemandangan tersebut,sontak membalas salam mereka dengan tersenyum bangga dan bahagia.

Tidak lama kereta yang kami tumpangi berhenti di stasiun Balapan,dan pemandangan yang mencuri perhatian saya adalah banyaknya tentara yang membawa senapan laras panjang di stasiun ini,karena pada kemarin harinya memang terjadi bentrok warga di kota ini. Perjalananpun kami lanjutkan menuju stasiun tujuan kami yang terakhir. Stasiun Jebres.




Sesampainya di Jebres,tidak jauh berbeda dengan Balapan,disini juga banyak tentara yang brjaga-jaga sambil membawa senjata yang lekat digenggamanya. Kamipun turun dengan perasa’an lega,setelah menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Hal yang pertama kami lakukan sesampainya di Jebres adalah mencari toilet untuk membersihkan badan yg terasa sudah sangat lengket karena keringat.
Selesai mandi,saya mengirim kabar ke teman saya yang berada di Desa Sragen,bahwa kami sudah sampai di Jebres,sambil menunggu pesan balasan dari teman saya tersebut untuk memberi arahan rute selanjutnya yang akan kami tempuh agar bisa sampai ke rumahnya,kami mencoba untuk memesan tiket kereta untuk perjalanan pulang. Disini kami kecewa,karena ternyata tiket kereta api ekonomi untuk Solo-Jakarta sudah habis semua. Kami mencoba untuk memesan tiket kereta api kelas Bisnis,ternyata masih ada,akan tetapi harganya tidak sesuai dengan kemampuan kami. Dan kamipun meninggalkan loket dengan tangan kosong.
Ponsel saya berbunyi,ternyata teman saya yg mengirim pesan singkat. Dari pesan yang saya terima ternyata kami harus ke terminal Tirtonadi lebih dulu,dan kemudian naik Bus jurusan Gemolong dan turun di Perempatan Kali Jambe,nanti dia akan menunggu disana. Kami dianjurkan naik becak dari Jebres ke Terminal,tetapi kami lebih memilih jalan kaki,dengan alasan agar lebih hemat.

Sudah cukup jauh kami berjalan kaki sambil bertanya-tanya dengan orang yg kebetulan kami temui dipinggir jalan,untuk memastikan bahwa arah yang kami tempuh adalah arah yg benar. Ada satu hal yang menurut saya menarik ketika saya bertanya dengan seorang Bapak yg sudah cukup tua,dimana letak terminal yang kami maksud. Kemudian beliau menerangkan dengan bahasa Jawa yang kental,saya yg sedikit mengerti bahasa Jawa secara keseluruhan mengerti apa yg beliau katakan. Akan tetapi,saya sedikit "melongo" setelah mendengar kata bangjo,sambil berfikir dan meraba-raba artinya,kamipun melanjutkan perjalanan.

Sudah cukup jauh kami berjalan,akan tetapi terminal tujuan kami belum juga nampak. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dulu disebuah angkringan dipinggir jalan.  Setelah memesan dua porsi nasi pecel dan dua gelas teh manis kamipun kembali bertanya kemana arah yg harus kami tempuh untuk menuju terminal yg kami maksud. Bapak pemilik angkringan yg kalau berbicara selalu diawali dengan kalimat "minta seribu"  alias "nyuwun sewu" hehe…menjelaskan bahwa terminal tersebut tepat dibelakang bangunan yg dia tunjuk. Lantas dia balik bertanya tujuan kami nanti mau kemana,dan sayapun menyebutkan tempat dimana teman saya akan menjemput. Setelah tau bahwa kami akan ke Kali Jambe diapun menyarankan untuk tidak naik angkutan dari terminal,melainkan menunnggunya saja dipinnggir jalan di dekat Bangjo yang jaraknya tidak jauh dari tempat ini,kami berdua kembali "melongo",tapi sungkan untuk bertanya apa itu Bangjo?

Hidangan dihadapan kami yg tadi dipesanpun telah kami babat habis,setelah membayar apa saja yg telah kami makan dan perutpun sudah terasa kenyang,akhirnya kamipun melanjutkan perjalanan. Tidak jauh dari tempat kami makan,kembali kami bertanya,kali ini Polisi yg sedang bertugas yg jadi peta kami,hehehe…dari petunjuk yg diberikan,ternyata angkutan yg kami maksud tepat berada di depan kami,tanpa membuang waktu kamipun bergegas menuju angkutan tersebut,setelah mengucapkan terimakasih tentunya.

30 menit di dalam bus akhirnya kamipun sampai di perempatan Kali Jambe,belum sempat saya mencari nama teman saya diponsel untuk saya hubungi,teman yg akan menjemput kami memanggil-manggil saya sambil melambaikan tangan diseberang jalan. Dari ceritanya,ternyata dia sudah menunggu selama kurang lebih 30 menit. Setelah saling berbalas salam dan bergurau sebentar,dia memanggil seorang tukang ojek untuk mengantarkn dia dan anaknya yg sedang asyik makan ayam goreng untuk pulang kerumahnya,sedangkan kami menggunakan sepeda motor Astrea Grand milik ayahnya yg digunakan olehnya ketika berangkat dari rumah.

Ternyata jalur yg kami lewati cukup menarik perhatian saya,meski tidak ekstrim,tapi kami harus naik turun karena letak desanya memang di daerah perbukitan. Akhirnya kamipun tiba dirumahnya,setelah memberi salam dan bersalaman dengan ibunya,kamipun langsung duduk dan menyandarkan tubuh kami dikursi tamu karena kelelahan. Tidak lama berselang kamipun disuguhi bermacam makanan yg diletakkan di atas meja dihadapan kami. Bertanya tentang kabar kami masing-masing,bercerita tentang perjalanan kami menuju Solo,tidak lupa,sayapun menanyakan apa itu Bangjo?dan ternyata kata itu adalah sebuah akronim yg berartiabang (merah) dan ijo (hijau) yg artinya lampu merah,sayapun protes,kenapa tidak disebut bangjoning?karena warna lampu merah bukan hanya merah dan hijau melainkan ada juga kuningnya,biar sekalian lengkap tidak hanya disebut sebagian warna saja,mendengar itu kami semuapun tertawa tanpa memperdulikan jawaban dari pertanya’an konyol saya tadi hehehe...ternyata merangkum kenangan ketika masih dalam satu lingkungan kerja,berkisah tentang apa saja membuat waktu terasa berputar terlalu cepat,hingga kami tidak menyadari kalau hari sudah siang.

Setelah Dzuhur saya dan teman seperjalanan saya akhirnya memutuskan untuk berangkat menuju tujuan utama kami,Stadion Manahan. Kamipun pamit,dengan bobot tas yg bertambah berat,bukan karena kelelahan,melainkan oleh-oleh yg tidak sampai hati untuk saya tolak. Dengan sepeda motor milik Ayah teman saya yg saya kendarai dengan 2 penumpang yaitu rekan saya,dan adik laki-laki teman saya yg mengantar kami menuju tempat dimana kami turun untuk kembali naik angkutan menuju terminal Tirtonadi dan kemudian dilanjutkan menuju Stadion Manahan.

Puji Astuti dan anaknya, Hafidz

Sesampainya di Manahan,suasana sudah sangat ramai,padahal pertandingan baru akan dimulai lebih dari 2 jam lagi. Seperti yg kami duga,supporter yg datang di dominasi oleh Aremania,karena dari letak geografisnya mereka memang lebih dekat. Tidak ingin membuang waktu,kamipun langsung mencari tiket masuk. Setelah mendapatkan tiket pertandingan barulah kami mencari tempat teduh untuk beristirahat,sambil sesekali mengambil gambar dengan latar belakang stadion dan suasananya.

1 jam sebelum kick off,kamipun mulai memasuki stadion. Dan suasananya sudah sangat ramai. Nampak sekali dominasi warna biru di dalam sana,akan tetapi kalah jumlah tidak menciutkan nyali kami untuk beradu kreasi dalam mendukung tim kebangga’an kami…Persija Jakarta. Hal ini dapat dilihat dari chants-chants yg kami teriakan,giant flag yg kami kibarkan,red flare yang kami nyalakan dan bomb smoke yg kerap menghalangi pandangan kami. 



Selang beberapa sa’at,pertandinganpun dimulai. Kendati sering terjadi “jual beli serangan” akan tetapi babak pertama ditutup dengan skor 0-0. Memasuki babak kedua,tensi pertandingan tetap tinggi. Hingga pada menit 62 akhirnya Pedro Javier  mampu memecah kebuntuan. Tendangan kerasnya mampu merobek gawang Arema yg dikawal oleh Kurnia Meiga setelah menggantikan kakaknya,Ahmad Kurniawan karena cidera di babak pertama. Sontak saja,kami berteriak lantang menyambut goal tersebut. Kembali red flare dan bomb smoke menghiasi tribun yg kami tempati,kali ini jauh lebih massive dari sebelumnya. Mendekati akhir pertandingan,Arema semakin gencar melancarkan serangan,berkat kokohnya barisan pertahanan Persija yg dikomandoi oleh Fabiano Beltrame,skor 1-0 tetap tidak berubah hingga peluit panjang berbunyi mengakhiri pertandingan sore itu.




Seusai pertandingan kamipun menyanyikan chants kepada Pasoepati yg telah menerima kami dengan sangat baik. Setelah mengambil beberapa gambar menggunakan kamera digital yg dibawa,kami berduapun keluar dari stadion sambil membahas dan merundingkan alat transportasi apa yg akan kami gunakan untuk pulang nanti.

Untuk menggali informasi akan hal ini,kami bertanya kepada Bapak penarik becak,dari keterangan yg kami dapat dari beliau,akhirnya kami memutuskan untuk naik bus saja. Kamipun menggunakan jasanya untuk mengantar kami ke terminal.

Karena tidaki mau membuang waktu,kamipun segera mencari tiket bus. Sesampainya diloket,sebelum membeli tiket,kami bertanya-tanya dulu so’al harga,ternyata harga yg ditawarkan cukup tinggi. Di tengah-tengah perbincangan kami dengan petugas,datang seorang The Jak yg kemudian kami ketahui kalau dia datang dengan seorang anak dan isrtinya untuk menawarkan tiket yg telah beli untuk dijual kembali kepada kami karena mereka akan pulang dengan rombongan. Dari harga yg dia dan petugas itu tawarkan ternyata masih cukup mengganjal. Kamipun beringsut pergi meninggalkan loket tanpa hasil. Tidak jauh dari loket yg kami tinggalkan,kamipun dipanggil oleh orang yg sama,kali ini dia menawarkan dengan harga yg berbeda. Setelah berdiskusi,akhirnya kamipun membeli tiket yg ditawarkan. Jika dibandingkan dengan harga yg ditawarkan oleh petugas tadi,memang sangat jauh bedanya.

Kamipun pulang menggunakan bus yg nyaman. Dalam perjalanan pulang,tidak banyak yg kami perbincangkan. Hanya membahas sedikit tentang pertandingan yg baru saja kami saksikan. Sisanya kami istirahat dan tertidur,meskipun saya sering terbangun,efek dari pendingin yg memfasilitasi bus tersebut. Rasa dingin saya tertolong dengan kain sarung yg saya bawa dan pinjam dari rumah teman saya. Dan sayapun tertidur pulas.

Sekitar pukul 8 pagi ,bus pun memasuki daerah Jatiwangi,Bekasi. Kami berdua menuruni bus yg kami tumpngi di iringi oleh gerimis tipis yg cukup membasahi tanah kota ini.
Perjalanan yg sangat sarat makna,buat saya. Menempuh bentangan jarak  hanya untuk 90 menit pertandingan,hanya untuk Persija,hanya untuk sebuah kebangga’an,tidak akan pernah dapat di ukur oleh uang.

Akhir sekali,saya mengucapkan terimakasih untuk Persija,yg mendorong saya untuk menyentuh secubit dari sisi lain negeri ini. Kota Solo yg bersedia menjadi rumah kedua kami. Puji Astuti,yg menyediakan tempat istirahat untuk kami (oleh-olehnya juga). Pasoepati dan Aremania  yg menyambut kami dengan sangat baik. TERIMA KASIH

PERSIJA SELAMANYA……!!!!!


@doel_12

Senin, 13 Agustus 2012

Fajar pertama dipuncak Pangrango chapter II

senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang-jurangmu
aku datang kembali kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu

walaupun setiap orang berbicara tentang manfa’at dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberada’anmu
seperti kau terima daku

aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala cintamu
dan cintaku adalah kebisuan semesta

malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi
kau datang kembali dan bicara padaku tentang kehampa’an semua

“hidup adalah so’al keberanian menghadapi yang tanda tanya
“tanpa kita mengerti,tanpa kita bisa menawar
“terimalah dan hadapilah

Dan antara ransel-ransel kosong dan api unggun yang membara
Aku terima ini semua
Melampaui batas-batas hutanmu,melampaui batas-batas jurangmu

Aku cinta padamu Pangrango
Karena aku cinta pada keberanian hidup

(Jakarta 19-7-1966)

Demikian tulis Soe Hok Gie dalam salah satu puisinya tentang gunung yang akan kami daki hari ini. Gunung yang tingginya 3.019 m dpl dan sudah tidak aktif ini, memang kerap kali muncul didalam puisi-puisinya. Sepertinya sosok Soe Hok Gie sangat lekat dengan gunung ini, begitupun sebaliknya. Meskipun Beliau wafat karena tercekik oleh gas beracun kawah Mahameru pada bulan Desember  1969. Akan tetapi, namanya sangat erat dengan Pangrango dan lembah yg begitu legendaris tempat ia merenung,,,ya lembah Mandalawangi. Baiklah,kita sudahi dulu mengenang "Seorang Demonstran" yang sangat kritis dan berani pada masanya itu.


Kembali ke perjalanan kami…

Setelah selesai berdo’a, saya memantapkan tekad saya dan melecutkan semangat saya lebih dari biasanya. Karena saya yakin, kalau ini bukan hanya perjalanan untuk daging yang membungkus raga saya. Dan langkah-langkah kamipun dimulai,dibarengi dengan gurauan tanpa makna dan diselingi oleh canda tawa. Tidak terlalu jauh dari tempat awal kami memulai,tibalah kami di pos pemeriksa’an. Disini setiap pendaki wajib menunjukan surat izin yang sudah diurus sebelumnya. Selain itu petugas juga menerangkan apa saja yg tidak boleh dibawa dan dilakukan selama pendakian. Setelah Yofan menunjukan surat izin pendakian kami dan menjawab beberapa pertanya’an dari seorang pria paruh baya tapi badanya masih terlihat bugar ini,kamipun kembali melanjutkan perjalanan.

Langkah demi langkah kami lewati jalan berbatu yang mulai terasa mendaki, namun  kata Yofan ini masih belum seberapa dengan jalur yang akan kami tempuh didepan nanti. Sejenak saya cukup “down” mendengarnya. Sebab menurut saya,ini sudah cukup menguras tenaga dan membuat dada saya yang telah terkontaminasi nikotin menjadi agak sulit untuk mengolah udara. Saya berusaha agar tetap tenang,meskipun pertanya’an akan mampu atau tidak saya mencapai puncak tetap terngiang-ngiang. Dan hal yang paling saya takuti adalah,kalau nanti saya akan merepotkan dan menghambat perjalanan mereka. Semoga saja tidak.

Disuatu tempat,kami memutuskan untuk istirahat sejenak. Ditempat ini Yofan mulai merasakan kembali rasa sakit pada salah satu bagian kakinya yang memang belum sembuh total. Menurut cerita yang beredar dikalangan kami,rasa sakit yang sulit sembuh itu diakibatkan karena makhluk halus yang tempatnya dikencingi (ma’af) oleh Yofan tidak terima sampai akhirnya terus mengikutinya sebelum ia meminta ma’af,hal ini juga yang kami jadikan sebagai bahan ledekan untuknya…hehehe

Buah apel yang tersimpan di carriel yang kami bawapun sudah kami santap sebagai tambahan energi dalam perjalanan ini dan hanya menyisakan beberapa saja untuk nanti. Setelah mengambil beberapa gambar dari kamera saku yang dibawa Juni, kembali kami berdiri, beranjak dari tempat yang kami singgahi. Berawal dari tempat ini,kami yang pada awalnya berjalan secara bersama’an mulai terpisah. Saya dan Adinoyo berada di depan, disusul dengan Yofan dan Zaeni,sedangkan Juni dan Ambon berada diposisi paling belakang. Saya yang tidak mampu mengimbangi kecepatan langkah-langkah Adi akhirnya tertinggal olehnya,dan berharap dia akan menunggu saya dijembatan yang sempat dikatakan oleh Yofan.

Carriel yang ada dipunggung saya terasa semakin berat, pakaian yang melekat ditubuh sayapun semakin basah oleh keringat. Adi yang sudah tidak terlihat,membuat semangat saya kembali mencuat untuk mencoba mengejarnya. Saya memang tidak berjalan dengan cepat,tidak juga dibilang terlalu lambat. Akan tetapi langkah-langkah saya yang konstan membuat saya mampu melewati beberapa orang yang sebagian besarnya adalah wisatawan.

Berjalan dan terus berjalan berharap Adi terlihat didepan saya. Tanpa saya sadari di depan saya terbentang jembatan yang ujungnya tak kelihatan,  membelah rawa yang dari keteranganya terbentuk dari bekas kawah mati,Rawa Gayonggong namanya. Banyak wisatawan yang berfoto disini dengan latar belakang jembatan dari rawa itu sendiri dan gunung yang tinggi tegak berdiri. Saya yang berharap Adi menunggu saya ditempat ini,harus kecewa karena dia tidak terlihat hingga jalan yang saya lalui kembali berbentuk bebatuan.



Saya yang sudah menyerah mengejar Adi,akhirnya memutuskan menunggu yang lainya disalah satu tempat yang saya lupa namanya. Yang jelas banyak para pendaki yang beristirahat disini sekedar untuk menghimpun nafas,minum dan ada juga yang merokok,salah satunya turis asing wanita yang berdiri tidak jauh dari hadapan saya. Cukup lama saya menunggu,sampai akhirnya Yofan dan Zaeni terlihat dan menghampiri tempat saya beristirahat. Yofan yang duduk sambil memegangi kakinya yang terasa sakit,dihujani pertanya’an oleh Zaeni tentang “blewah” yang sedari tadi mereka ikuti. Saya yang masih belum mengerti “blewah” apa yang mereka maksud,mencoba terus mencerna apa yang sedang mereka perbincangkan. Hingga kemudian saya fahami kalau wanita yang melintas didepan saya tadi itulah yang mereka maksud. Saya tidak habis pikir,kenapa Zaeni bisa menganalogikannya dengan kata "blewah"?namun enggan saya tanyakan. Tidak lama Ambon dan Juni datang dan bergabung dengan kami, Ambon pun langsung meminta air yang belum saya keluarkan dari carriel,meskipun saya juga haus, tapi tidak enak rasanya kalau saya minum sendiri tanpa ada yang lain.

Perajalanan kembali dilanjutkan setelah kami merasa cukup beristirahat. Medan yang kami tempuh semakin berat, hal ini membuat Ambon semakin jauh tertinggal dibelakang bersama Juni yang setia menemaninya. Saya bersama Yofan dan Zaeni pun sudah tidak terhitung lagi berapa kali kami mengambil jeda dan beristirahat. Disalah satu perhentian kami, Yofan menggantikan saya membawa carriel yang saya bawa.

Fokus kami sementara ini adalah tidak terlalu sore ketika  tiba di Kandang Batu, karena kami masih harus mendaki lagi menuju Kandang Badak,tempat dimana kami berencana untuk mendirikan tenda dan bermalam. Kami berharap kalau Adi menunggu kami di Kandang Batu, karena kami juga ingin memasak bekal yang kami bawa disana. Sampai pada akhirnya kami tiba di tempat Wisata Air Panas, yang artinya jarak Kandang Batu sudah sangat dekat. Tidak jauh dari tempat Wisata Air Panas, kami mengisi botol air mineral yang isinya sudah kami habiskan diperjalanan tadi. Kadar belerang yang cukup pekat, membuat kami agak kesulitan untuk menentukan sumber air yang akan kami ambil dari aliran sungai ini. Merujuk dari keterangan dan rekomendasi beberapa pendaki, kami mengisi boto-botol kosong kami ditepian sungai di dekat pohon tumbang. Tenggorokan yang mulai keringpun kembali basah merangkul kembali tenaga yang mulai menguap. Hingga tidak terasa, tibalah kami di Kandang Batu, tanpa banyak kata kami turunkan beban yang sejak tadi bercokol di tubuh kami.

Beberapa keping biskuit bertabur abon pedas menemani kami menunggu Ambon dan Juni yang belum juga datang. Sedangkan Adi yang kami harapkan menunggu kami ditempat ini juga tidak kelihatan batang hidungnya. Cukup lama kami ditempat ini, sampai pada akhirnya pandangan kami menangkap sepasang pemuda yang dari cara jalanya sudah cukup kami kenali,ya,,,itu mereka…

Rencana memasak bekalpun batal, karena tidak adanya Adi. Bukan karena dia yang membawa bahan makananya,melainkan kami khawatir kalau-kalau dia kelaparan nanti sedangkan kami sudah makan disini (bukankah kami baik wahai Adi ?). Jam digital yang tertera dilayar handphone Yofan menunjukan angka 14 dan 2 angka dibelakangnya saya lupa,,,hehe… Karena merasa sudah cukup lama beristirahat, kamipun kembali melanjutkan perjalanan menuju Kandang Badak.

Lagi-lagi Juni dan Ambon tercecer dibelakang saya, Yofan dan Zaeni. Karena tidak ingin lebih banyak membuang waktu kami terus saja berjalan, meski kadang berhenti sejenak mengambil nafas dan mengistirahatkan kaki Yofan yang memang sakit. Sepanjang perjalanan tidak jarang kami membicarakan Adi yang belum juga bertemu dengan kami, dan kali ini kami berharap dia menunggu kami di Kandang Badak. Yofan yang sudah beberapa kali kesini, cukup hafal dengan tempat ini dan berkata kalau Kandang Badak sudah tidak jauh dari tempat kami beristirahat yang kesekian kalinya. Hari sudah semakin sore, dan beberapa pendaki sudah ada yang mulai turun dan melintas didepan kami yang sedang duduk disebuah batu yang cukup besar. Tiba-tiba dibelakang rombongan pendaki yang mulai turun, Adi berlari sambil berteriak “wooy,,,kemane aje lo,lama bener?!,gue udeh abis dari puncak Gede…” dan ceritanya berlanjut tentang Kandang Badak yang berubah jadi pasar karena banyak dan ramainya pendaki yang beristirahat bahkan mendirikan tenda disana. Tidak mau membuang-buang waktu kamipun bergegas. Dalam perjalanan menuju Kandang Badak saya membatin,,,”emang saklek nih si Adi,gue yang baru nyampe sini aje udeh kerasa capek bener,lah dia malah udah nyampe Puncak Gede,terus pake acara turun lagi jemput 1 orang pemula dan 1 orang pendaki sakit yang nekat” hehehe…

Sesampainya di Kandang Badak, kami keluarkan peralatan memasak dan bahan makanan yang kami bawa dari dalam ransel dan carriel sambil menunggu Juni dan Ambon yang belum kunjung tiba. Saya dan Adi mengambil air untuk dimasak, sedangkan Yofan dan Zaeni menyiapkan bahan-bahan sebagai menu makanan kami sore ini. Ditempat kami mengambil air, ternyata sudah ada beberapa pendaki wanita yang mengantri dengan keperluan yang tidak sama,ada yang sedang sekedar cuci muka,ada juga yang mengantri untuk berwudhu.

Empat botol air mineral ukuran besar sudah kami isi penuh, setelah Adi selesai berwudhu, kami kembali ketempat kami berkumpul. Tidak lama berselang Juni dan Ambon datang, dan langsung membantu yang lainnya. Ternyata kompor yang kami bawa tidak berfungsi, sehingga Yofan memasak air menggunakan kaleng yang di isi oleh cairan spirtus mirip tukang tambal ban pinggir jalan. Saya yang penasaran mencoba membetulkan kompor yang tidak mau menyala ini dibantu oleh Juni dan Adi yang baru saja selesai melaksanakan kewajibanya sebagai seorang muslim. Setelah bongkar kiri, kanan, atas, bawah bagian kompor tersebut. Ternyata jarum yang fungsinya mendistribusikan gas tersumbat. Dengan bantuan sebuah jarum Jahit yang dibawa Yofan, Juni menusuk dan mencongkel-congkel bagian lubang yang tersumbat. Setelah dianggap cukup komporpun kembali dicoba untuk dinyalakan kembali, meskipun pada percoba’an pertama gagal, tapi tidak untuk percoba’an yang kedua. Alhasil kompor yang tadi tidak mau menyalapun akhirnya mengeluarkan api, dan berkumandanglah lagu “we are the champions” nya “Queen” dari mulut kami,sampai-sampai para pendaki yang berada disekitar kamipun mengalihkan pandanganya kepada kami…hehehe… Oia,,, saya, Juni, Adi dan Zaeni berasal dari satu almamater tapi beda angkatan, jadi…3 teknisi tadi berasal dari satu sekolah… SMK NEGERI 1 CIKARANG BARAT (STM NEGERI SATOE BEKASI), jadi buat kalian atau sanak saudara kalian yang ingin melanjutkan jenjang pendidikan ke program kejuruan, STM NEGERI SATOE BEKASI adalah pilihan yang sangat tepat…hehehe tapi jangan salah, diterima disekolah kami tidak mudah, harus melewati seleksi yang ketat dan mental yang mantap,,,camkan itu hehehe

Teh manis hangat, mie instan rasa berantakan dan nasi yang bagian bawahnya gosong tapi tetap terasa nikmat hingga habis kami santap. Cukuplah untuk asupan energi perjalanan kami sore ini, karena rencana kami untuk berkemah disini harus dibatalkan dengan alasan tidak adanya lahan yang cukup untuk kami mendirikan tenda. Sekitar pukul setengah lima sore kami mulai bersiap mendaki, lingkaran kecil kembali terformasi,do’a kembali terpanjat dari bibir-bibir kami yang mulai pucat.

Selangkah demi selangkah kami menembus hutan,menerjang dingin petang, menyelinap diantara pohon-pohon dan ranting yang saling bersilangan. Jingga senja mulai tertutup jubah malam, sinar redup rembulan menembus dedaunan, dibawahnya kami masih terus berjalan menuju mahakarya Tuhan. Tiba-tiba terdengar suara Ambon dari belakang meminta berhenti sejenak untuk beristirahat. Melihat kondisinya yang terlihat begitu lelah kami memutuskan untuk tidak langsung menuju puncak malam  ini, melainkan mencari tempat yang cukup untuk sekedar mendirikan tenda agar kami bisa bermalam dan melanjutkan perjalanan esok pagi. Malam semakin pekat, sedangkan senter yang kami bawa sangat terbatas bahkan bisa dikatakan kurang. Karena dari 3 senter yang kami bawa, satu diantaranya tidak berfungsi, sampai-sampai Juni menggunakan senter handphone miliknya.
Semakin malam udara semakin dingin, dan medan yang kami tempuhpun semakin berat. Adi yang berada didepan, selalu mengingatkan kami ketika kami sedang berjalan disisi jurang agar lebih hati-hati. Kami terus mengikuti jejak-jejak dan tanda-tanda yang sangat sulit terlihat karena gelap, sejenak terlintas ketakutan pada diri saya akan tersesat. Cuma satu pegangan saya waktu itu,yaitu do’a, hampir disetiap sa’at,bibir saya meluncurkan do’a pelan-pelan,dan disa’at itu pula dosa-dosa dan kesalahan-kesalahan hidup tergambar jelas di depan mata. Inilah yang saya maksud kalau perjalanan ini bukan hanya sekedar perjalanan yang ditempuh oleh unsur-unsur yang menyusun tubuh saya,tapi ada yg lebih mutual dari yang material tersebut,yaitu hal yang bersifat spiritual. Karena ketika saya berada dalam rengkuhan rimba,meresapi dinginya,terbenam dalam suramnya,saya bisa lebih mengenal dan menyentuh tentang hidup,syukur,keindahan dan Tuhan.

Break!!!teriak Juni dari belakang,melihat posisi Ambon yang sudah selonjoran meluruskan kakinya,kamipun menghentikan perjalanan kami beberapa sa’at. Kembali kami bertanya kepada Ambon tentang kondisinya,selang beberapa sa’at diapun mengisyaratkan untuk kembali melanjutkan perjalanan,kamipun bergerak tanpa buang-buang waktu lagi. Tidak terlalu jauh dari tempat kami beristirahat,akhirnya kami temukan tempat meski tidak begitu lapang,tapi cukuplah kalau hanya untuk sekedar mendirikan tenda. Dan kami putuskan untuk bermalam disini.

Tenda sudah berdiri,Adi,Yofan dan Zaeni sedang siap-siap menyalakan api untuk memasak. Saya,Juni dan Ambon membereskan barang-barang yang ada di dalam tenda. Ditengah-tengah aktifitas kami masing-masing,selalu ada tawa yang terselip menyelingi obrolan-obrolan kami. Saya yang sudah sangat merasa keleahan,mencoba membaringkan badan saya yang sudah dibalut dua jaket tebal. Semakin lama suara obrolan mereka semakin jauh terdengar,dan sayapun tertidur tanpa merasakan teh hangat yang sudah sejak tadi saya bayang-bayangkan.

Malas sekali saya buka kelopak mata saya ketika Yofan menggoyang-goyangkan badan saya,dengan tidak kalah malasnya saya bertanya,”emang udeh jam berape sih?” dan mata saya kembali terpejam. “eh Nyuk,bangun lo!mao berangkat kaga?udah jam empat neh…”.teriak Yofan membangunkan saya. Masih dengan perasa’an malas sayapun duduk,terlihat Adi di depan saya sedang melakukan tayamum,rupanya dia mau shalat subuh. Dari semua makhluk yang dibilang manusia yang ada di dalam tenda ini,Cuma Adi yang tidak pernah meninggaklkan kewajibannya sebagai makhluk yang beradab dan beragama. Sedangkan saya?masih pantaskah predikat manusia tersemat didiri saya?!saya membathin.

Sekitar pukul 04:30,setelah kami berkemas dan memakan beberapa bekal yang kami bawa,kamipun sudah bersiap-siap di depan tenda. Barang-barang yang sekiranya tidak kami butuhkan dipuncak nanti kami tinggalkan di dalam tenda. Perjalananpun dimulai dengan berdoa’a. satu hal yang tidak kalah penting dan patut untuk diketahui,kalau mulai dari tempat ini saya menggunakan kaos kaki warna oren yang melekat anggun dikaki saya,,,hehe sangat informatif bukan ?!

Angin pagi menyanyikan lagu ranting-ranting yang mendesau di pepohonan,cahaya senter kami coba menembus gulungan kabut pekat yang membebat. Selangkah demi selangkah terus kami memanjat,hingga tidak jarang tangan kami saling berjabat,mengangkat tubuh satu sama lain ditengah alam yang sangat khidmat. Semakin tinggi tempat kami berdiri semakin keras pula angin yang menerpa wajah kami,dan bayangan tentang puncak yang ditujupun semakin gencar menari-nari.

Diatas kami yang sedang beristirahat untuk yang kesekian kalinya,dewi malam terus meniti garis orbitnya.  Sedangkan fajar,tengah menyiapkan kanvas untuk ditorehkanya berbagai warna yang akan memanjakan mata siapa saja yang melihatnya. Kami yang tidak mau melewatkan lukisan agungnya,bergegas meninggalkan tempat kami melepas lelah.

Adi yang berada diposisi paling depan,terlihat sangat bersemangat ketika melihat tanah datar yang berada tepat dihadapan kami. Ia yang berjalan setengah berlari kemudian berteriak kalau kami sudah sangat dekat dengan titik puncak. Kami yang berada dibelakangnya semakin semangat mengimbangi langkah-langkahnya. Benar saja,tidak jauh dari tempat kami berdiri terlihat monumen yang tidak terlalu tinggi,Tugu Triangulasi. Tugu yang menandakan puncak dari Gunung Pangrango,tugu yang pernah diduduki oleh Soe Hok Gie disalah satu fotonya dan tugu yang sangat ingin saya jumpai sejak awal perjalanan ini. Satu hal yang membuat saya miris adalah,sebagian besar permuka'anya telah dikotori oleh tangan-tangan penganut budaya vandalisme, dan dilakukan oleh orang-orang yang katanya pecinta alam.

Soe Hok Gie diatas Tugu Triangulasi pada tahun 1967

Kami dengan latar belakang Tugu Triangulasi


Disa’at yang lain berteriak meluapkan kegembira’annya,saya lebih memilih diam. Meresapi dinginya angin yang berhembus,menghirup harumnya udara yang membawa wangi bunga abadi. Saya biarkan semuanya menyusup dalam melalui pori-pori,meresap turun kerongga dada hingga ke inti hati. Dan syukur terus terucap tanpa saya sadari.

Tidak lama berselang,langit mulai terlihat terang. Kabut dan awan berangkulan membentuk permadani sutera yang membentang menutupi puncak-puncak gunung yang terlihat dihadapan kami. Perlahan semburat jingga merayap mewarnai cakrawala yang tidak lagi begitu gelap,diikuti rentetan warna lain yang terus mengisi,melengkapi dan memenuhi bentangan kanvas agung yang berada dihadapan kami. Tanpa kami sadari,sinar hangat mentari sudah menyirami tempat kami bereksistensi,dan niat mengunjungi Lembah Mandalawangi pun urung terlaksana,karena bekal makanan yang harusnya kami bawa malah tertinggal di tenda. Bukan Cuma bekal yang tertinggal,kondisi Ambon yang sudah sangat letih pun menjadi pertimbangan kami. Dan kamipun memutuskan untuk kembali turun. Mandalawangi,tunggu kami dilain hari….



Penampakan permadani sutera yang saya maksud

Membelah rimba dibawah sinar bulan
Meniti dan menyelinapi bebatuan
Terhunus tajamnya dingin hingga belulang
Tetap melangkah mengejar mahakarya Tuhan

Do’a,zirah terkuat yang melekat
Jabat teman,jubah hangat penepis kabut yang menyergap
Semangat,cemeti pamungkas ketika tekad mulai meratap
Karena kami yakin,segala peluh akan lenyap di puncak

Dalam dekapan halimun yang menggulung
Surya terus mengendap dibalik punggung
Awan gemawan siap berkonfigurasi menjadi sutera mengapung
Mengiringi fajar yang akan melukis warna agung

Disini,diketinggian 3.019 meter diatas permuka’an laut
Jiwa kami dan alam berpagut
Didepan bentangan horison merona jingga
Dan bayu yang keras menerpa muka
Segumpal darah di dada,merapal nama Yang Maha Pencipta


Perjalanan yang berkesan,pengalaman yang akan tetap saya kenang,,,terimakasih Tuhan,telah mengijinkan alam Mu menerima kami menyaksikan salah satu mahakarya Mu,,,terimakasih kawan seperjalanan,yang mengajarkan saya lebih mengenal alam,,,terimakasih Soe Hok Gie yang telah memberi saya inspirasi,,,terimakasih juga untuk  Red Jumpsuit Apparatus,yang menemani saya menuangkan cerita bersama tim yang luar biasa…terimakasih…

selesai

@doel_12