Rabu, 16 September 2015

"Tempus fugit, non autem memoria"

"Time flies, but not memory". Kira-kira seperti itu arti judul di atas, sebaris kalimat yang gue kutip dari salah satu bab novelnya Ika Natassa. Yup… waktu memang boleh saja terbang, karena itu adalah sebuah keniscayaan, waktu memang terus pergi menghilang tanpa harus menunggu seseorang dan itu adalah sebuah keharusan, tapi tidak untuk kenangan. Kenangan tetap tinggal dalam ingatan, peduli itu manis, getir atau bahkan pahit. Dan kali ini gue akan coba berbagi tentang itu, di sini. Tentang tongkrongan teman kerja yang kalau jam istirahat tiba, hobinya ngopi dan ngerokok sambil memaki satu sama lain, tapi justru dari sanalah rasa kekeluargaan ini terjalin.



Sebelumnya gue mau tegaskan, kalau semua yang gue tulis di sini adalah murni dari sudut pandang gue, hasil inkubasi dari subjektifitas yang gue lihat, amati dan alami sendiri. Jadi, kalau ada yang merasa tidak berkenan, ya maaf, kalian memang seperti itu di mata gue. So, fasten your seatbelt first, felas

Dimulai dari Om BJ a.k.a Bang John, dia adalah “AKTOR INTELEKTUAL di tongkrongan, penuh “SOLIDARITAS” dan “MANUSIAWI”. Orang yang bikin “ATMOSPHERE NGEBLUES” dengan lagu yang musiknya “NGGAK ROCK AND ROLL” dari hand phone miliknya yang sering dia putar. Jangan belaga songong dah di depan dia kalo enggak mau dibilang “KAMPUNGAN”. Dia orangnya “SLOW BUT SURE” “MEMANG”, tapi kadang keras kaya “KARANG” soalnya dia salah satu “GENERASI BIROE”. Jadi kalo dia minta “KOPI AIR HUJAN” ya “LO HARUS GRAK”, sambil bawa “H.A.M.BURGER kalo bisa, dan lo nggak mau kan “JAKARTA MELEDAK LAGI” cuma “GARA-GARA KAMU” “SALAH” akan sesuatu yang harusnya bisa di “TOLERIR”. Tapi dia enggak “SELALU BEGITU” kok kalo lagi “BREAK”, jadi semuanya ya “NGGAK PERLU” “JADI MASALAH” dan ngerasa “SERBA SALAH”. Yang pasti Om BJ bikin gue nostalgia lagi sama SLANK, band yang gue suka dari masih “BOCAH”, tapi mulai “KALAH” dan terlupakan ketika gue mulai suka sama Billie Joe Armstrong “AN+-=-‘~>”.  Pokoknya ngopi sambil nge”GOSIP JALANAN” bareng Om BJ, “TERLALU MANIS” untuk dilupakan. Kalo gue ada salah-salah kata dan kelakuan, “MAAFKAN” ya Om BJ, “JUST KIDDING” :D.



Ada yang pernah nonton film Green Street Hooligan? Nah, karakter Bovver di film tersebut sedikit mirip sama Om Wainx Jagger. Agak keras dan enggak gampang nerima orang baru, tapi setelah kenal deket sama orang yang satu ini, lo bakalan betah ngobrol lama sama dia. Wawasannya luas, mau ngobrol apa aja bakal nyambung dan dijabanin sama dia. Mau bahas sepakbola? Doski faham, terlebih lagi kalo soal Manchester United. Ngobrolin musik apalagi, dari nama belakangnya yang pake “jagger” aja udah jelas kalau dia itu penganut ortodoks group musik kawakan, Soneta. Iye iyeeee… bukan Soneta tapi Batu Berguling alias "Rolling Stones." Pokoknya doski ngerock abis dah, walaupun gue sempet kaget pas dia bawain lagunya Pitbull waktu karaokean bareng di villa. Biar kata “Brandy Brain”, dia itu representasi nyata dari lagu “Papa Rock n Roll” yang dibawain The Dance Company, yup…dia rocker yang sayang keluarga, terutama sama Revina, putri pertamanya. You’re so amazing, Om.

Selanjutnya, Wien Danny Ariga. Si bangsat Interisti yang ganteng ini adalah kawan seperjuangan gue di tempat kerja, pasalnya mulai dari test sampai hari pertama kerja, gue barengan sama dia. Hari-hari pertama kerja, seringnya gue cuma berdua sama dia kalau istirahat, dengan catatan kalau gue istirahat enggak rollingan hahaha. Dia sedikit lebih beruntung dari gue karena punya partner kerja laki-laki yang bisa diajak ngobrol dan ngerokok bareng, beda sama partner kerja gue yang semuanya perempuan sebelum akhirnya gue tersisih dan pindah bagian bareng Ridwan. Wien Danny yang akrab dipanggil dengan sebutan Way ini adalah orang yang pertama kali ngenalin gue sama group band asal Jepang, One OK Rock. Dan orang yang selalu membangga-banggakan treble-nya Inter merda ini sebenarnya adalah mahasiswa teknik tingkat akhir di salah satu Universitas ternama, entahlah dia lebih memilih bekerja dan menunda wisuda.

Kalau acara Spontan yang dulu Uhuuuy itu punya Komeng, tongkrongan kami punya Ali, orang yang enggak pernah kalah kalau lagi maen cengan. Jangan ngomong macem-macem di depan Ali kalau enggak mau abis diledekin gara-gara omongan lo sendiri. Tapi memang benar kata pepatah “sepandai-pandainya tupai melompat, suatu saat pasti akan jatuh juga”, enggak jauh beda sama Ali yang pernah dibilang “goblok” sama Bos Bombom, cuma karena Ali enggak suka makan durian wekawekawekaweka.

What a fucking shit…tiba-tiba gue nge-blank pas mau nulis tentang Bang Udin. Orang Priok yang satu ini emang yang paling ajaib di tongkrongan. Biar kata gigi depannya hilang satu hingga membuat lubang ompong menganga kurang ajar di antara deretan giginya, tapi dia paling suka nyengir. Pokoknya diapain aja Bang Udin bakalan nyengir, dibilangin baik-baik dia nyengir, dijelasin pelan-pelan dia nyengir, diledekin dia nyengir, dimarahin dia nyengir, dicengirin dia nyanyi “Kursi Pelaminan Biru”nya Caca Handika…laaaaaah.


Supri dan Jessen, dua orang yang kalau lagi main catur neriakin semua jenis binatang. Dari yang besar sampai yang kecil, dari yang hallalan toyiba sampai haram zadah, dari dinosaurus sampe amoeba, dari ayam sampe anjing dan babi. Jangan deket-deket kalau mereka berdua lagi main catur, kecuali lo punya baja pelindung yang ada di motornya Ksatria Baja Hitam. Chaos abis dah pokoknya, berbahaya untuk anak di bawah umur tanpa didampingi orang tua. Sayangnya, Jessen yang statusnya sudah karyawan tetap harus rela mengundurkan diri karena ulah bangsat yang tidak tahu adat. Satu pesen gue ke lo Jes, pokoknya lo harus tetep "don’t afternoon". Kalo buat Supri sih, sering-sering aja diangkat jadi kartap, biar sering jadi donatur senang-senang juga hahaha.

Sebenarnya masih banyak yang mau gue tulis di sini, seperti Feri Dheyeng, senior pertama yang ngajarin gue gimana caranya kerja dan kabur buat ngopi. Dede konde, anggota kelompok sindikat korek api, penjaga gawang andalan kalo lagi maen futsal. Tri Hari Ganang, anak gunung yang suka rame tapi sering enggak jelas juga kalo lagi di tongkrongan. Ojlo alias Ahmad Fabregas yang nyeletuknya sesekali doang, soalnya repot sama game-nya. Terus Ridwan, partner gue yang sering gue tinggalin madol, satu-satunya orang yang berani bentak-bentak Om Wainx dan mau nyeburin Om BJ, sekarang percaya kan apa kata Kaka Slank di lagu Bali Bagus?! Ada juga Eko, fans MU yang satu ini juga tau banyak hal, jadi enak-enak aja kalo ngobrol sama dia, bisa nambah wawasan, sama nambah bahan tertawaan perihal yang punya toket gede hahaha. Pak Edi yang masih punya koleksi lagu-lagu Rock Malaysia di HP nya, winduuuuu…windu sewindu windunyaaaa, tapi kau tak pewnah mengewti (vocalist nya enggak bisa bilang R). Buat Imam sama Elvan, tolong ingetin Priyo, biar enggak masuk dalam retribusi daerah, pajak jadian tetep wajib dibayar, tapi jangan pake jasa Mang Kehed, calo dari segala calo. Enggak ada habisnya kalau bercerita tentang kalian, pokoknya kalian keren lah.



Maybe we were born to be losers, but we are the losers who shout no surrender. Di dalam gedung itu mungkin kita memang seorang pecundang, entah itu dipecundangi oleh otoritas waktu, kompleksitas system , atau ketetapan Bapak yang selama ini kita sebut sebagai “pimpinan”. Tapi, bukan berarti kita menyerah begitu saja, karena di sana juga kita gantungkan harapan, dan harapan tersebut adalah alasan untuk sebuah perjuangan. Caranyapun beragam, mulai dari yang banting tulang sampai yang santai hingga masuk ketinggalan, bisa juga istirahat rollingan demi deretan angka yang tertera pada selembar kertas di akhir bulan, atau bekerja sewajarnya manusia bekerja tanpa melewatkan hangatnya suasana kekeluargaan ketika harum kopi Mamang meruap di pagi hari dari trotoar jalan, tanpa mengacuhkan kebersamaan di depan parkiran, saat gorengan Bang Kumis menemani obrolan setelah seharian diperah dalam ruang putih nan dingin tapi tetap bikin keringatan. Semuanya sah-sah saja, tapi selalu ada konsekuensi dalam setiap pilihan. Dari sanalah titik awal yang menyatukan kita, menumbuhkan rasa yang sama, rasa kekeluargaan hingga lengan waktu ‘tak mampu merenggutnya.

Ketika waktu gue telah tiba untuk menarik diri dari hingar bingar dunia kerja kalian, gue memang memilih untuk tidak menjabat satu persatu setiap individu yang ada di dalam sana untuk mengucapkan kata perpisahan. Bukan bermaksud untuk bersikap tidak sopan, akan tetapi buat kalian yang menganggap gue pernah ada, pernah beririsan dengan kalian, gue enggak pergi kemana-mana, gue masih ada dan enggak pulang kampung ke Jawa (siapa juga yang mau terima gue di sana?!). Gue akan berusaha untuk tetap datang bermain futsal pada hari selasa, jika diundang. Sekalian bayar hutang pulsa sama Wien Danny Ariga.

Gue dan orang-orang yang sudah tidak lagi mengopi dan saling memaki di tongkrongan bersama kalian, masih akan merasa kalau kalian adalah keluarga, meski tidak lagi bekerja dalam satu ruangan yang sama. Karena keluarga bukan untuk mereka yang bertemu setiap hari, tapi untuk mereka yang mau berbagi tawa, canda dan rangkulan hangat di setiap jumpa lagi dan lagi.


"Time flies, but not memory"
"Famiglia, per sempre sara"
@doel_12

Minggu, 26 April 2015

Nge-trip ke Gunung Lembu



Tambun, 21 Maret 2015

Jalan yang basah, berkat sisa hujan semalam  masih menghiasi wajah Kota Tambun di pagi hari ini. Tepat di sebelah area Gedung Juang, yang bangunannya kian tampak renta, tersuruk-suruk mengejar laju pembangunan di sekitarnya, gue menitipkan sepeda motor gue di salah satu penitipan yang letaknya juga tidak jauh dari Pasar Tambun.

Stasiun Kereta Tambun dan jam 9 pagi adalah tempat dan waktu meeting point yang telah ditentukan. Sementara itu, jarum arloji gue menunjukan jam 9 lewat 10 menit. Alih-alih berjalan tergesa dan khawatir terlambat, gue malah agak sedikit santai menyikapinya. Karena berdasarkan pengalaman, janjian sama Ikhwan Nurrifa’i itu jarang banget on time-nya, ditambah lagi, dalam perjalanan kali ini, gue dan Yofan ikut teman-temannya ketika Ia kuliah dulu (yaelah temen kuliah dulu,kesannya udah lama banget lulusnya, noda briketnya aja masih belom ilang tuh di lantai depan rumah :p ). Dan benar saja, tidak jauh dari tempat gue menitipkan sepeda motor, Ikhwan dan Yofan terlihat sedang membereskan barang bawaan mereka. Dan akhirnya kamipun jalan kaki bersama menuju tempat yang telah ditentukan.

Sesampainya di Stasiun Tambun, ternyata ada dua orang anggota rombongan yang sedang menunggu kedatangan yang lainnya (nah kan genengan baru 2 orang, jangan takut telat dah kalo janjian sama Ikhwan mah ). Hanif dan Muni, sepasang muda-mudi yang pada awalnya gue kira mereka itu pacaran, tapi menurut pengakuan Hanif, kalo Muni,gadis mungil nan imut itu adalah adik dari temannya, atau teman dari adiknya, atau teman dari kawan temennya, jiah jadi ribet kan. Ya intinya mereka enggak pacaran (katanyaaaa…) and yup…you have a chance to flirt her, Yofan ( (yah kok malah ngegosip?!). Kembali ke topik, cukup lama kami berbincang dan bersenda gurau guna mengakrabkan diri dengan Hanif dan Muni (khususnya buat gue dan Yofan). Selang beberapa saat,setelah dua orang waria berbaju hitam dan oranye melintas untuk yang kesekian kalinya, akhirnya akamsi-nya Stasiun Tambun, Andre “Dwayne Jhonson” Koto, datang bersama pemuda yang sebut saja dia dengan panggilan Lae. Suasana tambah ramai berkat kehadiran dua orang ini, sambil menanyakan keberadaan wahyu dan Wawo, Lae membuka bekal nasi bungkus yang dia bawa dan habis dalam waktu beberapa menit saja, karena yang bantuin makan banyak,termasuk gue :D.

Sekitar jam 11 kami bersiap untuk berangkat. Ketika kami sedang berjalan menuju peron, Wahyu dan Wawo baru datang dan segera menghampiri kami untuk bergabung. Perihal keterlambatan mereka, Wahyu menjelaskan kalau ternyata dia sempat tersasar dengan orang yang katanya sudah khatam jalur Pantura, yup…siapa lagi orangnya kalau bukan Den Wawo. Kali pertama gue melihat Wawo yang datang dengan hanya mengenakan tas selempang, gue langsung berbisik ke Yofan, “kayaknya cuma kita deh, Fan yang semalem sok banget ribet masalah persiapan”, dan kemudian gue langsung berfikir, “mungkin begini kalau nge-trip bareng para expert.” Tidak lama setelah kedatangan mereka, akhirnya keretapun tiba. Tanpa buang waktu, kamipun bergerak memasuki gerbong kereta yang akan mengantar kami ke Purwakarta. Sedangkan Angga dan Ratna sudah berada didalamnya.

Dikarenakan Stasiun Tambun adalah stasiun yang untuk kesekian kalinya disambangi oleh kereta ini setelah stasiun-stasiun kereta sebelumnya dalam satu kali perjalanan, terdamparlah kami di sudut gerbong, berdiri karena tidak kebagian kursi. Akan tetapi, itu tidak membuat kami kehilangan keceriaan. Lae contohnya, yang enggan beranjak karena sedang mencuri-curi pandang dengan perempuan yang duduknya berhadapan dari tempat dia berdiri sambil senyum-senyum cari perhatian. Sebenarnya, Wahyu berdiri tidak jauh dari Lae, but  Wahyu is one of the cool men that I’ve ever known. Lain lagi dengan Ikwan, yang sibuk bertanya kepada Wawo tentang bisnisnya yang (mungkin juga) kelak bisa membawanya naik haji. Lalu Koto yang asyik mengobrol dengan koleganya. Sedangkan gue,cukup mengobrol dan bercanda dengan Yofan, ditemani dengan suara Morita Taka nya One Ok Rock dari headset telpon genggam miliknya. Padahal mah ya, ora ngerti lagune, ora ngerti syaire,sing penting aku joget ae…poko’e joget…halah. Untuk Hanif dan Muni, mereka terpisah dengan kami (yakin cuma adik dari temannya, atau teman dari adiknya, atau teman dari kawan temennya ???) yah kok malah belibet dan gosip lagi sih ?!

Gue selalu percaya, bahwa setiap perjalanan yang dilakukan bersama teman-teman selalu mempunyai kesan. Termasuk perjalanan kami ketika berangkat ini, perjalanan yang harga tiketnya hanya dibandrol 3.000 rupiah. Harga yang membuat Yofan terheran-heran selama berada dalam buai lantunan kereta (sok kaya lo, Fan :p).

Sekitar pukul 1, laju kereta berangsur-angsur melambat dan akhirnya berhenti di Stasiun Purwakarta.

Purwakarta, 21 Maret 2015

Terik pijar mentari menerpa wajah-wajah para penumpang kereta yang baru saja turun dan sedang berjalan di peron Stasiun. Sementara awan mendung yang gelap menggantung di bagian langit Purwakarta lainnya, berkoloni dan terus mendesak, coba mengusir pergi sinar mentari di atas tempat kami berdiri.

Bergabungnya Angga dan Ratna, membuat anggota gerombolan ini lengkap sudah. Sebelum melanjutkan perjalan, kami beristirahat sejenak sambil merapikan barang bawaan kami masing-masing di depan sebuah masjid yang pintunya terkunci, hingga membuat niat Hanif, Ikhwan dan yang lainnya urung melaksanakan shalat dzuhur di tempat ini. Aneh, tempat ibadah kok dikunci ? kayak hati kamu aja, iyaaa kamu… (basi+garing  ya ? bagen :P)

Semenjak keluar dari pintu stasiun, seorang sopir angkot menawarkan jasanya untuk mengantar kami ke tempat tujuan kami, Gunung Lembu, hingga Ia rela menunggu kami selesai berkemas. Pasalnya, bukan hanya dia yang menawarkan kepada kami hal yang serupa. Setelah merasa sudah cukup beristirahat, Koto menghampiri si sopir untuk menego harga. Harga awal yang ditawarkan si sopir adalah Rp. 250.000, akan tetapi berkat kegemilangan Koto spik, harga akhir yang disepakati adalah Rp. 210.000, sudah termasuk biaya tali rafia untuk mengikat carrier di atap mobil. :D

Daaaan berangkaaaaat….

Tidak terlalu jauh dari titik awal keberangkatan, rinai hujan mengarsis pandangan kami akan kota ini, mengiringi canda dan tawa yang tercurah begitu saja. Meski kondisi Angga sedang tidak terlalu fit, bukan halangan baginya untuk ikut berceloteh menimpali candaan Ikhwan, Koto, Hanif dan yang lainnya. Di tengah perjalanan, kami sempat berhenti 2 kali untuk membeli kebutuhan logistik nanti. Semuanya memang terasa begitu mendadak, spontan, tanpa persiapan dan terkesan meng-gampang-kan, tapi berjalan sesuai keinginan. Satu hal lagi yang gue pelajari dari nge-trip bareng para expert. Pelajaran penting buat rookie macam gue ini. :D

Sekitar jam setengah 4, akhirnya kami tiba dengan penuh pesona di depan pintu masuk pendakian, bersama bulir-bulir gerimis yang bergelayut mesra di tubuh kami. Sebelum memulai pendakian, kami sepakat untuk beristirahat terlebih dahulu sambil (kembali) membereskan barang bawaan yang kini bertambah banyak karena ditambah dengan kebutuhan logistic yang baru saja dibeli juga sepasang sandal jepit yang sebenarnya tidak pernah dipakai oleh si empunya selama pendakian.

“Logistic?"
"Checked, Captain!”
“Packing?"
"Well done, My lord!”
“Ayolah berangkat!” ajak Lae seraya mengangkat ranselnya dengan penuh semangat. Ternyata eh ternyata, Koto dan yang lainnya terlihat sedang menyantap mie instant di warung depan. Bukan iri atau enggak kreatif, akan tetapi ketika produksi kelenjar ludah tiba-tiba meningkat pesat dan sistem metabolisme meresponnya dengan tepat, terjalinlah chemistry yang mampu menggetarkan lidah untuk menghasilkan suara “Bu, mie rebus pake nasi, jangan lupa caosnya. Demi kemaslahatan umat.”

Setelah santap sore, barulah kami memulai pendakian diawali oleh ritual doa bersama dengan membentuk lingkaran dan masih ditemani gerimis tipis.


Awal pendakian, kami berjalan bersama, akan tetapi setelah beberapa lama kami seperti terpisah menjadi 2 kelompok. Kelompok yang  berada di depan terdiri dari Lae yang memimpin di depan, di susul oleh Ratna, Muni, Yofan dan gue. Sedangkan sisanya berada di belakang kami. Track yang tingkat kemiringannya cukup menanjak ditambah dengan lumpur karena siraman air hujan sebelumnya, sementara gerimis masih saja setia menemani, membuat gue perlu berusaha lebih keras untuk tidak terpeleset karena track yang cukup licin ini. Seperti yang dialami oleh Ratna, yang beberapa kali tergelincir, begitu juga dengan Muni yang nampaknya agak iri ketika melihat Ratna berteriak saat pijakan kakinya membuat ia terpaksa terduduk, hingga terjadilah saling balas teriakan antara Ratna dan Muni seperti sedang berada dalam wahana permainan. The real men are not for them who use three pedals, but for men who be ready to help and raise up a woman when she fall down, hal ini lah yang dilakukan Lae dan Yofan pada saat itu. Awesome…

Ketika kami tiba di suatu tempat yang agak lapang dan datar, kami melihat pendaki lain sedang beristirahat di sebuah saung kecil yang terdapat di sana, kamipun memutuskan untuk beristirahat. Di tempat ini Ikhwan bercerita kalau Ia dan Wahyu juga sempat tergelincir pada awal pendakian tadi. Saat- saat seperti inilah waktu yang tepat untuk meneriakan kata ”bikirlih”. Dan segumpal asap pun mengepul dari sebatang Dji Sam Soe kretek yang gue hisap.  Tidak terlalu lama kami berdiam diri di sini, selain hari yang sudah mulai gelap, juga nyamuk-nyamuk yang menghisap darah dengan lahap menjadi alasan kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Sementara hari semakin meremang menyambut malam yang tidak lama lagi akan menjemputnya dengan tenang, memeluk hutan-hutan yang sedang kami lintasi dengan gelapnya yang menghitam. Berbekal beberapa lampu senter, kami terus melangkah menembus gelapnya hutan, diisi dengan canda dan obrolan yang menyenangkan, diselingi dengan seruan peringatan ketika sedang melintasi sisi jurang, juga menjabat tangan teman yang butuh bantuan ketika harus melewati terjalnya bebatuan. Buat gue, inilah esensi dari sebuah pendakian. (halah bahasanya).

Setelah beberapa kali beristirahat, akhirnya kami sampai juga di puncak. Menyusul Hanif, Yofan dan Angga yang sudah terlebih dahulu tiba dan sedang mendirikan tenda. Dengan segera, kamipun mengeluarkan dua tenda yang masih tersimpan di ransel yang kami bawa. Tidak lama berselang setelah semua tenda terpasang, aroma kopi meruap di antara obrolan kami yang sedang menemani Angga memasak nasi. Waktu yang dibutuhkan tidak banyak untuk menghabiskan nasi goreng sosis a la  Angga yang baru saja selesai dimasak. Dan percayalah, ini nasi goreng yang paling enak yang pernah gue makan selama pengalaman gue naik gunung (yang sebenarnya memang baru beberapa kali hehehe). Perut yang sudah tentram, damai dan sentosa setelah di isi membuat mata malas untuk melek lagi. Gue,Yofan dan Ikhwan pamit untuk pergi ke tenda terlebih dahulu meninggalkan yang lainnya, disusul oleh Wawo tidak lama kemudian.

Rencana untuk tidur nyenyak dan bangun dengan tenang di pagi haripun bubar jalan, ketika rombongan yang tendanya tepat berada di depan kami baru saja datang dari tempat yang biasa di sebut “batu”. Tempat yang akan kami datangi esok pagi menanti mentari terbit mengawali hari. Ikhwan dan Yofan yang tidak bisa tertidur karena terganggu berisiknya mereka akhirnya mengajak gue untuk menuju “batu” saat itu juga. Awalnya gue malas dan memilih untuk tinggal saja di tenda, akan tetapi tanpa adanya mereka gue bisa mati gaya kalo hanya mendengar dengkuran Wawo yang tertidur seperti tidak merasa terganggu apa-apa. Bergabunglah gue dengan kedua cecunguk itu.

Sekitar pukul 1 dini hari kami berangkat menuju tempat yang letaknya ternyata berada di bawah dan tidak begitu jauh dari tempat kami mendirikan tenda. Hanya membutuhkan waktu sekitar 10-15 menit untuk mencapainya. Sesampainya di sana kami disuguhi oleh view yang memanjakan mata, di mana kilauan bintang bertebaran menghiasi lansekap langit, yang cahayanya juga dipantulkan oleh wajah waduk yang berada dibawahnya diselingi oleh hamparan lampu-lampu keramba yang mengapung. Lampu-lampu Kota Purwakarta yang tidak mau kehilangan pesona membuat tempat ini kian sempurna. So sexy…jauh lebih sexy jika dibandingkan dengan tingkah Tata Young di video klip Sexy, naughty, bitchy :D.

Angin yang sesekali berhembus kencang menemani kami bertiga yang berbincang sambil menikmati pemandangan alam. Entah dari mana mulainya, obrolan yang semula hanya candaan tiba menjadi ajang tukar pikiran, cerita tentang rencana hidup dan harapan yang belum kesampaian, saling memberi saran juga saling menguatkan, meski tidak jarang dibarengi dengan ejekan. Hal yang belum tentu kami dapatkan dari seminarnya Om Mario Teguh, juga belum tentu ada di dalam buku-bukunya Sigmund Freud :D. Kami memutuskan untuk kembali ke tenda karena mata sudah sangat lelah dan dingin mulai menginfeksi udara. Dan kamipun tertidur sesampainya di dalam tenda.


Gunung Lembu, 22 Maret 2015

“Woy, Nyet bangun lo.” Terdengar suara Yofan yang sedang membangunkan gue sambil mendorong-dorong tubuh gue yang sedang tertidur. Meski sedikit malas, gue paksakan untuk bangun dan bergabung dengan yang lainnya. Kembali gue menuruni jalan yang tadi malam gue lalui bertiga, hingga akhirnya kami tiba dan ternyata sudah cukup banyak pendaki yang sampai lebih dulu di tempat ini. Hari masih pagi, sambil menanti mentari pagi menyinari, kami berfoto ria dengan latar belakang Waduk Jatiluhur, Purwakarta.

Perlahan titik merah terlihat menyebarkan semburat jingga, diikuti sinar menguning, melukis mega yang diterpa sinarnya di balik sebuah gunung yang berada di hadapan kami. Selagi gue menikmati prosesi ini, Yofan yang berada di sisi kiri gue sepertti sedang bersembunyi. Gue yang merasa terganggu, langsung bertanya ke dia, “lo kenape sih, Nying? Mepet-mepet gue enggak jelas gini.” Dan diapun menjawab, “ssssst…gue mau moto yang lagi ada di samping Hanif nih.” (gotcha… I’ve told about it before, right?! :D) Buat yang ikut dalam perjalanan ini pasti tau siapa orangnya yang sering berada di sekitar Hanif. Tanpa terasa, matahari semakin tinggi dan kami harus kembali. Terimakasih  Ikhwan, yang sudah memberikan gue kesempatan ikut bersama teman-teman lo yang luar biasa, keren, incredible, cool, awesome dan ancur :D.

Minggu yang sempurna, melakukan perjalanan yang menyenangkan, ditutup dengan melihat keindahan alam bersama teman-teman dan menjadi semakin sempurna ketika gue tau kalau Liverpool kalah lawan Emyu, karena gue lebih memilih menonton Juve yang mengalahkan Genoa berkat goalnya Carlos Tevez di menit 25. Benar-benar minggu yang sangat sempurna, bukan begitu Ikhwan? Yofan? :D

Amicizia, storia di un grande amore. Grazie…

@doel_12








Minggu, 08 Februari 2015

Peri


Pastinya, kau sedang dibuai mimpi ketika kutulis ini,
Meluruhkan lelah yang merangkul di sepanjang hari
Sehabis meleburkan jiwa, meletupkan tawa, melupakan diri dari segala
Membaurkan diri dengan para peri, dan kau salah satunya

Tidurlah yang lelap
Reguk haus mimpimu bersama rinai hujan yang berderap
Terpejamlah dengan tenang
Selami sejuknya telaga imaji yang 'tak terbatas ruang

Tentunya, kau sedang terbebas dari dunia materi ketika kurasakan ini
Rasa yang mengalun beriring hujan menggulung embun
Rindu yang sukar ku ungkap meski kuat mendesak
Membuat degup, detak dan gerak 'tak lagi tertata, terserak

Aku yang masih terjaga
Menyerahkan jemari, hati dan jiwa
Dituntun remang malam menuju kecupan pagi
Dirasuki dingin jutaan benang perak yang mencadari mentari

Pastinya kau sedang terlelap dan bermimpi
Ketika kutulis dan rasakan ini, wahai peri

"Buon dormire"

@doel_12