Pada suatu sore, di balik bukit Akasha. Mereka masih duduk bersama menatapi senja yang mulai
memudar, hanya mereka berdua dan rahasia yang mereka genggam erat, seerat
rangkulan perasaan yang merapatkan hati mereka berdua. Di balik bukit Akasha
inilah tempat mereka, Putri Champa Gandhali dan Wagma Waradhana, bertemu
menghabiskan waktu, membahasakan senja yang perlahan berlalu, meredakan rindu
yang menggebu, tanpa ada orang lain yang tahu.
Sambil menengadah, Putri Champa
Gandhali berucap, “Saat ini aku sedang duduk di antara dua lingkar cahaya, yang
satu ronanya meredup dan satunya lagi sinarnya teduh memeluk. Jingga senja
menarik diri di balik punggung dan teduh rembulan berkerudung malam bermanik
bintang di depan pandang. Akan tetapi, segalanya tak akan berarti tanpa kamu
ada di sisi.”
Wagma Waradhana menatap wajah
kekasihnya tercinta, ketika tatap mereka bersua lantas Ia berkata, “Dinda,
bersama kita sambut malam, menaut rasa yang tersulam dengan tangan yang
bergandengan dan mata saling pandang.” Seulas senyum menghiasi wajah Wagma
Waradhana guna menutupi kegusaran yang ada di hatinya. Ia sadar, betapapun
mereka saling mencintai, betapapun besar rasa sayang itu, keraguan tidak pernah
enyah menyelimuti hatinya. Kasta adalah jurang luas dan dalam yang harus Ia
lompati dan adat adalah jutaan lapis tembok tebal yang harus Ia robohkan
sedangkan cinta adalah zirah yang ia kenakan untuk melewati semuanya.
Ingatannya kembali terlempar ke
kejadian beberapa bulan yang lalu, Ketika itu Wagma Waradhana sedang membantu
ayahnya yang bekerja sebagai seorang tukang kebun kerajaan dan melihat Putri
Champa Gandhali terpontang-panting di atas kuda yang ia naiki di halaman
belakang istana. Seperti roman-roman picisan lainnya, Ia lah yang menolong
Putri Champa Gandhali yang kemudian jatuh cinta pada kecantikan wajahnya, manis
senyumnya dan lembut tatap matanya. Begitupun sebaliknya, wajah tampan meski
kulit agak gelap, dada bidang dan tubuh kekar Wagma Waradhana mampu
menggetarkan dawai-dawai rasa yang kemudian mengalunkan nada-nada cinta di
dalam dada Putri Champa Gandhali. Semenjak kejadian itu, mereka semakin sering
bertemu, seiring berjalannya waktu mereka sadar, bahwa cinta telah tumbuh dan
mengakar.
“Kanda..Kanda…” panggil Putri
Champa Gandhali menyadarkan Wagma Waradhana dari lamunannya. “Apa yang sedang Kanda pikirkan?” tanyanya.
“Kita, cinta kita” jawab Wagma
waradhana. “Hari sudah mulai gelap Dinda, mari kita pulang, sebelum seisi
istana mencarimu dan menemukan kita berdua.” Ajak Wagma Waradhana. Dalam
hatinya Ia berkata, “malam yang datangnya lebih awal, atahu senja yang pergi
terlalu tergesa, hingga aku tak sempat mengatakan semuanya, Dinda?!”
“Aku sudah minta izin ke ayah
untuk mencari kupu-kupu di balik bukit Akasha.” Balas Putri Champa Gandhali.
“Apakah kanda menyesal akan rasa ini?” sambungnya.
“Penyesalan hanya diucapkan oleh
seorang pecundang, Dinda, dan aku bukan salah satunya.” Jawabnya dengan tegas.
“Iya, akulah pecundang itu,
pecundang yang begitu takut kehilanganmu, sampai-sampai harus merahasiakan
semua perjumpaan kita. Kanda, aku cinta kamu bukan karena sumpah seperti yang
diucapkan Dayang Sumbi ketika alat pintalnya jatuh, aku cinta kamu bukan karena
netra belaka.” Ucap Putri Champa Gandhali sambil berdiri dan bersiap untuk
pergi.
Wagma Waradhana ikut berdiri dan
memeluk Putri Champa Gandhali sambil berbisik, “Aku tahu, Dinda, kita berdua
menyadarinya, untuk saat ini kita arungi sebisa yang kita mampu, akupun tak
ingin bahtera cinta kita kandas berlabuh sebelum kita melempar sauh di pantai
indah nan teduh yang kita tuju.” Ciuman lembut mendarat di bibir Putri Champa
Gandhali.
“Bahasamu tidak sesuai dengan
ukuran anak seorang tukang kebun.”
Wagma Waradhana hanya tersenyum
mendengar ucapan Putri Champa Gandhali dan kembalilah mereka berdua ke istana.
Tanpa mereka sadari, sepasang
mata prajurit suruhan Raja mengamati mereka berdua selama berada di balik bukit
Akasha.
Raja Dineschara Rayadinata begitu
geram ketika mendengar laporan dari prajurit suruhannya. Malam itu juga, Putri
Champa Gandhali dan Wagma Waradhana dipanggil untuk menghadapnya.
“Aku membesarkanmu dengan segenap
cinta yang kumiliki, kuturuti semua keinginanmu, Putriku. Tapi beginikah caramu
membalas semuanya? Aku sudah memilihkan lelaki untukmu, Adista Dhira, pangeran
dari kerajaan Alindra, bukan dengan anak tukang kebun seperti dia.” Hardik Raja
Dineschara Rayadinata. “Dan kamu, Wagma Waradhana, aku sudah berbaik hati
memperkerjakan ayahmu di istana, tugasmu membantunya membersihkan seluruh
halaman kerajaan, bukan malah menjalin kasih dengan putriku. Kamu harusnya tahu
siapa kamu dan di mana drajatmu berada.”
Mendengar amukan Raja, sepasang
kekasih itu tertunduk. Sambil tersedu, Putri Champa Gandhali berkata kepada
Raja. “Ayahanda, bukan inginku menafikan semua kebaikan yang telah ayahanda
curahkan kepadaku, tidak pernah sedikitpun terbersit untuk mengecewakan
harapanmu, maafkan aku yang tidak mampu melawan perasaan yang aku kultuskan.
Maafkan aku yang akan menolak laki-laki yang kamu pilihkan. Aku harap kamu
mengerti, cintaku ini tidak akan aku beri kepada lelaki yang tidak aku cintai.”
“Jadi kamu lebih memilih
laki-laki tukang kebun ini?” Raja Dineschara Rayadinata murka.
Wagma Waradhana angkat bicara,
”Yang Mulia, maafkan atas kelancanganku, ini semua salahku, jangan pernah
salahkan putrimu sedikit pun, biar aku saja yang menanggung semuanya.”
“Iya, semuanya memang salahmu.
Aku tidak akan pernah menghukum putriku. Prajurit, panggil ayah pemuda tidak
tahu diuntung ini, sekarang juga.” Perintah Raja.
“Tidak, Ayahanda, ini salah kami
berdua, maka hukumlah kami berdua, dan tolong jangan bawa-bawa ayahnya ke dalam
masalah ini, beliau tidak tahu apa-apa.” Bujuk Putri kepada Raja.
“Yang Mulia, hukumlah aku
seberat-seberatnya, tapi jangan libatkan ayahku, hamba mohon, Yang Mulia.”
Pinta Wagma Waradhana.
Sesaat setelah ayah dari Wagma
Waradhana datang menghadap, Raja Dineschara Rayadinata mengucapkan titahnya,
“Prajurit, buang dan asingkan mereka ke atas gunung di perbatasan barat
kerajaan. Biarkan labirin pohon-pohon yang rapat memagari tempat pengasingan
mereka.”
Diseretlah mereka berdua menuju
pengasingan, dan Putri Champa Gandhali hanya tersedu melihat pemandangan yang
tak mengenakkan itu.
Seminggu
berlalu, di tengah malam yang pekat dan dingin yang begitu hebat, Putri Champa
Gandhali menyelinap keluar dari istana dengan mengenakan gaun putih dan dibalut
rapat jubah hitam menuju tempat pengasingan Wagma Waradhana dan Ayahnya.
Setelah berhari-hari berjalan, menembus hutan dan menanjaki gunung, tibalah
Putri Champa Gandhali di sebuah tanah lapang berselimut kabut tebal di kaki
gunung, dan di hadapannya terhampar deretan rapat pohon-pohon memagari, setiap
kali Ia mecoba untuk melewatinya, Ia akan kembali ke tempat yang sama, seperti
berjalan menyusuri labirin yang menyesatkan.
Nasib lebih buruk menimpa Wagma
Waradhana, 3 hari di masa pengasingan, ayahnya meninggal karena kelelahan dan
dingin meremuk tulang. Ratusan kali ia mencoba menembus deretan pohon yang
rapat memagarinya, ratusan kali pula Ia gagal melewatinya. Rasa sedih karena
ayahnya telah tiada dan kerinduan yang mendalam kepada Putri Champa Gandhali
menghancurkan hatinya.
Hari berganti dan minggu berlalu,
utusan Raja yang ditugaskan mencari Putri Champa Gandhali tidak berhasil
menemukannya karena kabut putih yang tebal kerap menutupi pandangan mereka.
Setiap kali senja tiba, kedua
anak manusia ini selalu duduk memandanginya, meski di tempat yang berbeda,
mereka serasa sedang bersama, memandang satu senja yang sama. Sesuatu yang
sering mereka lakukan ketika pedang takdir belum membelah jarak antara mereka
berdua.
“Di beranda jingga senja, aku
termangu di atas kursi cinta. Ditopang rasa percaya dan rindu di setiap
sisinya.” Gumam Wagma Waradhana di tempatnya bersandar pada batu besar.
Angin serta desau daun seperti
berbisik di telinga Putri Champa Gandhali, menyampaikan ucapan Wagma Waradhana
yang tengah merindunya.
“Di hadapan wajah senja yang
meremang, rindu termenung didekap gamang, berharap resah mengepakkan sayapnya
tuk menjauh terbang.” Balas Putri Champa Gandhali.
Entah bagaimana caranya, Wagma
Waradhana seperti menyadari keberadaan Putri Champa Gandhali di dekatnya. Dan
ia pun kembali berkata, “Ketika jingga senja bersandar manja di dada cakrawala,
ada rindu terselip di sana, menatap iba kepada pendamba jumpa, seperti kita,
Dinda.”
Putri Champa Gandhali yang
menggigil kedinginan dan kini terbaring lemas mengucapkan kata-kata
terakhirnya, “Senjanya sendu, seperti gebu rindu yang terbelenggu. Menanti temu
tanpa kepastian waktu dan hanya sisakan sedu menderu.” Dan Putri Champa
Gandhali menghembuskan nafas terakhirnya, terbaring dengan gaun putihnya di
tanah lapang yang berkabut dingin dan tebal. Di tempat Ia terbaring, tumbuhlah
bunga-bunga putih yang tak akan pernah layu, edelweiss, bunga abadi, untuk
mengenang keteguhan cintanya.
Malam mulai menjelang, Wagma
Waradhana tiba-tiba merasa hatinya sangat sepi dan gamang. Di tengah-tengah
kesendiriannya, seorang Dewi yang tersentuh karena kemurnian dan keteguhan
cinta Wagma Waradhana, datang menemuinya dan menceritakan apa yang terjadi
kepada Putri Champa Gandhali. Wagma Waradhana begitu terpukul mendengarnya dan
menangis sejadi-jadinya.
“Karena kemurnian hatimu dan
keteguhan cintamu, akan kukabulkan satu permintaanmu, tapi aku tak bisa
menghidupkan kembali kekasihmu.” Ucap Dewi tersebut.
Sambil tersedu, Wagma Waradhana
membisikan keinginannya kepada Dewi itu. Sang Dewi pun mengangguk dan terbang
ke angkasa. Cahaya yang keluar dari tangannya mengangkat tubuh Wagma Waradhana,
bersatu dengan sinar tersebut lantas membuncah menjadi butir-butir embun jatuh
memeluk bunga-bunga abadi jelmaan Putri Champa Gandhali.
Bagi para pendaki yang ingin ke
puncak Gunung Gede Pangrango dan melalu jalur Gunung Putri, mereka biasanya
mendirikan tenda di alun-alun Surya Kencana, ladang edelweiss, di bawah pucak
gunung Gede.
image by: google |
@doel_12