" Eh Doel, kapan - kapan kita naik gunung yuk, bosen nih maen ke taman terus ", kata Maria di tengah - tengah obrolan kami di Taman Suropati, Menteng. Pada awalnya saya sangsi, mengingat cuma saya dan dia yang pernah naik gunung. Belum lagi melihat ukuran badan Dewi yang bongsor ( jangan pernah bilang dia gemuk, kalau tidak mau muntah darah kena santet ), sisanya Ratih dan Ryan, yang juga belum pernah merasakan sensasi magis di tengah hutan. Setelah mereka meyakinkan saya, akhirnya mendaki masuk agenda kami.
Karena kesibukan kami masing - masing ( kecuali saya ), rencana mendakipun berdebu, 'tak tersentuh dalam beberapa purnama.Sampai pada akhirnya UAS pun selesai. Di sela - sela libur semester, kami yang memang biasa berkumpul untuk melangsungkan hidup " English Club " di kalangan kami sendiri, yang biasanya diakhiri dengan menonton DVD bajakan sambil makan gorengan akhirnya kembali merangkul rencana mendaki yang terlupakan, gelisah di sudut - sudut penantian. Setelah sempat beradu argumen hingga ribut - ribut kecil, hari keberangkatanpun berhasil ditentukan dengan damai, tanpa harus ada yg di bawa mobil ambulans. Puncak Gede, tunggu kami. :)
Pada awalnya tim kami berjumlah 5 orang, yaitu saya sebagai Ketua kelompok, sedangkan Maria, Dewi, Ratih dan Ryan sebagai anggota. Seiring berjalannya waktu, jumlah anggota bertambah, dimulai dengan Rosie ( teman Maria ), Winardi ( teman Dewi ), Arie dan Yofan ( teman saya ). Dan rencana ini dimulai dengan pendaftaran secara online di situs resmi Taman Nasional Gunung Gege Pangrango.
Berkat kerja keras Dewi, urusan pendaftaranpun selesai 1 minggu sebelum hari keberangkatan. Diluar duga'an, Ryan yang mendapat panggilan kerja terpaksa tidak dapat ikut dengan kami. Disusul dengan Winardi, Rosie, Ratih dan Maria dengan alasan masing - masing. Semoga penyesalan tidak mengganggu tidur mereka, karena telah menyia nyiakan kerja keras Dewi dalam mengurusi pendaftaran yang " njelimet " itu. Dengan batalnya mereka, sayapun akhirnya mengajak Adi yang sakit kakinya belum sembuh total untuk bergabung bersama saya.
Hari keberangkatanpun tiba, dan belanja kebutuhan logistik untuk kebutuhan selama pendakianpun selesai setelah saya menerima uang kembalian dari Mbak kasir berjilbab yang berwajah manis pilihan Adi. Iya pilihan Adi, soalnya dia ngotot antri di kasir tersebut, meski di tempat yang lain antriannya tidak lebih panjang. Dasar cowok...!!! Akan tetapi ada satu hal yang membuat saya kagum dengan kasir yang satu ini, yaitu keberanianya mengeluarkan barang yang kami beli meski tanpa kanban, Pak Mustari harus bisa menjelaskan ini. :)
Ketika menunggu kedatangan Yofan, kami berdua mengobrol sambil mengecek barang belanja'an kami di area parkir pasar swalayan yang letaknya tidak jauh dari rumah Adi. Kurang lebih 30 menit kemudian, Yofanpun datang dengan carrier yang melekat manja di pundaknya. Bergegas kami menuju Meeting Point yang telah kami sepakati sebelumnya, yaitu di "kantor" kapitalis limbung, Arie. Saya yang masih harus menjemput Dewi, dengan berat hati mesti merelakan Adi dibonceng dengan pria lain, yaitu Yofan, yang notabene adalah teman saya sendiri. Semoga kamu bahagia bersamanya, Adi. Oops...
Sesampainya di "kantor" Arie, Yofan dan Adi bergegas mengemas barang - barang kebutuhan yang akan kami bawa. Diselingi canda, tawa dan cela hingga membuat waktu keberangkatan molor setengah jam. Sekitar pukul 20 : 30, kamipun berangkat menggunakan sepeda motor yang sudah siap menaklukan terjal jalan dan mengiris gelapnya malam. Dewi, satu - satunya makhluk keturunan Hawa yang ikut dalam rombongan ini, sudah siap di jok belakang sepeda motor yang akan saya kendarai, Adi kembali bersama Yofan, dan terakhir adalah Arie,yang ditemani 2 carrier berisi barang - barang perlengkapan selama pendakian, semoga tidak terjadi affair antara Arie dan 2 carrier yang dibawanya, dikarenakan rasa sepi yang mendera di ruang hatinya, sebab jomblo menahun bisa mendorong orang bertindak melebihi batas kewajaran, kasian sekali.
Roda - roda kendaraan kami terus berputar, mengiringi malam yang bergeser pelan. Sesampainya di Babakan Madang, kami berhenti sejenak dan berniat untuk mengisi perut yang kelaparan, "lapar maksimal" kalau kata Wepe. Terutama saya dan Adi yang belum makan sejak siang hari. Akan tetapi, rencana untuk membungkam cacing - cacing yang mulai membuat kerusuhan dalam perut kami mesti dibatalkan, lantaran Arie ingin tetap melanjutkan perjalanan. Memaksa saya dan Adi membohongi perut sendiri dengan air mineral.
Tidak lama setelah kami meninggalkan jejak di depan warung nasi di Babakan Madang, kamipun mulai memasuki daerah bukit pelangi. Tempat di mana hawa dingin mulai terasa menjilati tulang dan bintang terlihat lebih banyak dan dekat. Di tempat ini saya mulai tertinggal jauh di belakang, mungkin karena kondisi jalan yang mulai naik turun dan satu lagi, saya membawa Dewi, yang berat badannya berbanding lurus dengan 2 karung beras dikali 2, dibagi dengan bilangan prima yang kelima, setelah itu dikuadratkan baru kemudian disubtitusikan dengan luas penampang wajan tempat membuat dodol lebaran. Rumit, wanita memang sangat rumit, apalagi jika sudah menyinggung berat badan. Dan gawatnya mereka selalu ingin dimengerti, salah sedikit saja akan membuat mereka bilang "dasar enggak peka", kepada pria. Ini kenapa jadi curhat?!
Demi menghindari caci maki dari Dewi perihal pembahasan yang tadi, baiknya saya lanjutkan cerita perjalanan kami yang sudah memasuki daerah puncak. Di mana tulisan "villa disewakan" berderet menghiasi sisi jalan.
Kira - kira pada pukul 00 : 30, akhirnya kami sampai di Green Ranger, tempat kami menginap sebelum melakukan pendakian di pagi harinya. Saya dan Adi yang sudah kelaparan sejak dalam perjalanan, ingin menuntaskan masalah kami yang satu ini dengan segera di warung nasi yang jaraknya dekat dari tempat kami menginap. Yofan yang tidak mau jauh dengan Adi pun ikut dengan kami, berbeda dengan Arie dan Dewi, mereka lebih memilih beristirahat dan tidur lebih dulu.
Sepiring nasi, 2 bala -bala, 4 sendok orek tempe dan segelas teh manis hangat membuat sistem metabolisme saya kembali bekerja sebagaimana mestinya. Setelah rasa lapar telah enyah dari kehidupan kami, meskipun sementara, tubuh kami juga merasa lelah setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang. Sebenarnya, selain lelah di perjalanan, saya juga lelah melihat Adi dan Yofan berselisih memperebutkan remote TV di warung nasi. Untuk mencegah hal - hal yang tidak diinginkan, saya mengajak mereka pergi meninggalkan warung nasi dan remote perusak hubungan orang itu.
Sesampainya di tempat menginap, ternyata Dewi sudah terlelap, terlebih Arie, yang suara dengkurnya terdengar hampir 1 ruangan. Yofan dan Adi bergegas menyiapkan sleeping bag mereka masing - masing guna melindungi diri dari hawa dingin yang ganas menyeringai di setiap penjuru ruangan. Dan saya adalah orang satu - satunya yang tidak menggunakan sleeping bag, meringkuk kedinginan diantara tubuh Yofan dan Dewi. Sedangkan Adi, memisahkan diri dengan kami dan tidur jauh di sudut ruangan, berseberangan. Saya yang tidak ingin tidak bisa tidur sendirian, berusaha mengganggu Yofan dan berharap dia mau berbagi sleeping bag dengan saya. Meski sedikit terusik, Yofan tetap bergeming dan membiarkan saya tidur dipagut dingin.
Sekitar pukul 07 : 30 pagi, kamipun berkemas, bersiap menuju Balai Besar TNGP untuk mengurus data - data anggota sebelum melakukan pendakian. Saya, Adi dan Yofan berangkat bersama, sedangkan Arie dan Dewi menyusul, karena mereka ingin sarapan pagi terlebih dahulu. Sampai akhirnya mereka berdua tiba dan bergabung bersama kami yang sudah bosan menunggu di depan kantor Balai Besar TNGP di buka, sambil menggambil beberapa gambar menggunakan kamera yang Adi bawa. Pukul 09 lebih, kantor Balai Besar baru dibuka, Yofan menginstruksikan kami untuk bersiap dan merapikan carrier yang berantakan selama kami menunggu, sedangkan dia sendiri akan melaporkan data - data kami untuk registrasi ulang. Lebih dari 30 menit Yofan belum juga kelihatan keluar dari gedung tersebut, akhirnya Adi dan Arie menyusulnya, sedangkan saya tetap menunggunya di depan gerbang bersama Dewi. Saya mulai gelisah, karena mereka bertiga belum juga datang. Karena penasaran, saya akhirnya menyusul mereka. Sesampainya di dalam, mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu. Tanpa buang waktu, saya bertanya kepada Yofan tentang masalah apa yang menahan dia di dalam gedung ini. Ternyata, kami terancam tidak bisa melakukan pendakian, karena nama anggota yang telah di daftarkan oleh Dewi sebelumnya tidak sesuai dengan yang ikut di hari pendakian. Dan parahnya, sebenarnya ini yang paling krusial, saya tidak membawa fotokopi KTP. Berkat kesigapan Yofan dan Adi, surat izin pendakianpun akhirnya didapat setelah menanda tangani surat perjanjian bermatrai.
Lega memang, setelah kami berhasil mengantongi surat izin pendakian. Tapi perjuangan belum usai, justru baru dimulai. Demi lancarnya pendakian, sejenak kami tundukan kepala, meminta kepada Yang Maha Kuasa, memohonnya di dalam do'a. Di atas kami, mendung tipis memayung, mengiringi langkah - langkah yang kami ayun. Canda adalah obat mujarab kami untuk mengalihkan perhatian terhadap rasa lelah, hingga pada suatu tempat kami terpisah. Adi dan Arie berada di posisi depan, meninggalkan saya dan Yofan yang mencoba mengimbangi Dewi yang setiap melihat batu besar seperti melihat sofa serba guna buatan bangsa asing yang sering dijual di acara - acara home shopping. Dan duduk adalah harga mutlak baginya.
" Ayo Dew jalan lagi, sebentar lagi track nya enak kok, bukan cuma karena datar, tapi view nya juga". Ucap saya ke Dewi, yang masih sedang beristirahat. Yofan pun mempersilakan kami jalan lebih dulu sambil berucap, "udeh jalan duluan sana, nanti juga gue salip ". Agak songong memang, tapi setelah saya sadar akan keberadaan Dewi, saya mengerti. Saya dan Dewi pun beranjak, meninggalkan Yofan yang sedang berlagak. Karen jalur yang kami tempuh masih sama dengan jalur yang menuju Curug Cibodas, jadi banyak wisatawan yang juga berjalan bersama kami, pria dan wanita, orang dewasa juga anak - anak, hal yang bisa dijadikan Dewi sebagai suntikan semangat.
" Welcome to Rawa Gayonggong Dew ", seru saya, di ikuti suara hembusan nafas Dewi yang ternyata sedang tersenyum lebar, karena jalan yang ada dihadapannya tidak lagi menanjak, tetapi datar. " Lambat lo", teriak Adi kepada kami, rupanya dia dan Arie sudah menunggu kami cukup lama. Sambil menunggu Yofan yang gagal menyalip saya dan Dewi, kami berempat mengambil beberapa foto di tempat ini. Tidak lama berselang, Yofan datang bergabung bersama kami, menjadi model dan fotografer secara bergantian. Setelah merasa cukup, kamipun melanjutkan perjalanan. Sampai suatu ketika, Dewi menampakan wajah kecewa, karena sudah berada di ujung jembatan dan jalurnya kembali bebatuan juga mulai menanjak, lagi. Setelah berjalan beberapa meter dari ujung jembatan Rawa Gayonggong, kami tiba di Pos Panyancangan. Mulai dari tempat ini, kami mengambil jalur yang di khususkan untuk para pendaki dan terpisah dengan para wisatawan yang menuju Curug Cibodas. Selain itu, kami juga terpisah dengan wisatawan wanita bercelana pendek warna hitam yang jadi perbincangan kami ( kecuali Dewi ) selama perjalanan menuju tempat ini.
Fokus kami sebelum mencapai Kandang Badak, yang rencananya akan menjadi tempat berkemah kami nanti adalah Tempat Wisata Air Panas. Di sana kami akan membuka bekal, sekedar untuk tambahan energi. Setelah berjalan cukup lama, Dewi mulai gusar karena belum juga sampai di tempat yang telah di tentukan. Hal ini terbaca, karena dia kerap bertanya, " masih jauh enggak sih? ", atau " kira - kira berapa lama lagi? ", dan pertanyaan - pertanyaan sejenis lainnya. Jarak antar Panyancangan ke Tempat Wisata Air Panas memang jauh, track nya pun cukup berat, apalagi untuk Dewi yang baru pertama kali. Selain lelah, lapar juga menjadi ujian tersendiri, karena memang sudah lewat tengah hari. Salah satu pemompa semangatnya adalah bekal roti tawar yang akan diolesi dengan selai strawberry, hal ini yang membuat kami tidak beristirahat lama, dan jalan lagi.
Suara gemuruh air pun terdengar semakin dekat, membuat derap langkah kami semakin cepat. Dan akhirnya kami sampai di Tempat Wisata Air Panas. Cepat kami mengeluarkan bekal yang kami bawa dan memakannya sambil melepaskan lelah yang telah lama menggelayuti tubuh kami masing - masing. Kami tidak begitu lama di tempat ini, setelah dirasa cukup, kamipun melanjutkan perjalanan. Kali ini Yofan dan adi jalan lebih dulu, karena takut kami tidak dapat space yang cukup untuk mendirikan tenda di Kandang Badak, mengingat banyaknya pendaki yang juga berangkat di hari yang sama bersama kami.
Setelah melewati Kandang Batu, rupanya tenaga Arie mulai habis terkuras. Tidak jarang dia duduk dan beristirahat, sangat berbeda ketika di awal pendakian, bahkan tidak jarang Dewi mengajaknya untuk jalan lagi. Saya cuma berharap, semoga masih ada testoteron yang bersemayam di tubuh Arie, cukupan untuk membahagiakan istrinya nanti, lebih bagus lagi jika dia masih bisa melanjutkan dinastinya kelak.
Ketika track yang kami lewati sudah agak datar, saya memberi tahu Dewi kalo tempat kami berkemah sudah sangat dekat, dan Dewi pun meresponnya dengan meninggkatkan kecepatan langkahnya dan mengurangi istirahat, begitupun Arie. Benar saja, tidak lama kemudian akhirnya kami melihat tenda - tenda yang telah berdiri. Adi dan Yofan yang sudah menunggu kami, memanggil kami untuk cepat bergabung karena hari sudah mulai sore, dan tenda harus segera dipasang. Kamipun membagi tugas, saya , Adi dan Yofan bertugas untuk mendirikan tenda, sedangkan Arie dan Dewi mengambil air.
Tenda telah berdiri, barang - barang pun sudah masuk ke dalamnya. Sambil menunggu air yang kami masak matang, kami menyiapkan bahan - bahan makanan yang akan kami masak setelahnya. Dan ternyata tidak ada beras di dalam ransel kami, bahan yang seharusnya dibawa Arie, entah ada yg sabotase atau di curi alien, yang pasti kami kebingungan dengan tidak adanya beras. Beruntung ada pendaki yang akan turun dan masih mempunyai beras sisa, jadi kami terselamatkan olehnya, perkara beras akhirnya beres sa'at itu juga.
Kelamnya malam telah menelan sisa - sisa senja yang lebih cepat hilang meninggalkan kami di tengah hutan. Di dalam tenda, kami membicarakan rencana untuk esok pagi guna mengejar pijar fajar di puncak Gede. Setelah sepakat, kamipun bersiap untuk tidur. Dan seperti biasanya, Adi tidak langsung tidur, tetapi curhat tentang mantan - mantan pacarnya yang banyak itu, seperti ritual yang haram dilewatkannya ketika berkemah. Dewi yang sudah menyetel alarm pada pukul 02 : 30, tertidur lebih dulu, hal yang sama dilakukan oleh Yofan.
Bunyi alarm menggugurkan bunga - bunga tidur yang belum sempat mekar di malam saya yang dingin. Yofan yang telah terbangun langsung memasak air untuk membuat teh hangat, di susul oleh Adi. Saya dan Dewi menyiapkan bahan makanan yang akan kami bawa untuk kami masak di puncak nanti, sedangkan Arie, tetap tidur lelap, tidak tertarik untuk melanjutkan pendakian. Setelah semuanya selesai, kami pun keluar dari tenda dan siap untuk berangkat. Do'a telah terpanjat, dari bibir - bibir kami yang bergetar karena dingin yang hebat. Dan langakahpun kami mulai, di hari yang masih dini. Tidak jauh dari Kandang Badak, Dewi ternyata sudah kelelahan, terlihat dari wajahnya yang pucat dan langkahnya yang terlihat sangat berat. Lantas, dia memutuskan untuk turun lagi, kembali ke tenda. Setelah berunding dengan Adi dan Yofan, saya meminta mereka untuk menunggu saya, karena sehabis mengantarkan Dewi ke tenda, saya akan kembali lagi melanjutkan perjalanan bersama mereka.
Sekitar pukul 03 : 30 pagi, saya bergabung bersama mereka kembali. Tanpa buang waktu lagi, kami bertiga tancap gas untuk mendaki. "Kami sama pejalan larut. Menembus kabut", demikian tulis Chairil Anwar dalam KAWANKU DAN AKU, situasi yang sedikit mirip dengan apa yang sedang kami alami di tempat ini, di Nusantara yang katanya kaya ini.
Oksigen yang mulai menipis, ditambah nikotin yang sering saya injeksikan ke tubuh saya melalui pernafasan membuat tenaga saya cepat habis. Akan tetapi, dua cecunguk yang mendaki bersama saya ini membuat semaunya tidak begitu terasa. Sampai akhirnya tibalah kami di tempat yang sangat ingin saya jumpai, yup Tanjakan Setan. Track yang tingkat kemiringannya hampir 90 derajat ( atau memang 90 derajat ) dan untuk melewatinya harus bergelantungan menggunakan seutas tambang, membuat adrenaline saya terpacu untuk menaklukannya. Dan sensasinya memang luar biasa, melebihi Joged Oplosannya Soimah, plus diapit oleh Nabilah. :)
Kami berhasil menginjakan kaki kami di puncak ketika jam digital di hand phone Adi menunjukan angka 05 : 07. Kami terus berjalan, menyusuri puncak Gede yang memang panjang. Tanpa menunggu lama, fajar yang kami kejar mulai bepijar menebar sinar yang masih malu - malu untuk keluar. Awan yang ada di hadapan kami letaknya lebih rendah dari tempat kami berdiri, sehingga terlihat seperti gulungan ombak yang berkejaran, Yofan menyebutnya samudra di atas awan. Seketika pandang kami tercuri, sebelum matahari muncul menyinari hari, semburat jingga menebar pesona, di ikuti oleh warna oranye berselendang kuning keemasan, berlari menembus putihnya awan. Terkadang kabut yang dihasilkan belerang menutupinya, cari perhatian. Tidak mau ketinggalan, jingga kembali datang, memeluk sinaran warna yang memanjakan pandang di muka langit biru yang tenang.
Adi mulai sibuk dengan kameranya, begitupun Yofan yang keranjingan merekam setiap pergerakan awan menggunakan handy cam seperti kesurupan, entah setan apa yang merasukinya sampai - sampai dia juga merekam orang yang sedang buang air kecil di balik pohon, atau mungkin karena orang itu adalah seorang playboy idolanya?! entahlah. Yang pasti, apa yang kami saksikan, membuat kami selalu ingin menikmatinya lagi dan lagi, terlebih, kami masih punya hutang janji dengan Mandalawangi. :)
...
Camerado, I give you my hand!
I give you my love more precious than money,
I give you myself before preaching or law;
Will you give me yourself? Will you come travel with me?
Shall we stick by each other as long as we live?
( Song of The Open Road, Walt Whitman )
@doel_12