Lega
rasanya ketika saya membaca berita, bahwa seorang survivor yang sempat hilang
di Semeru telah ditemukan. Ya,,satu hari sebelum hari keberangkatan kami ke
Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berita itu ramai di dunia maya. Satu
kejadian yang membuat saya akhirnya bilang ke Ibu saya, kalau saya akan pergi
naik Gunung. Karena pada pendakian sebelumnya, saya cuma pamit untuk pergi
beberapa hari, tapi tidak untuk sa’at ini. Kening sayapun mendarat di punggung
tangannya yang mulai keriput, restu dan pesannya pun mengiringi keberangkatan
saya.
Selama
perjalanan menuju tempat berkumpul kami, yaitu rumah Adinoyo, saya coba melengkapi
barang – barang bawa’an saya sebagai perlengkapan nanti. Pukul 3.45 saya telah
sampai dirumah Adi, akan tetapi dia masih berada dirumah temanya yang tidak
jauh dari tempat tinggalnya. Selang beberapa sa’at setelah saya menelfon nya,
dia pun datang dan mempersilakan saya masuk ke kamarnya. Sambil menunggu Yofan
dan satu orang teman Adi yang bernama Agung, saya membaringkan tubuh saya untuk
beristirahat.
Terdengar
suara Yofan membangunkan saya yang ternyata sudah terlelap tanpa saya sadari.
Bergegas dia pun memilah barang yang akan dibawa dan memasukanya ke dalam
carrier yang sudah tersedia. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Agung pun
datang, tak ingin berlama – lama lagi kamipun langsung berpamitan dengan Ibu
dan Kakak perempuan Adi. Sepeda motor yang sejak sore terparkir pun telah siap
menjadi partner kami kali ini. Tepat pukul 20:58 kami memulai perjalanan, Yofan
sebagai juru kemudi saya, dan Agung untuk sementara menjadi nahkoda untuk Adi,
karena di salah satu SPBU posisinya digantikan oleh Adi.
Sekitar
pukul sebelas malam, kami memasuki daerah Babakan Madang. Saya yang merasa
sudah merasa lapar semenjak berangkat dari kediaman Adi pun menyarankan
berhenti sejenak untuk mengisi perut. Saya, Yofan dan Adi langsung sibuk
memesan makanan, sedangkan Agung lebih memilih tidur di depan mini market yang
sudah tutup. Selain sibuk menyantap hidangan yang ada di depan nya, Adi juga
sibuk menggoda pelayan warung nasi yang menurut pandangan saya tidak lebih
menarik dibandingkan dengan beberapa keping jengkol yang ada dipiring saya.
Saya dan Yofan telah menyelesaikan santap malam kami, berbeda dengan Adi,
piringnya masih penuh dengan nasi yang belum selesai disantap karena lebih
sibuk menggoda pelayan ketimbang makan. Sebatang rokok yang ada di jari sayapun
hampir selesai saya hisap, yang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini
menjadi " ritual " wajib saya sehabis makan, berbarengan dengan itu Adi pun
menyelesaikan santap malam nya. Saya dan Yofan menitipkan beberapa lembar uang
kepadanya untuk membayar apa saja yang telah kami makan. Setelah membangunkan
Agung yang ternyata sudah sangat pulas tertidur, Adi pun cerita kalau uang yang
digunakan untuk membayar makanan tadi sudah Ia tulisakan nomor handphone nya,
dan ceritanya sukses membuat saya mual dan ingin muntah seketika.
Perjalanan
pun kami lanjutkan, memasuki daerah Bukit Pelangi udara sudah mulai dingin
seperti biasanya. Obrolan saya dan Yofan membuat perjalanan kami tidak terasa
sudah memasuki daerah puncak. Yofan mulai menyadari kalau persedia’an bahan
bakar sepeda motor yang kami tumpangi sudah sangat tipis. Dia pun mulai panik,
terlihat dari caranya mengendarai sepeda motor yang beberapa kali membuat
bagian depan motor yang dikendarainya hampir saja mencium bumper mobil yang ada
di hadapan kami. Saya yang sudah pernah mengalami kejadian ini dengan Adi pada
perjalanan sebelumnya coba menenangkan Yofan, kalau bahan bakar yang tersedia
cukup, karena letak SPBU sudah tidak jauh lagi.
Sesampainya
di SPBU, setelah mengisi bahan bakar saya dan Yofan beristirahat sejenak sambil
menunggu Adi dan Agung yang sedang melaksanakan shalat Isya. Tidak lama
berselang, Adi dan Agung menghampiri kami untuk mengobrol dan beristirahat
sebentar sampai pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami menuju Green
Ranger. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba dengan tampan di Green
Ranger pada pukul satu pagi, karena jarak SPBU dan Green Ranger memang relatif
dekat. Gonggongan anjing pun menyambut kedatangan kami, terlihat beberapa
sepeda motor terparkir di bangunan yang pasti sudah sangat familiar dengan para
pendaki.
Tidak
mau membuang – buang waktu, Adi lansung mendaftarkan nama- nama kami kepada
soerang yang akrab di sapa dengan sebutan Abah, dari keterangan beliau juga,
kalau kami harus mendaki melalui Gunung Puteri karena jalur Cibodas masih
ditutup efek dari proyek pembetonan jembatan Rawa Gayongong yang belum rampung. Selesai mendaftar, Saya
dan Yofan duduk – duduk di depan sambil mengobrol dan melepas lelah yang
bercokol selama perjalanan tadi. Adi menyarankan kalau kami lebih baik bergegas
unuk masuk dan tidur, Karena besok pagi, sekitar pukul empat kami sudah harus
berangkat dari sini untuk mencari angkot yang bisa mengantarkan kami ke Gunung
Puteri, masih dari keterangan Abah, kalau ongkos angkot menuju Gunung Puteri
regular nya sekitar Rp. 7.000, tinggal pintar – pintarnya kami saja menego
harga, jelas Abah.
Sesampainya
di ruangan yang akan kami gunakan untuk beristirahat, ternyata sudah ada lima
orang pendaki yang berasal dari depok. Alih – alih ingin cepat istirahat dan
tidur, Saya, Yofan dan Adi malah bercengkrama dengan mereka, berbeda dengan
Agung yang lebih memilih untuk langsung tidur, karena memang sedari tadi dia
terlihat sangat mengantuk dan kelelahan. Selang beberapa sa’at, obrolan hangat
yang meluncur dari bibir kami masing – masing pun ditutup dengan rencana untuk
keberangkatan besok pagi kami akan berangkat bersama – sama agar biaya angkot
bisa lebih murah. Saya pun beringsut pergi meninggalkan tempat mereka
beristirahat, di ikuti oleh Yofan dan Adi. Udara dingin yang buat saya tidak
wajar ini memang menyulitkan saya untuk bisa tidur dengan cepat, berbeda dengan
Yofan, yang dengan damai dan sentosa menggunakan sleeping bag nya. Sepasang
tanduk tiba – tiba muncul di kepala
saya, dan di dorong oleh bisikan – bisikan gaib yang terus terngiang di
telinga, sayapun menarik dan mengguling – gulingkan tubuh Yofan yang terbungkus
sleeping bag sambil berkata, “lo enggak bakal bisa tidur kalo pake sleeping bag
sendirian”, Yofan pun menyerah tanpa perlawanan yang berarti. Dan para iblis
yang yang sejak tadi berkumpul di kepala saya bersorak bergembira sambil
bertepuk tangan. Akhirnya saya pun bisa memejamkan mata dengan tenteram meski
di iringi oleh umpatan Yofan.
Ayam
jantan memang belum berkokok, akan tetapi raungan alarm dari hand phone Agung
sudah memaksa kami untuk membuyarkan mimpi yang baru saja kami rangkai. Malas
memang untuk membuka mata yang baru saja tertutup kurang dari dua jam. Akan
tetapi selimut harus cepat dilipat, dan semangat mesti segera mencuat. Carrier
dan ransel yang tersandar di dinding pun sudah siap berpindah ke punggung kami
masing – masing. Seorang yang berasal dari Depok dipanggil oleh pihak Green
Ranger untuk mengambil surat ijin pendakian. Kami pun ikut menuju meja kerja
Abah, dan Abah bilang kalau kuota yang bisa di daftarkan hanya 7 orang,
sedangkan kami berjumlah 9 orang, empat orang dari rombongan kami dan lima
orang dari rombongan yang berasal dari Depok. Akan tetapi Abah bilang, kalau
pemeriksa’an di waktu pagi tidak terlalu ketat, jadi kami semua bisa ikut
mendaki tanpa harus ada yang tinggal.
Pukul
04 pagi kami mulai melangkahkan kaki menuju tempat pangkalan angkot yang
letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Pintu pun telah ditutup,
beberapa langkah dari depan bangunan yang baru saja kami tinggalkan kami
tersadar kalau anggota kami kurang satu orang, dan ternyata Agung tertinggal,
sontak saja Adi kembali dan mengetuk pintu yang baru saja di tutup untuk menjemput
Agung yang masih berada di dalam. Pintu pun terbuka dan tidak lama berselang
Agung menghampiri Adi dan merekapun bergabung dengan kami.
Suara
adzan subuh bersahut – sahutan dengan serangga malam yang mungkin baru pulang
begadang setelah semalaman mencari makan. Seorang Pria paruh baya menghampiri
kami menawarkan jasa angkutan seraya menunjukan kami mobil yang Ia gunakan.
Yang pada sa’at itu memang cuma ada satu angkot yang berada di pangkalan
tersebut. Adi dan Ambon ( pendaki dari Depok ) langsung bernegosiasi dengan si
sopir perihal harga yang harus kami bayar nanti. Dengan memasang wajah memelas
dan alasan ongkos yang pas – pasan mereka berdua mencoba menyentuh sisi empati
si sopir untuk menurunkan harga awal yang ditawarkan. Ketika menghampiri kami
yang menunggu negosiasi mereka, mereka tiba dengan wajah kecewa dan kami sudah
faham apa hasilnya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk jalan kaki saja mencari
angkot yang lain sambil memasang kuping berharap dipanggil lagi oleh si sopir
untuk mengijinkan kami menumpang mobilnya dengan harga yang kami tawarkan. Dan
benar saja, si sopir menhampiri kami dan menawarkan harga yang lebih murah dari
sebelumnya. Kembali Adi dan Ambon bernegosiasi dengan nya, dan lagi – lagi
tidak menenmui kata sepakat. Berulang kali kami melakukan hal yang serupa dan
berulang kali juga sopir angkot itu menhampiri kami dan menawarkan harga yang
berbeda. Sampai pada akhirnya kamipun sepakat dengan harga Rp. 8.000 per orang
karena pada penawaran sebelumnya kami harus membayar Rp. 12.000 per orang.
Hmmm… usaha yang tidak sia – sia meski cukup melelahkan.
Kami
yang harus merelakan sebagian ruangan angkot ditempati oleh barang – barang
bawa’an kami yang bisa dibilang tidak sedikit, terpaksa duduk saling berhimpit
– himpitan dan terombang – ambing di dalam angkot karena jalan yang kami lalui
tidak terlalu mulus, bahkan bisa dikatakan rusak parah, mungkin kalau kata adik
– adik gaul bercelana pendek nan gemes yang suka nongkrong di mal – mal sih bilang “
enggak banget deh “. Sekitar pukul enam pagi kami tiba di daerah Gunung Putri,
senang rasanya bisa meregangkan badan setelah beberapa sa’at sebelumnya dikocok
massal di dalam angkot. Dan rombongan pun bergegas menuju pos pemeriksa’an,
cuma Agung yang memisahkan diri karena Ia ingin melakukan urusan pribadi
sebentar di kamar kecil. Soerang perwakilan kamipun memberikan surat ijin
kepada petugas yang sedang berjaga.salah satu petugas mengingatkan kami agar
tidak menuju puncak hari ini dikarenakan cuaca yang tidak memungkinkan. Cukup
beralasan memang, karena sedang musim penghujan dan pagi inipun cuaca
terlihat cukup mendung. Setelah mendengar penjelasan Bapak Petugas kamipun
cepat – cepat pergi, guna menghindari penghitungan personel yang memang lebih
dari kuota yang di ijinkan. Tidak jauh dari pos pemeriksa’an Adi dan Yofan
mengisyaratkan kami untuk jelan lebih dulu, karena ternyata Agung belum juga
kelihatan batang hidungnya. Dan ternyata lagi – lagi dia tertinggal, kali ini
lebih parah dari sebelumya, karena dia salah ambil jalur dan terpaksa putar
arah.
Setelah
personel lengkap, kami melanjutkan perjalanan yang disampingnya terlihat luas
kebun brokoli dan bawang daun yang beryndak – undak, cukup memanjakan mata dan
udaranya sangat menyegarkan rongga dada. Nusantara betapa indahnya engkau saya
berucap pelan sambil membenarkan letak ransel yang ada di punggung saya.
Setelah dimanjakan pemandangan perkebunan, di hadapan kami tersaji anak tangga
yang cukup curam,terbentuk dari batu – batu bukti yang dibatasi oleh batang –
batang bambu. Kondisi track yang berbentuk tangga seperti ini ternyata lebih
menguras stamina, Karena saya harus mengankat kaki saya lebih tinggi dan begitu
terus ber ulang – ulang.
Rombongan
dari Depok tertinggal cukup jauh di belakang Saya, Adi, Agung dan Yofan, karena
hari sudah mulai siang dan James Hetfield pun sudah meraung – raung menyanyikan
“ wherever I may roam “ di dalam perut kami. Akhirnya kami memutuskan untuk
beristirahat dan menyantap bekal yang kami bawa. Di hadapan kami yang sedang
sarapan, melintas tiga dari beberapa orang yang sedari tadi menyita perhatian
saya. Satu orang Bapak – bapak dan dua orang yang umurnya menurut tafsiran saya
jauh lebih muda dari saya. Kenapa mereka bisa menyita perhatian saya? Karena mereka
memikul karung yang yang beratnya saya yakin lebih berat dari ransel yang saya
bawa. kami pun menawarkan mereka untuk bergabung dan beristirahat bersama kami,
dan merekapun tidak menampik tawaran kami. Sambil menyantap dua lembar roti
tawar, Bapak itu pun menjawab pertanya’an kami, kalau yang dibawa oleh mereka adalah
bahan bangunan untuk membangun pagar yang mengelilingi kawah di Puncak Gede
nantinya. Pekerja’an yang mulia dan tidak ringan juga pastinya, dan Bapak itu
pula yang menerangkan kenapa jalur Cibodas masih ditutup karena proyek
pembetonan yang belum rampung. Setelah roti yang di genggamannya sudah habis di
santap dan menolak tawaran kami untuk menambah, merekapun melanjutkan
perjalanannya.
Belum
hilang mereka dari pandangan kami, seorang pemuda berkulit putih dan berwajah
oriental yang sebelumnya sempat bertemu kami ketika Ia beristirahat ikut
bergabung beristirahat bersama kami, diapun menyantap roti tawar yang kami tawarkan
kepadanya. Tidak lama berselang, rombongan dari Depok yang tadi sempat
tertinggal dengan kami akhirnya mampu mengejar disusul oleh tiga orang
perempuan muda yang ternyata teman nya Felix, pemuda yang berwajah oriental
tersebut. Suasana mendadak riuh pasca kedatangan tiga perempuan ini, bagaimana
tidak?! Felix yang memang sedari tadi tidak banyak bicara, diledek habis –
habisan oleh tiga perempuan ini. Kontan saja rona wajah Felix berubah menjadi
merah padam. Dari tiga perempuan yang sedang sibuk meledek teman nya itu, ada
satu orang yang mampu membuat saya meliarkan angan saya jauh dari tempat saya
yang sedang menyimak dia berbicara. Bukan karena paras nya yang memang cukup
cantik, atau warna kulit nya yang putih mulus, tapi cara berbicaranya yang asal
jeplak dan nyablak itu yang menyeret paksa angan saya ke bangunan megah
berbentuk oval yang ada di jantung Ibukota negeri ini, bangunan yang di
dalamnya terdapat deretan kursi yang sebagian besarnya terbuat dari kayu jati
yang dipilih oleh founding father nusantara tercinta, bangunan tempat
saya dan ribuan "loyalis" lainnya meneriakan semangat, merentangkan syal dan
mengibarkan bendera klub kebangga’an. Kerinduan saya terhadap Persija dan
tribun yang sudah cukup lama saya tinggalkan karena liga yang belum juga di
mulai mendekap saya dengan bahasa dan cara yang tidak terpikirkan.
Berbeda
dengan Yofan, dia lebih tertarik dengan perempuan berkulit sawo matang yang
sesekali ikutan meledek Felix. Kata Yofan, perempuan seperti itu adalah tipe
perempuan idaman untuknya. Selera yang aneh, karena Saya dan Adi sepakat, kalau
wanita yang membuat saya kangen dengan Persija itu jauh lebih menarik. Dengan
sudut pandang yang sudah tentu berbeda antara Saya dan Adi pastinya. Akan
tetapi saya tidak mau menjustifikasi subjektifitas hasil dari letupan juta’an
partikel yang berkolaborasi di dalam otak nya. Karena selera adalah salah satu
hal yang tidak bisa dipakasakan. Bukan begitu Yofan?!
Karena
merasa sudah cukup beristirahat, kamipun melanjutkan pendakian. Dan lagi – lagi
rombongan dari Depok kembali tertinggal di belakang kami. Kondisi track di
Gunung Putri ini memang sangat berbeda dengan track yang ada di Cibodas.
Menurut salah satu personel dari Depok, track di sini lebih curam dibandingkan
dengan track melalui Cibodas. Sisi positifnya, kita bisa lebih cepat sampai,
jelasnya. Adi yang pada pendakian sebelumnya tidak terlihat lelahpun sempat
berbicara kepada saya, kalau tenaganya mulai terkuras. Menurut saya, hal itu
dikarenakan kurangnya istirahat sebelum keberangkatan kami. Kondisi seperti ini
yang membuat kami sering beristirahat meski tidak lama disetiap perhentian.
Kabut
pun mulai turun, “ black dog “ nya Led Zepelin dan terkadang diselingi oleh “ Berita Kepada Kawan “ nya Ebiet G. Ade yang diputar berulang – ulang di hand
phone milik Agung, mengiringi kami menyusuri hutan, menarik akar pohon agar
mampu melewati track yang curam dan melangkahi batu besar menghadang. Ketika
berpapasan dengan dua orang pendaki yang mulai turun, kami bertanya jarak dan
kondisi Alun – alun Surya Kencana, tempat para pendaki mendirikan tenda sebelum
berangkat ke puncak Gede. Menurut keterangan pendaki tersebut, jarak alun –
alun Surya Kencana sudah tidak jauh lagi, sekitar 30 menit dari tempat kami
berdiri, dengan catatan, kami tidak
terlalu sering beristirahat. Mereka pun berpesan agar kami lebih hati –
hati, karena kabut yang turun semakin tebal. Kamipun segera melanjutkan
perjalan dengan lebih semangat. Hinnga akhirnya kami mendengar samar – samar
suara dari atas yang menandakan jarak kami sudah sangat dekat.
Sekejap
saya terpaku melihat apa yang ada di hadapan saya, tidak lebih dari 10 meter
dari tempat saya berdiri yang terlihat hanya putih, putih dan putih. Baru kali
ini saya melihat kabut setebal ini dipadu dengan angin dingin yang bertiup
cukup kencang. Kamipun berjalan pelan, melewati beberapa pohon Edelweiss yang
terlihat samar bersembunyi di dekapan kabut tebal. Tidak ingin kehilangan
moment, Adi mengeluarkan handycam dari tas nya, seketika kami pun menjadi foto
model dadakan. Pohon Edelweiss dan batu besar secara bergantian menjadi
background kami, dan saya tidak lupa mengeluarkan benda yang tersimpan di dalam
tas yang saya bawa yaitu…ehem...syal Persija. Setelah merasa cukup mengambil
dokumentasi, garis miring meluapkan gairah narsis yang terpendam, kamipun
kembali menggendong carrier kami masing – masing. Head lamp yang ada di kepala
Agung tidak banyak membantu menembus tebalnya kabut. Beberapa kali kami
berpapasan dengan pendaki yang sudah selesai berpetualang, bertegur sapa dan
saling melempar senyum adalah hal yang sangat lazim ketika kita sedang mendaki
meski baru pertama kali bertemu. Satu batang candu yang terdapat tiga deret
angka dipangkal batangnya sudah hampir habis di lahap bara yang melaju lebih
cepat dari biasanya, karena intensitas hisapan saya yang juga lebih sering dari
biasanya, ditambah terpa’an angin yang tidak pelan. Akan tetapi tempat yang
kami tuju masih misterius bersembunyi di balik gumpalan kabut putih.
Kurang
lebih 30 menit kami berjalan menembus labirin awan, akhirnya kami tiba di
tempat di mana para pendaki mendirikan
tendanya. Setelah menemukan tempat yang kami anggap cukup luas untuk mendirikan
tenda, kamipun membagi tugas. Saya dan Yofan bertugas untuk mendirikan tenda,
sedangkan Agung dan Adi bertugas untuk mengambil air. Tenda pun sudah berdiri,
sambil menunggu Agung dan Adi, saya dan Yofan membereskan tas dan menyiapkan
peralatan masak. Adi datang dengan beberapa botol air di tangan nya, dan
disusul oleh Agung beberapa sa’at setelahnya. Seperti pendakian sebelumnya,
lagi – lagi kompor yang kami kembali tidak berfungsi dengan baik, dan yang
lebih parah, Yofan yang biasanya membawa tang dan jarum kali ini tidak membawa
semua itu. Karena sudah tahu kerusakan yang biasa terjadi pada kompor sialan
ini, saya pun menghisap jarum yang tidak mampu mendistribusikan gas dengan
maksimal. Setelah beberapa kali percoba’an, nyala komporpun kembali normal. Gelas
plastik yang berisi teh manis hangat yang ada dihadapan kami masing – masing
pun sudah tandas kami minum. Dan sa’at nya untuk kami ber hibernasi, melepaskan
lelah yang menggelayuti dan biarkan imajinasi berlari menjelajah setiap pelosok
alam mimpi.
Pukul
4 : 30 kami kembali berada dalam alam realitas, yang beberapa jam sebelumnya
kami tinggalkan sejenak dalam lelap. Suara parau terdengar dari dalam perut
kami masing – masing, memberi sinyal untuk di isi. Mie instant dan lontong
menjadi menu kami sore ini, kompor dinyalakan, dan air pun siap untuk
dipanaskan. Setelah semuanya matang, kamipun bersiap bersantap di ketinggian
2.750 di atas permuka’an laut. Dan suara- suara aneh dari dalam perut pun reda
seketika. Selesai mengisi perut, kami meninggalkan tenda untuk berjalan – jalan
di sekitar area Surya Kencana.; hari sudah mulai gelap, saya, Yofan dan Agung
duduk di salah satu tempat beberapa meter dari sumber air. Sedangkan Adi
berjalan sendiri menyusuri padang rumput yang bertebaran pohon – pohon
Edelweiss di sana – sini. Malam semakin pekat, dan Adi masih belum kembali,
kami bertiga beberapa kali berteriak memanggil namanya namun tidak ada balasan.
Akhirnya kami bertiga sepakat menyusulnya, dan Ia tetap tidak terlihat. Kamipun
kembali ke tenda, sesampainya di tenda ternyata Adi sudah asyik dengan handy
cam nya di dalam tenda, kami bertiga pun merasa lega, meski agak merasa dongkol
kepadanya.
Guna
meminimalisir rasa yang semakin dingin, kami membuat api unggun di depan tenda.
Sambil tertawa dan bercerita tentang apa saja. Cukup lama kami mengelilingi api
unggun yang api nya tidak bisa menyala dengan tempo yang lama, karena ranting
yang kami bakar pun masih agak basah. Setelah merasa cukup, bukan merasa cukup
hangat tetapi cukup lelah menghidupkan api yang sulit sulit menyala, kamipun
masuk tenda dan bersiap untuk tidur. Di dalam tenda kami membicarakan rencana
untuk esok, rencana kami yang awalnya ingin menuju Lembah Mandalawangi akhirnya
harus dibatalkan karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Di dalam
tenda juga Yofan menceritakan rencananya yang ingin membuat video di atas
puncak Gede, untuk dijadikan sebagai kado ulang tahun seseorang yang spesial
beberapa tahun lalu ( spertinya Yofan belum mengerti makna kata move on ) .
Imbasnya saya kebagian tugas membuat “kata pengantar” untuk videonya nanti. Saya
pun meminjam hand phone nya untuk mengetik kalimat – kalimat yang nantinya akan
disertakan dalam video buatanya. Di tengah – tengah “ kesibukan “ saya, Adi dan
Yofan sangat “ asyik “ entah itu ber argument, berdebat atau berbicara tentang
sesuatu yang menurut saya sangat “ absurd “ untuk dituangkan hanya dalam kata –
kata, tetapi sangat nyata dan ada jika dirasa, yaitu “ cinta “. Saya yang
sedang fokus dengan tugas yang diberikan Yofan, tidak menghiraukan perbincangan
mereka. Meski terkadang saya menguping jika Yofan sedang menceritakan tentang
masa lalunya dengan wanita yang akan mendapat kado ulang tahun darinya, sebagai
bahan acuan saya agar mempermudah tugas saya. Setelah saya anggap cukup,
sayapun memperlhatkan hasil kerja saya kepada Yofan, dan ternyata dia merasa
puas setelah membacanya. Artinya tugas saya selesai dan bisa segera menyusul
Agung yang sejak tadi sudah tidur pulas disamping saya.
Di
atas sana suara petir bersahut – sahutan, angin bertiup semakin kencang dan Adi
masih mengoceh perihal cinta dengan Yofan. Semakin lama suaranya semakin jauh
terdengar di telinga saya dan sayapun tertidur. Tiba – tiba Agung berteriak “ astaghfirullah ya Allah ra
dem blas “ ( dingin banget ) dengan logat Jawa yang sangat fasih. Karena saya
tidur disampingnya, sayapun terbangun. Dan kejadian itu berulang beberapa kali ditengah
tidur pulas saya. Hujan yang cukup deras memang membuat udara yang sudah dingin
menjadi semakn dingin. Beruntung kami sleeping bag kami gunakan sebagai
selimut, sehingga dapat mengurangi rasa dingin.
Alarm
berbunyi pada pukul empat pagi, karena kami hanya ingin ke puncak Gede dan
cuaca juga tidak memungkinkan untuk menyaksikan sun rise, jadi kami memutuskan
untuk melanjutkan tidur dan berangkat pukul enam pagi. Ketika terbangun, badan
saya terasa kurang fit, semoga bukan karena teriakan bahasa jawa nya Agung
semalam. Awalnya saya ragu untuk ikut mendaki dengan kondisi badan yang tidak
terlalu baik ini, akan tetapi keyakinan saya lebih kuat untuk mencapai puncak
membuat rasa ragu berkemas dan beringsut pergi meninggalkan ruang pikiran saya.
Kamipun
siap menuju ketinggian 2.958 m dpl, berbekal energi dari mie instant dan segelas
kopi yang masih terasa hangat di perut kami. Kepala kami tundukan, do’a kami
lambungkan kepada Yang Maha Menguasai, dan kamipun mulai melangkahkan kaki.
Track yang kami lalui cukup berat, karena berbentuk bebatuan yang kemiringanya
cukup curam juga licin akibat disiram hujan semalam. Bebrapa kali saya hampir
jatuh terpeleset, Agung pun demikian, beruntung masih dapat memegang batang
pohon. Kurang dari 40 menit saya dan Adi telah sampai di puncak disusul oleh
Yofan dan Agung beberapa sa’at setelahnya. Karena jaran antara Surya Kencan dan
Puncak Gede tidak terlalu jauh, jadi waktu yang kami butuhkan relative cepat.
Di
dasar kawah terlihat kabut asap yang terus mengepul membawa aroma belerang yang
sangat khas ke hidung kami. Di sebelah timur matahari masih tampak malu
menyinari, dihari yang masih pagi bercadar awan yang sedikit mendung. Dan tepat
di hadapan kami, puncak Pangrango terlihat gagah berdiri menantang untuk di
daki. Yofan mulai sibuk menjalankan rencana yang telah Ia susun semalam.
Pertama Ia merangkai batu – batu kecil membentuk angka yang sesuai dengan
jumlah usia wanita yang akan menerima kado darinya. Kemudian Ia mulai mengambil
gambar keindahan yang disuguhkan oleh alam di sekelilingnya. Berbeda dengan
Yofan yang ingin menggapai cintanya kembali dari atas puncak ini, Saya
merasakan rasa cinta saya semakin bertambah kuat. Bukan seperti cerita cinta
picisan yang sering dinyanyikan oleh sekelompok orang yang katanya "pria", sambil
menari serempak seperti sedang melakukan ritual memanggil hujan yang ada
di acara musik pagi. Cinta yang saya rasakan
cinta yang 'tak bersyarat dan tanpa sekat, cinta terhadap nusantara yang
semakin sering diumpat dibanding menerima ucapan terimakasih oleh manusia – manusia yang
jelas – jelas hidup di atas tanah yang mereka pijak, dan meminum air yang
mengalir dibawahnya. Love your country as you love your life. "Lebih baik
disini, rumah kita sendiri,,,segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa,,,semuanya
ada disini…Rumah kita…"tiba – tiba lagu gubahan Ian Antono itu mengalun begitu
saja di dalam hati saya.
TERIMAKASIH
INDONESIA…