Jumat, 23 November 2012

Menggapai Cinta Dari Puncak Gede


Lega rasanya ketika saya membaca berita, bahwa seorang survivor yang sempat hilang di Semeru telah ditemukan. Ya,,satu hari sebelum hari keberangkatan kami ke Taman Nasional Gunung Gede Pangrango berita itu ramai di dunia maya. Satu kejadian yang membuat saya akhirnya bilang ke Ibu saya, kalau saya akan pergi naik Gunung. Karena pada pendakian sebelumnya, saya cuma pamit untuk pergi beberapa hari, tapi tidak untuk sa’at ini. Kening sayapun mendarat di punggung tangannya yang mulai keriput, restu dan pesannya pun mengiringi keberangkatan saya.

Selama perjalanan menuju tempat berkumpul kami, yaitu rumah Adinoyo, saya coba melengkapi barang – barang bawa’an saya sebagai perlengkapan nanti. Pukul 3.45 saya telah sampai dirumah Adi, akan tetapi dia masih berada dirumah temanya yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Selang beberapa sa’at setelah saya menelfon nya, dia pun datang dan mempersilakan saya masuk ke kamarnya. Sambil menunggu Yofan dan satu orang teman Adi yang bernama Agung, saya membaringkan tubuh saya untuk beristirahat.

Terdengar suara Yofan membangunkan saya yang ternyata sudah terlelap tanpa saya sadari. Bergegas dia pun memilah barang yang akan dibawa dan memasukanya ke dalam carrier yang sudah tersedia. Setelah menunggu cukup lama, akhirnya Agung pun datang, tak ingin berlama – lama lagi kamipun langsung berpamitan dengan Ibu dan Kakak perempuan Adi. Sepeda motor yang sejak sore terparkir pun telah siap menjadi partner kami kali ini. Tepat pukul 20:58 kami memulai perjalanan, Yofan sebagai juru kemudi saya, dan Agung untuk sementara menjadi nahkoda untuk Adi, karena di salah satu SPBU posisinya digantikan oleh Adi.

Sekitar pukul sebelas malam, kami memasuki daerah Babakan Madang. Saya yang merasa sudah merasa lapar semenjak berangkat dari kediaman Adi pun menyarankan berhenti sejenak untuk mengisi perut. Saya, Yofan dan Adi langsung sibuk memesan makanan, sedangkan Agung lebih memilih tidur di depan mini market yang sudah tutup. Selain sibuk menyantap hidangan yang ada di depan nya, Adi juga sibuk menggoda pelayan warung nasi yang menurut pandangan saya tidak lebih menarik dibandingkan dengan beberapa keping jengkol yang ada dipiring saya. Saya dan Yofan telah menyelesaikan santap malam kami, berbeda dengan Adi, piringnya masih penuh dengan nasi yang belum selesai disantap karena lebih sibuk menggoda pelayan ketimbang makan. Sebatang rokok yang ada di jari sayapun hampir selesai saya hisap, yang sudah sejak beberapa tahun belakangan ini menjadi " ritual " wajib saya sehabis makan, berbarengan dengan itu Adi pun menyelesaikan santap malam nya. Saya dan Yofan menitipkan beberapa lembar uang kepadanya untuk membayar apa saja yang telah kami makan. Setelah membangunkan Agung yang ternyata sudah sangat pulas tertidur, Adi pun cerita kalau uang yang digunakan untuk membayar makanan tadi sudah Ia tulisakan nomor handphone nya, dan ceritanya sukses membuat saya mual dan ingin muntah seketika.

Perjalanan pun kami lanjutkan, memasuki daerah Bukit Pelangi udara sudah mulai dingin seperti biasanya. Obrolan saya dan Yofan membuat perjalanan kami tidak terasa sudah memasuki daerah puncak. Yofan mulai menyadari kalau persedia’an bahan bakar sepeda motor yang kami tumpangi sudah sangat tipis. Dia pun mulai panik, terlihat dari caranya mengendarai sepeda motor yang beberapa kali membuat bagian depan motor yang dikendarainya hampir saja mencium bumper mobil yang ada di hadapan kami. Saya yang sudah pernah mengalami kejadian ini dengan Adi pada perjalanan sebelumnya coba menenangkan Yofan, kalau bahan bakar yang tersedia cukup, karena letak SPBU sudah tidak jauh lagi.

Sesampainya di SPBU, setelah mengisi bahan bakar saya dan Yofan beristirahat sejenak sambil menunggu Adi dan Agung yang sedang melaksanakan shalat Isya. Tidak lama berselang, Adi dan Agung menghampiri kami untuk mengobrol dan beristirahat sebentar sampai pada akhirnya kami melanjutkan perjalanan kami menuju Green Ranger. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk tiba dengan tampan di Green Ranger pada pukul satu pagi, karena jarak SPBU dan Green Ranger memang relatif dekat. Gonggongan anjing pun menyambut kedatangan kami, terlihat beberapa sepeda motor terparkir di bangunan yang pasti sudah sangat familiar dengan para pendaki.

Tidak mau membuang – buang waktu, Adi lansung mendaftarkan nama- nama kami kepada soerang yang akrab di sapa dengan sebutan Abah, dari keterangan beliau juga, kalau kami harus mendaki melalui Gunung Puteri karena jalur Cibodas masih ditutup efek dari proyek pembetonan jembatan Rawa Gayongong  yang belum rampung. Selesai mendaftar, Saya dan Yofan duduk – duduk di depan sambil mengobrol dan melepas lelah yang bercokol selama perjalanan tadi. Adi menyarankan kalau kami lebih baik bergegas unuk masuk dan tidur, Karena besok pagi, sekitar pukul empat kami sudah harus berangkat dari sini untuk mencari angkot yang bisa mengantarkan kami ke Gunung Puteri, masih dari keterangan Abah, kalau ongkos angkot menuju Gunung Puteri regular nya sekitar Rp. 7.000, tinggal pintar – pintarnya kami saja menego harga, jelas Abah.

Sesampainya di ruangan yang akan kami gunakan untuk beristirahat, ternyata sudah ada lima orang pendaki yang berasal dari depok. Alih – alih ingin cepat istirahat dan tidur, Saya, Yofan dan Adi malah bercengkrama dengan mereka, berbeda dengan Agung yang lebih memilih untuk langsung tidur, karena memang sedari tadi dia terlihat sangat mengantuk dan kelelahan. Selang beberapa sa’at, obrolan hangat yang meluncur dari bibir kami masing – masing pun ditutup dengan rencana untuk keberangkatan besok pagi kami akan berangkat bersama – sama agar biaya angkot bisa lebih murah. Saya pun beringsut pergi meninggalkan tempat mereka beristirahat, di ikuti oleh Yofan dan Adi. Udara dingin yang buat saya tidak wajar ini memang menyulitkan saya untuk bisa tidur dengan cepat, berbeda dengan Yofan, yang dengan damai dan sentosa menggunakan sleeping bag nya. Sepasang tanduk  tiba – tiba muncul di kepala saya, dan di dorong oleh bisikan – bisikan gaib yang terus terngiang di telinga, sayapun menarik dan mengguling – gulingkan tubuh Yofan yang terbungkus sleeping bag sambil berkata, “lo enggak bakal bisa tidur kalo pake sleeping bag sendirian”, Yofan pun menyerah tanpa perlawanan yang berarti. Dan para iblis yang yang sejak tadi berkumpul di kepala saya bersorak bergembira sambil bertepuk tangan. Akhirnya saya pun bisa memejamkan mata dengan tenteram meski di iringi oleh umpatan Yofan.

Ayam jantan memang belum berkokok, akan tetapi raungan alarm dari hand phone Agung sudah memaksa kami untuk membuyarkan mimpi yang baru saja kami rangkai. Malas memang untuk membuka mata yang baru saja tertutup kurang dari dua jam. Akan tetapi selimut harus cepat dilipat, dan semangat mesti segera mencuat. Carrier dan ransel yang tersandar di dinding pun sudah siap berpindah ke punggung kami masing – masing. Seorang yang berasal dari Depok dipanggil oleh pihak Green Ranger untuk mengambil surat ijin pendakian. Kami pun ikut menuju meja kerja Abah, dan Abah bilang kalau kuota yang bisa di daftarkan hanya 7 orang, sedangkan kami berjumlah 9 orang, empat orang dari rombongan kami dan lima orang dari rombongan yang berasal dari Depok. Akan tetapi Abah bilang, kalau pemeriksa’an di waktu pagi tidak terlalu ketat, jadi kami semua bisa ikut mendaki tanpa harus ada yang tinggal.

Pukul 04 pagi kami mulai melangkahkan kaki menuju tempat pangkalan angkot yang letaknya tidak terlalu jauh dari tempat kami menginap. Pintu pun telah ditutup, beberapa langkah dari depan bangunan yang baru saja kami tinggalkan kami tersadar kalau anggota kami kurang satu orang, dan ternyata Agung tertinggal, sontak saja Adi kembali dan mengetuk pintu yang baru saja di tutup untuk menjemput Agung yang masih berada di dalam. Pintu pun terbuka dan tidak lama berselang Agung menghampiri Adi dan merekapun bergabung dengan kami.

Suara adzan subuh bersahut – sahutan dengan serangga malam yang mungkin baru pulang begadang setelah semalaman mencari makan. Seorang Pria paruh baya menghampiri kami menawarkan jasa angkutan seraya menunjukan kami mobil yang Ia gunakan. Yang pada sa’at itu memang cuma ada satu angkot yang berada di pangkalan tersebut. Adi dan Ambon ( pendaki dari Depok ) langsung bernegosiasi dengan si sopir perihal harga yang harus kami bayar nanti. Dengan memasang wajah memelas dan alasan ongkos yang pas – pasan mereka berdua mencoba menyentuh sisi empati si sopir untuk menurunkan harga awal yang ditawarkan. Ketika menghampiri kami yang menunggu negosiasi mereka, mereka tiba dengan wajah kecewa dan kami sudah faham apa hasilnya. Akhirnya kamipun memutuskan untuk jalan kaki saja mencari angkot yang lain sambil memasang kuping berharap dipanggil lagi oleh si sopir untuk mengijinkan kami menumpang mobilnya dengan harga yang kami tawarkan. Dan benar saja, si sopir menhampiri kami dan menawarkan harga yang lebih murah dari sebelumnya. Kembali Adi dan Ambon bernegosiasi dengan nya, dan lagi – lagi tidak menenmui kata sepakat. Berulang kali kami melakukan hal yang serupa dan berulang kali juga sopir angkot itu menhampiri kami dan menawarkan harga yang berbeda. Sampai pada akhirnya kamipun sepakat dengan harga Rp. 8.000 per orang karena pada penawaran sebelumnya kami harus membayar Rp. 12.000 per orang. Hmmm… usaha yang tidak sia – sia meski cukup melelahkan.

Kami yang harus merelakan sebagian ruangan angkot ditempati oleh barang – barang bawa’an kami yang bisa dibilang tidak sedikit, terpaksa duduk saling berhimpit – himpitan dan terombang – ambing di dalam angkot karena jalan yang kami lalui tidak terlalu mulus, bahkan bisa dikatakan rusak parah, mungkin kalau kata adik – adik gaul bercelana pendek nan gemes yang suka nongkrong di mal – mal sih bilang “ enggak banget deh “. Sekitar pukul enam pagi kami tiba di daerah Gunung Putri, senang rasanya bisa meregangkan badan setelah beberapa sa’at sebelumnya dikocok massal di dalam angkot. Dan rombongan pun bergegas menuju pos pemeriksa’an, cuma Agung yang memisahkan diri karena Ia ingin melakukan urusan pribadi sebentar di kamar kecil. Soerang perwakilan kamipun memberikan surat ijin kepada petugas yang sedang berjaga.salah satu petugas mengingatkan kami agar tidak menuju puncak hari ini dikarenakan cuaca yang tidak memungkinkan. Cukup beralasan memang, karena sedang musim penghujan dan pagi inipun cuaca terlihat cukup mendung. Setelah mendengar penjelasan Bapak Petugas kamipun cepat – cepat pergi, guna menghindari penghitungan personel yang memang lebih dari kuota yang di ijinkan. Tidak jauh dari pos pemeriksa’an Adi dan Yofan mengisyaratkan kami untuk jelan lebih dulu, karena ternyata Agung belum juga kelihatan batang hidungnya. Dan ternyata lagi – lagi dia tertinggal, kali ini lebih parah dari sebelumya, karena dia salah ambil jalur dan terpaksa putar arah.

Setelah personel lengkap, kami melanjutkan perjalanan yang disampingnya terlihat luas kebun brokoli dan bawang daun yang beryndak – undak, cukup memanjakan mata dan udaranya sangat menyegarkan rongga dada. Nusantara betapa indahnya engkau saya berucap pelan sambil membenarkan letak ransel yang ada di punggung saya. Setelah dimanjakan pemandangan perkebunan, di hadapan kami tersaji anak tangga yang cukup curam,terbentuk dari batu – batu bukti yang dibatasi oleh batang – batang bambu. Kondisi track yang berbentuk tangga seperti ini ternyata lebih menguras stamina, Karena saya harus mengankat kaki saya lebih tinggi dan begitu terus ber ulang – ulang.

Rombongan dari Depok tertinggal cukup jauh di belakang Saya, Adi, Agung dan Yofan, karena hari sudah mulai siang dan James Hetfield pun sudah meraung – raung menyanyikan “ wherever I may roam “ di dalam perut kami. Akhirnya kami memutuskan untuk beristirahat dan menyantap bekal yang kami bawa. Di hadapan kami yang sedang sarapan, melintas tiga dari beberapa orang yang sedari tadi menyita perhatian saya. Satu orang Bapak – bapak dan dua orang yang umurnya menurut tafsiran saya jauh lebih muda dari saya. Kenapa mereka bisa menyita perhatian saya? Karena mereka memikul karung yang yang beratnya saya yakin lebih berat dari ransel yang saya bawa. kami pun menawarkan mereka untuk bergabung dan beristirahat bersama kami, dan merekapun tidak menampik tawaran kami. Sambil menyantap dua lembar roti tawar, Bapak itu pun menjawab pertanya’an kami, kalau yang dibawa oleh mereka adalah bahan bangunan untuk membangun pagar yang mengelilingi kawah di Puncak Gede nantinya. Pekerja’an yang mulia dan tidak ringan juga pastinya, dan Bapak itu pula yang menerangkan kenapa jalur Cibodas masih ditutup karena proyek pembetonan yang belum rampung. Setelah roti yang di genggamannya sudah habis di santap dan menolak tawaran kami untuk menambah, merekapun melanjutkan perjalanannya.

Belum hilang mereka dari pandangan kami, seorang pemuda berkulit putih dan berwajah oriental yang sebelumnya sempat bertemu kami ketika Ia beristirahat ikut bergabung beristirahat bersama kami, diapun menyantap roti tawar yang kami tawarkan kepadanya. Tidak lama berselang, rombongan dari Depok yang tadi sempat tertinggal dengan kami akhirnya mampu mengejar disusul oleh tiga orang perempuan muda yang ternyata teman nya Felix, pemuda yang berwajah oriental tersebut. Suasana mendadak riuh pasca kedatangan tiga perempuan ini, bagaimana tidak?! Felix yang memang sedari tadi tidak banyak bicara, diledek habis – habisan oleh tiga perempuan ini. Kontan saja rona wajah Felix berubah menjadi merah padam. Dari tiga perempuan yang sedang sibuk meledek teman nya itu, ada satu orang yang mampu membuat saya meliarkan angan saya jauh dari tempat saya yang sedang menyimak dia berbicara. Bukan karena paras nya yang memang cukup cantik, atau warna kulit nya yang putih mulus, tapi cara berbicaranya yang asal jeplak dan nyablak itu yang menyeret paksa angan saya ke bangunan megah berbentuk oval yang ada di jantung Ibukota negeri ini, bangunan yang di dalamnya terdapat deretan kursi yang sebagian besarnya terbuat dari kayu jati yang dipilih oleh founding father nusantara tercinta, bangunan tempat saya dan ribuan "loyalis" lainnya meneriakan semangat, merentangkan syal dan mengibarkan bendera klub kebangga’an. Kerinduan saya terhadap Persija dan tribun yang sudah cukup lama saya tinggalkan karena liga yang belum juga di mulai mendekap saya dengan bahasa dan cara yang tidak terpikirkan.

Berbeda dengan Yofan, dia lebih tertarik dengan perempuan berkulit sawo matang yang sesekali ikutan meledek Felix. Kata Yofan, perempuan seperti itu adalah tipe perempuan idaman untuknya. Selera yang aneh, karena Saya dan Adi sepakat, kalau wanita yang membuat saya kangen dengan Persija itu jauh lebih menarik. Dengan sudut pandang yang sudah tentu berbeda antara Saya dan Adi pastinya. Akan tetapi saya tidak mau menjustifikasi subjektifitas hasil dari letupan juta’an partikel yang berkolaborasi di dalam otak nya. Karena selera adalah salah satu hal yang tidak bisa dipakasakan. Bukan begitu Yofan?!

Karena merasa sudah cukup beristirahat, kamipun melanjutkan pendakian. Dan lagi – lagi rombongan dari Depok kembali tertinggal di belakang kami. Kondisi track di Gunung Putri ini memang sangat berbeda dengan track yang ada di Cibodas. Menurut salah satu personel dari Depok, track di sini lebih curam dibandingkan dengan track melalui Cibodas. Sisi positifnya, kita bisa lebih cepat sampai, jelasnya. Adi yang pada pendakian sebelumnya tidak terlihat lelahpun sempat berbicara kepada saya, kalau tenaganya mulai terkuras. Menurut saya, hal itu dikarenakan kurangnya istirahat sebelum keberangkatan kami. Kondisi seperti ini yang membuat kami sering beristirahat meski tidak lama disetiap perhentian.

Kabut pun mulai turun, “ black dog “ nya Led Zepelin dan terkadang diselingi oleh “ Berita Kepada Kawan “ nya Ebiet G. Ade yang diputar berulang – ulang di hand phone milik Agung, mengiringi kami menyusuri hutan, menarik akar pohon agar mampu melewati track yang curam dan melangkahi batu besar menghadang. Ketika berpapasan dengan dua orang pendaki yang mulai turun, kami bertanya jarak dan kondisi Alun – alun Surya Kencana, tempat para pendaki mendirikan tenda sebelum berangkat ke puncak Gede. Menurut keterangan pendaki tersebut, jarak alun – alun Surya Kencana sudah tidak jauh lagi, sekitar 30 menit dari tempat kami berdiri, dengan catatan, kami tidak  terlalu sering beristirahat. Mereka pun berpesan agar kami lebih hati – hati, karena kabut yang turun semakin tebal. Kamipun segera melanjutkan perjalan dengan lebih semangat. Hinnga akhirnya kami mendengar samar – samar suara dari atas yang menandakan jarak kami sudah sangat dekat.




Sekejap saya terpaku melihat apa yang ada di hadapan saya, tidak lebih dari 10 meter dari tempat saya berdiri yang terlihat hanya putih, putih dan putih. Baru kali ini saya melihat kabut setebal ini dipadu dengan angin dingin yang bertiup cukup kencang. Kamipun berjalan pelan, melewati beberapa pohon Edelweiss yang terlihat samar bersembunyi di dekapan kabut tebal. Tidak ingin kehilangan moment, Adi mengeluarkan handycam dari tas nya, seketika kami pun menjadi foto model dadakan. Pohon Edelweiss dan batu besar secara bergantian menjadi background kami, dan saya tidak lupa mengeluarkan benda yang tersimpan di dalam tas yang saya bawa yaitu…ehem...syal Persija. Setelah merasa cukup mengambil dokumentasi, garis miring meluapkan gairah narsis yang terpendam, kamipun kembali menggendong carrier kami masing – masing. Head lamp yang ada di kepala Agung tidak banyak membantu menembus tebalnya kabut. Beberapa kali kami berpapasan dengan pendaki yang sudah selesai berpetualang, bertegur sapa dan saling melempar senyum adalah hal yang sangat lazim ketika kita sedang mendaki meski baru pertama kali bertemu. Satu batang candu yang terdapat tiga deret angka dipangkal batangnya sudah hampir habis di lahap bara yang melaju lebih cepat dari biasanya, karena intensitas hisapan saya yang juga lebih sering dari biasanya, ditambah terpa’an angin yang tidak pelan. Akan tetapi tempat yang kami tuju masih misterius bersembunyi di balik gumpalan kabut putih.

Kurang lebih 30 menit kami berjalan menembus labirin awan, akhirnya kami tiba di tempat  di mana para pendaki mendirikan tendanya. Setelah menemukan tempat yang kami anggap cukup luas untuk mendirikan tenda, kamipun membagi tugas. Saya dan Yofan bertugas untuk mendirikan tenda, sedangkan Agung dan Adi bertugas untuk mengambil air. Tenda pun sudah berdiri, sambil menunggu Agung dan Adi, saya dan Yofan membereskan tas dan menyiapkan peralatan masak. Adi datang dengan beberapa botol air di tangan nya, dan disusul oleh Agung beberapa sa’at setelahnya. Seperti pendakian sebelumnya, lagi – lagi kompor yang kami kembali tidak berfungsi dengan baik, dan yang lebih parah, Yofan yang biasanya membawa tang dan jarum kali ini tidak membawa semua itu. Karena sudah tahu kerusakan yang biasa terjadi pada kompor sialan ini, saya pun menghisap jarum yang tidak mampu mendistribusikan gas dengan maksimal. Setelah beberapa kali percoba’an, nyala komporpun kembali normal. Gelas plastik yang berisi teh manis hangat yang ada dihadapan kami masing – masing pun sudah tandas kami minum. Dan sa’at nya untuk kami ber hibernasi, melepaskan lelah yang menggelayuti dan biarkan imajinasi berlari menjelajah setiap pelosok alam mimpi.

Pukul 4 : 30 kami kembali berada dalam alam realitas, yang beberapa jam sebelumnya kami tinggalkan sejenak dalam lelap. Suara parau terdengar dari dalam perut kami masing – masing, memberi sinyal untuk di isi. Mie instant dan lontong menjadi menu kami sore ini, kompor dinyalakan, dan air pun siap untuk dipanaskan. Setelah semuanya matang, kamipun bersiap bersantap di ketinggian 2.750 di atas permuka’an laut. Dan suara- suara aneh dari dalam perut pun reda seketika. Selesai mengisi perut, kami meninggalkan tenda untuk berjalan – jalan di sekitar area Surya Kencana.; hari sudah mulai gelap, saya, Yofan dan Agung duduk di salah satu tempat beberapa meter dari sumber air. Sedangkan Adi berjalan sendiri menyusuri padang rumput yang bertebaran pohon – pohon Edelweiss di sana – sini. Malam semakin pekat, dan Adi masih belum kembali, kami bertiga beberapa kali berteriak memanggil namanya namun tidak ada balasan. Akhirnya kami bertiga sepakat menyusulnya, dan Ia tetap tidak terlihat. Kamipun kembali ke tenda, sesampainya di tenda ternyata Adi sudah asyik dengan handy cam nya di dalam tenda, kami bertiga pun merasa lega, meski agak merasa dongkol kepadanya.

Guna meminimalisir rasa yang semakin dingin, kami membuat api unggun di depan tenda. Sambil tertawa dan bercerita tentang apa saja. Cukup lama kami mengelilingi api unggun yang api nya tidak bisa menyala dengan tempo yang lama, karena ranting yang kami bakar pun masih agak basah. Setelah merasa cukup, bukan merasa cukup hangat tetapi cukup lelah menghidupkan api yang sulit sulit menyala, kamipun masuk tenda dan bersiap untuk tidur. Di dalam tenda kami membicarakan rencana untuk esok, rencana kami yang awalnya ingin menuju Lembah Mandalawangi akhirnya harus dibatalkan karena situasi dan kondisi yang tidak memungkinkan. Di dalam tenda juga Yofan menceritakan rencananya yang ingin membuat video di atas puncak Gede, untuk dijadikan sebagai kado ulang tahun seseorang yang spesial beberapa tahun lalu ( spertinya Yofan belum mengerti makna kata move on ) . Imbasnya saya kebagian tugas membuat “kata pengantar” untuk videonya nanti. Saya pun meminjam hand phone nya untuk mengetik kalimat – kalimat yang nantinya akan disertakan dalam video buatanya. Di tengah – tengah “ kesibukan “ saya, Adi dan Yofan sangat “ asyik “ entah itu ber argument, berdebat atau berbicara tentang sesuatu yang menurut saya sangat “ absurd “ untuk dituangkan hanya dalam kata – kata, tetapi sangat nyata dan ada jika dirasa, yaitu “ cinta “. Saya yang sedang fokus dengan tugas yang diberikan Yofan, tidak menghiraukan perbincangan mereka. Meski terkadang saya menguping jika Yofan sedang menceritakan tentang masa lalunya dengan wanita yang akan mendapat kado ulang tahun darinya, sebagai bahan acuan saya agar mempermudah tugas saya. Setelah saya anggap cukup, sayapun memperlhatkan hasil kerja saya kepada Yofan, dan ternyata dia merasa puas setelah membacanya. Artinya tugas saya selesai dan bisa segera menyusul Agung yang sejak tadi sudah tidur pulas disamping saya.

Di atas sana suara petir bersahut – sahutan, angin bertiup semakin kencang dan Adi masih mengoceh perihal cinta dengan Yofan. Semakin lama suaranya semakin jauh terdengar di telinga saya dan sayapun tertidur. Tiba – tiba Agung berteriak “ astaghfirullah ya Allah ra dem blas “ ( dingin banget ) dengan logat Jawa yang sangat fasih. Karena saya tidur disampingnya, sayapun terbangun. Dan kejadian itu berulang beberapa kali ditengah tidur pulas saya. Hujan yang cukup deras memang membuat udara yang sudah dingin menjadi semakn dingin. Beruntung kami sleeping bag kami gunakan sebagai selimut, sehingga dapat mengurangi rasa dingin.

Alarm berbunyi pada pukul empat pagi, karena kami hanya ingin ke puncak Gede dan cuaca juga tidak memungkinkan untuk menyaksikan sun rise, jadi kami memutuskan untuk melanjutkan tidur dan berangkat pukul enam pagi. Ketika terbangun, badan saya terasa kurang fit, semoga bukan karena teriakan bahasa jawa nya Agung semalam. Awalnya saya ragu untuk ikut mendaki dengan kondisi badan yang tidak terlalu baik ini, akan tetapi keyakinan saya lebih kuat untuk mencapai puncak membuat rasa ragu berkemas dan beringsut pergi meninggalkan ruang pikiran saya.

Kamipun siap menuju ketinggian 2.958 m dpl, berbekal energi dari mie instant dan segelas kopi yang masih terasa hangat di perut kami. Kepala kami tundukan, do’a kami lambungkan kepada Yang Maha Menguasai, dan kamipun mulai melangkahkan kaki. Track yang kami lalui cukup berat, karena berbentuk bebatuan yang kemiringanya cukup curam juga licin akibat disiram hujan semalam. Bebrapa kali saya hampir jatuh terpeleset, Agung pun demikian, beruntung masih dapat memegang batang pohon. Kurang dari 40 menit saya dan Adi telah sampai di puncak disusul oleh Yofan dan Agung beberapa sa’at setelahnya. Karena jaran antara Surya Kencan dan Puncak Gede tidak terlalu jauh, jadi waktu yang kami butuhkan relative cepat.


Di dasar kawah terlihat kabut asap yang terus mengepul membawa aroma belerang yang sangat khas ke hidung kami. Di sebelah timur matahari masih tampak malu menyinari, dihari yang masih pagi bercadar awan yang sedikit mendung. Dan tepat di hadapan kami, puncak Pangrango terlihat gagah berdiri menantang untuk di daki. Yofan mulai sibuk menjalankan rencana yang telah Ia susun semalam. Pertama Ia merangkai batu – batu kecil membentuk angka yang sesuai dengan jumlah usia wanita yang akan menerima kado darinya. Kemudian Ia mulai mengambil gambar keindahan yang disuguhkan oleh alam di sekelilingnya. Berbeda dengan Yofan yang ingin menggapai cintanya kembali dari atas puncak ini, Saya merasakan rasa cinta saya semakin bertambah kuat. Bukan seperti cerita cinta picisan yang sering dinyanyikan oleh sekelompok orang yang katanya "pria", sambil menari serempak seperti sedang melakukan ritual memanggil hujan yang ada di acara musik pagi. Cinta yang saya rasakan  cinta yang 'tak bersyarat dan tanpa sekat, cinta terhadap nusantara yang semakin sering diumpat dibanding menerima ucapan terimakasih oleh manusia – manusia yang jelas – jelas hidup di atas tanah yang mereka pijak, dan meminum air yang mengalir dibawahnya. Love your country as you love your life. "Lebih baik disini, rumah kita sendiri,,,segala nikmat dan anugerah Yang Kuasa,,,semuanya ada disini…Rumah kita…"tiba – tiba lagu gubahan Ian Antono itu mengalun begitu saja di dalam hati saya.




TERIMAKASIH INDONESIA…